Ganjen

| dilihat 535

Bang Sém

Salah satu nasihat waran allahyarham ibu kepada saudara-saudara (kandung dan sepupu) perempuan saya dalam berinteraksi antar personal dan sosial, yang selalu saya ingat adalah "jaga adab, jangan ganjen."  Waran ini juga yang sering saya dengar dari saudara-saudara perempuan saya kepada anak-anaknya.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ganjen diartikan sebagai perilaku genit dan lincah. Kendati demikian, ganjen sering dimaknai sebagai ekspresi laku lajak secara kipuan atau jantina (gender). Maknanya, tak hanya ditujukan kepada perempuan. Ganjen juga ditujukan kepada kaum lelaki, khasnya lelaki 'tulang lunak.'

Ganjen saya pahami sebagai laku lajak. Perilaku atau akting berlebihan yang tidak pada tempatnya dalam bentuk gerak tubuh - gestur, mimik muka, sekali sekala juga dalam bentuk kata-kata dan ucapan. Misalnya dalam meresonansi irama musik.

Dalam konteks lain, ganjen sering juga disebut lénjéh, pecicilan, léncong, calleda,' mantik, kijil, dan sejenisnya. Perilaku genit berlebihan yang tak kenal ruang dan waktu.

Karena ganjen dan sejenisnya merupakan ekspresi pribadi kurang adab. Dalam situasi tertentu, ganjen bisa disebut sebagai aksi mencari perhatian agar orang lain atau khalayak mengalihkan pandangan kepada persona yang mengekspresikannya.

Ganjen dapat pula dipahami sebagai bahasa tubuh yang menunjukkan ketidak-seimbangan psikis seseorang. Kadangkala hal tersebut dilakukan untuk menutupi sikap inferior, alias minderwaardig. Suatu gejala psikologis yang mencerminkan harga diri yang negatif.

Bagi kalangan perempuan 'telat,' ganjen merupakan cara menjadi cara untuk mengeksplorasi energi di dalam diri dalam melakukan komunikasi non verbal. Diungkapkan dengan senyuman, lirikan mata, gerak tubuh, dan untuk tujuan tertentu dengan menggerakkan bibir.

Bagi pribadi yang cerdas, gestur berlebih tidak diperlukan. Lirikan mata sekejap dan senyum wajar, sudah menjadi energi untuk mengundang simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta. Apalagi, secara psikologis 'menggoda' dengan pikiran, kecerdasan -- tanpa harus bergenit-genit -- dengan menunjukkan kualitas akal budi dan rasa, adab, merupakan energi yang mampu meresonansi orang lain atau khalayak.

Kecerdasan Budaya

Akal budi yang bernas dengan resonansi rasa dan dria tanpa harus ganjen -- eksplorasi berlebihan -- justru mampu mendulang nilai positif berupa rasa hormat, sekaligus menjadi bagian dari rekacitra (image engineering) yang berdaya mempengaruhi khalayak.

Mereka yang ganjen, cenderung tak mempunyai kualitas akal budi yang prima. Meskipun hanya untuk melakukan interaksi sosial yang menyenangkan dan mengasyikkan. Bahkan dalam kondisi tertentu dalam konteks patronase dapat menjadi motivasi positif. Misalnya dalam relasi fungsional pimpinan dengan staf, menjadi motivasi bagi staf menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.

Menurut Aleksandr Dmitri, para perempuan yang berkualitas dengan kepribadian yang mempesona, perempuan merupakan insan yang tak rumit untuk dipahami. Kendati untuk memahami pikiran, emosi, dan perilakunya merupakan tantangan.

Perempuan bernas dengan kepribadian berkualitas memadukan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritualnya dalam satu kesatuan kecerdasan budaya yang utuh. Karena pesona personanya berkembang secara seimbang, mengharmonisasi norma sosial dan budaya, perubahan hormonal, dan pengalaman adab dalam linkungan domestiknya sejak masa tumbuh kembang di usia dini.

Perempuan bernas tak memerlukan eksplorasi dan eksploitasi dengan keganjenan. Karena proses pencapaian kecerdasan budaya yang memengaruhi dirinya membentuk kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual yang memungkinkan mereka peka terhadap emosi orang lain, seraya memahami dan mengatur emosi mereka sendiri. Termasuk menggunakan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya untuk memandu pikiran dan laku mereka.

