Bang Sém
"Njid, apa itu Jahil Murokkab," tanya salah seorang cucu saya. Mendapat pertanyaan semacam itu, saya hanya mesam-mesem.
"Koq senyum?" sergahnya. Lagi, saya tersenyum. Melihat ekspresi wajahnya yang menunjukkan sikap sebal, saya buru-buru memberikan jawaban.
Jahil murokkab itu pandir sepandir-pandirnya. Sudah pandir tambah pula koppig, têtu, degil, keras kepala, alias bedegong kimin !
Istilah demikian biasanya disandangkan kepada mereka yang ngotot dengan pandangannya, meski sangat keliru. Selain itu, tak mau menerima pandangan orang lain yang menyampaikan waran, bahwa pandangan atau lebih dari itu, keyakinan, yang keliru.
"Termasuk mereka yang melakukan kultus individu terhadap seseorang yang dipanutinya? Kaum Pak Turut dan Mak turut yang keukeuh menganggap pujaannya selalu baik dan benar, meski berkali-kali ditipu oleh panutannya?" ungkap cucu saya.
"Ya!" Begitu jawab saya.
Kaum alias khalayak yang bersikap dan berwatak jahil murokkab, selalu ada pada setiap masa. Ironisnya, sikap dan watak demikian tampak dan terekspresikan di kalangan kaum terdidik.
Apalagi di tengah zaman yang sungsang (gamang, penuh ketidak-pastian, ribet, dan mendua).
Kaum jahil murokkab terbentuk oleh lingkungan yang kuat dipengaruhi oleh klientelisma, relasi sosial 'tuan - hamba.'
Umumnya adalah kaum 'abdul buthun' alias hamba perut. Biasanya tak punya pendirian, penjilat, dan sangat dipengaruhi oleh orentasi power centric.
Mereka adalah kaum yang - meski terdidik -- tak terbiasa dengan nalar kritis dan obyektif dalam memandang sesuatu.
Mereka sengaja dipelihara oleh para petinggi yang dokoh pada kekuasaan, tanpa kecuali petinggi yang amat menikmati kekuasaan dan merasa hilang segalanya ketika kekuasaan tak melekat pada dirinya.
Dalam kancah politik mutakhir yang pragmatis dan diperoleh dengan politik transaksional dan siasat jahat yang dibanjiri oleh petinggi (bukan pemimpin) atau politisi kelam (bukan negarawan).
Sikap dan karakter jahil murokkab, bahkan menjalar ke kalangan mereka yang mengklaim dirinya sebagai 'tokoh agama' yang meyakini kebenaran versi dirinya sendiri. Hanya dirinya yang benar.
Dalam konteks politik dan agama, jahil murokkab seringkali terjadi akibat menafikan kebenaran relatif manusia yang mesti selalu diuji dengan berbagai cara, khasnya kajian mendalam multi disiplin keilmuan.
Kaum jahil murokkab pada suatu keadaan tertentu, karena bara nafsu yang menguasai dirinya, antara lain dapat ditandai dengan berbagai laku yang nampak dari perangainya.
Antara lain, cenderung tak sanggup menerima kritik. Telinga dan hatinya tak kuasa menerima pandangan atau pendapat orang lain yang kritis, karenanya tak sanggup melakukan dialog.
Mereka hidup dalam kebiasaan sosial yang monologis sebagai bagian dari sikap monoloyalitas yang dibentuk oleh patron client relationship atau traditional authority relationship.
Perhatikanlah programa gunemcatur (talkshow) televisi yang seringkali tak menarik lantaran (untuk keperluan tv rating) sering menghadirkan kaum jahil murokkab sebagai nara sumber.
Mereka mengubah suasana dialog - gunemcatur menjadi ajang 'sentak sengor' alias adu mulut (di bawah standar debat kusir) yang sama sekali tidak menghormati khalayak pemirsa.
Kaum jahil murokkab, biasanya merasa senang dan bangga, bila tampak ngotot dalam programa gunemcatur. Ukuran mereka bukan bagaimana menghadirkan kecerdasan akal budi, melainkan bagaimana mereka ngotot dengan pendapatnya.
Ukuran dialog di kalangan kaum jahil murokkab bukan lagi kejernihan berpikir, melainkan rasa ' menang atau kalah' dalam suatu perdebatan.
Kita tidak tahu persis, kapan kehidupan intelektual kita tak terkontaminasi oleh keberadaan kaum jahil murokkab.
Apalagi kini, ketika produser programa siaran gunemcatur televisi tak lagi menentukan kategori dan kriteria kelayakan - kepatutan seseorang sebagai pengisi acara programa siaran seacam itu. |