Bang Sém
Saya tak terbiasa memberikan ucapan selamat kepada teman, sahabat, dan saudara yang dilantik sebagai petinggi (di pemerintahan dan swasta). Saya juga tak menghadiri acara syukuran yang digelar untuk mereka. Yang saya lakukan adalah mengirimkan do'a agar mereka konsisten dan konsekuen melaksanakan sumpah jabatan yang mereka ucapkan di bawah kitab suci.
Sebaliknya saya senantiasa cepat memberikan ucapan selamat kepada mereka, kala mengakhiri masa jabatannya dengan mulus, tanpa cela dan tanpa percik noktah noda. Lantas mensyukurinya dengan do'a.
Selama mereka menjalani masa tugas, saya juga menghindari untuk mengunjungi kantornya, kecuali mereka undang. Selebihnya kami bisa berjumpa di acara-acara publik yang digelar khalayak.
Dalam keadaan tertentu, ketika tersiar kabar tak elok dengan mereka, saya menelepon untuk mendapatkan konfirmasi atau untuk menyampaikan kritik atas perilaku dan kebijakan -- yang berdampak luas ke khalayak -- sebagai pengingat.
Support saya berikan kepada mereka dengan cara 'menjaga,' agar dalam mengemban amanah, mereka konsisten dan konsekuen menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.
Sejak terjadi pergantian pemerintahan, beberapa hari lalu (30/9/24 dan 22/10/24) beberapa mereka (yang sebelumnya menjabat jabatan publik) mengontak saya via bimbit (hand phone), memberitahu sudah berakhir masa pengadiannya.
***
Kami bertemu. Senang hati saya mendapatkan buku catatan pribadi dan memori akhir jabatan mereka. Saya juga senang menyimak cerita mereka menghadapi tantangan, rintangan, tekanan, dan gangguan -- yang datang dari berbagai kalangan, termasuk teman, sahabat, dan keluarga) selama menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.
Kisah mereka yang beragam sangat memperkaya pengetahuan saya tentang apa yang berlaku dan sesungguhnya terjadi di lingkungan birokrasi pemerintahan, badan usaha milik negara, berbagai lembaga negara, dan juga perusahaan swasta.
Salah satu yang sangat menarik perhatian saya adalah bagaimana mereka dengan kesadaran penuh mengambil risiko. Satu dari tiga orang mantan Perdana Menteri (PM) dari negara sahabat yang mempunyai bercerita tentang bagaimana menguras seluruh dimensi kedalaman insaniah mereka kala menghadapi pandemi nanomonster Covid 19. Khasnya mengambil tanggung jawab atas kelangsungan hidup anak, suami, istri, orang tua korban petaka kesehatan tersebut.
Antara lain tanggung jawab negara dan pemerintah atas kelangsungan pendidikan anak-anak yang menjadi yatim piatu, janda, duda, dan 'insan sunyi' yang kehilangan anak-anak atau menantunya. Tanggung jawab yang semula menjadi tanggung jawab pemerintah -- karena perubahan bleid dan fokus -- pemerintahan, terus dilanjutkan dengan mendirikan yayasan yang kemudian dipimpinnya.
Ia juga bercerita ihwal tekanan politik berupa pengucilan dan ditandai sebagai 'lawan politik,' hanya karena ketika menjabat tak mengabulkan permintaan petinggi partainya. Termasuk tuduhan sebagai seorang yang kejam membiarkan kolega partai masuk penjara akibat tuduhan rasuah.
***
Seorang politisi bekas salah seorang pimpinan di lembaga legislatif yang pernah menjadi menteri bercerita, bagaimana ia mesti dicopot di tengah jalan, hanya karena menyikapi kritis mega proyek megaloman. Plus, mengambil kebijakan mengatur ketat impor khamr (antara lain minuman keras) dan pakaian bekas yang berdampak buruk secara udaya, pula mengusik dan menghambat hasrat oligark. Belakangan terbukti, mega proyek megaloman itu memuat BUMN yang terlibat di dalamnya merugi dan terhuyung-huyung lantaran utang luar negeri.
Beberapa bekas menteri, sekretaris jendral, dan direktur jendral, dan direktur yang juga dicopot di tengah jalan bercerita perihal hantaran rasuah yang dalam bilangan sangat besar dan dapat membuatnya kaya raya. Namun, mereka mengambil risiko untuk menolaknya, lantas diperlakukan laksana sepah. Mereka bersyukur karena dilindungi Allah Maha Kuasa dan terus dapat melanjutkan kiprah pengabdiannya kepada keluarga (dalam kesederhanaan) yang berbahagia, dapat menghantarkan anak-anak mereka menjadi profesional di bidangnya. Tak terganggu penyakit dan sehat wal afiat.
Saya bersyukur mempunyai teman, sahabat, kolega, dan saudara yang teguh pendirian. Tak mengalami 'gegar kuasa,' tak pula mengalami sindroma eksistensialismus, atau minimal tak mengalami post power syndrom.
Jabatan dengan derajat kekuasaan yang menyertainya, merupakan sesuatu yang di awal harus disambut dengan kesadaran sebagai suatu ujian hidup yang jauh leih berat dibanding ujian hidup kala tak berkuasa. Ucapan 'inna lillahi wa inna ilaihi roji'uun' (sesuatu yang datang dari Allah akan berpulang kepada Allah) adalah ucapan yang patut diterima di awal jabatan. Hamdalah (Alhamdulillah) adalah sesuatu yang pas diucapkan di penghujung akhir masa jabatan yang mulus tak bernoktah dan tak bernoda.
Maknanya adalah, jabatan kudu dilakoni sebagaimana mestinya, sesuai dengan aturan yang tersurat dan tersirat. Risiko -- termasuk yang paling pahit -- kudu dihadapi. Seluruh instrumen yang diberikan Allah (nalar, nurani, naluri, rasa) mesti dipergunakan optimal. Sumpah dan janji jabatan bukan sesuatu yang hanya menjadi luah ucap yang menggerakkan bibir. Melainkan komitmen yang mesti menggetarkan hati.
Beranjak dari banyak hal yang dikisahkan para teman, sahabat, dan kolega yang selamat menjalankan amanah dari ketika mengucapkan sumpah sampai ucapan perpisahan di ujung masa jabatan. Saya mengapresiasi dan respek kepada mereka.
Di awal jabatan ada dua jalan di hadapan: jalan lurus dan jalan lencong. Memilih jalan lurus dengan segala risikonya akan menghindari diri dari laku lancung, laku lajak, dan pongah. Di penghujung jalan lurus sampai ke akhir jabatan, ucapan Alhamdulillah menjadi sangat bermakna. Berbahagialah yang sampai ke kaki alif kata ungkapan syukur itu. |