Kognisi dan komunikasi perempuan dengan kecerdasan budaya memberi isyarat, bahwa secara alamiah Tuhan memberikan keunggulan dalam bentuk kemampuan merespon suatu resonansi secara terkendali. Karena perempuan dilebihkan Tuhan dengan daya otak tengah, mésencéphale, yang unggul dalam memproses informasi.

Itu sebabnya, perempuan dengan kecerdasan budaya prima, merupakan komunikator hebat, terutama karena mempunyai daya ingat yang hebat dalam menyimpan informasi penting untuk masa yang relatif lama. Dalam konteks leadership, kelebihan yang diberikan Tuhan secara alamiah ini juga yang memungkinkan perempuan mampu melakukan komunikasi efektif dan keputusan tepat di tengah interaksi sosial.

Perempuan yang dididik dan diasuh dalam lingkungan sosial domestik yang beradab dan dalam panduan yang tepat (terutama dari ibu sebagai pendidik pertama dan utama, juga lingkungan keluarga yang berpegang pada tata nilai dan norma budaya), tak memerlukan keganjenan dan laku lajak lain untuk menghadirkan pesona persona, sekaligus eksistensi dirinya.

Noktah Buruk

Dalam berbagai lingkup budaya Indonesia, lingkungan domestik - keluarga yang berbekal adab, mengalirkan daya kebaikan dalam berkehidupan. Perempuan menjadi 'pancuran sekaligus telaga' nilai dan norma kebaikan. Karenanya, perempuan diposisikan dalam ruang strategis yang berdampak luas dalam kehidupan sosial.

Dalam lingkungan dan trah sosio budaya yang menjunjung adab - norma dan nilai kebaikan, pesona persona perempuan dalam fungsi dan peran sosial, apalagi kala tertakdir menjadi pejabat atau istri pejabat publik (pemerintahan dan negara) langsung dan tak langsung menjadi pusat perhatian khalayak.

Khalayak melihat langsung dengan mata fisik dan mata-hatinya pesona dan persona mereka, dan tanpa spontan melakukan penilaian. Dalam konteks ini, perilaku mereka menjadi pemantik social impression. Mereka menjadi salah satu indikator tata krama.

Keganjenan akan menjadi noktah buruk yang bersemuka dengan tata krama sosial, sekaligus menjadi bara citra buruk, tak hanya bagi dirinya, melainkan bagi keluarga, masyarakat, bahkan bangsanya secara keseluruhan.

Keganjenan secara langsung akan mengurangi harkat dan derajat siapa saja yang melakukannya, tak peduli peringkat sosialnya, karena sebagai figur khalayak yang menjadi cermin sosial masyarakatnya.

Dalam konteks ini waran dan wanti-wanti orang tua sebagai bagian dari proses pendidikan pekerti, semestinya menjadi marka perilaku, agar setiap persona yang ditakdirkan dan tertakdirkan menjadi figur khalayak tidak terperosok dalam keganjenan dan laku lajak yang tak perlu.

Apalagi dalam sistem relasi korelasi sosial yang masih bertumpu pada patronase sosial, setiap persona figur publik menjadi cermin yang perilakunya bakal dicontoh khalayak.

Karenanya, siapa saja yang tertakdirkan sebagai figur publik, kudu amat menjaga adab, etika di dalamnya. Hmmmh.. yang kadung ganjen dan laku lajak, segera perbaiki diri. Karena kelak, semuanya akan kembali menjadi khalayak biasa, kaum amah.. ! |

 

Editor : delanova
 
Seni & Hiburan
19 Nov 24, 08:29 WIB | Dilihat : 545
Kanyaah Indung Bapak
20 Jul 24, 21:32 WIB | Dilihat : 1416
Voice of Baceprot Meteor dari Singajaya
Selanjutnya
Lingkungan
09 Jan 25, 20:57 WIB | Dilihat : 476
Petaka Kebakaran Terburuk Landa Los Angeles
22 Des 24, 16:25 WIB | Dilihat : 293
Awan dan Fenomena Alam
29 Nov 24, 04:10 WIB | Dilihat : 421
Banjir Terparah Menerjang Malaysia
19 Sep 24, 12:52 WIB | Dilihat : 1188
Antara Lumbung Pangan dan Kai Wait
Selanjutnya