Bang Sém
Sejak dua bulan terakhir banyak gangguan pada tubuh saya. Bioritme terganggu. Aktivitas reguler terganggu. Kecuali ibadat, praktis banyak agenda kerja terganggu. Telinga seringkali berdenging, kaki kebas dan telapak kaki panas.
Waktu tidur relatif berkurang. Tulang belakang dan dada kiri bekas jatuh, tetiba sering nyeri. Urat kaki, juga sering seperti terseset, nyerinya bukan main.
Ada juga yang bikin cemas. Beberapa hari, tubuh mengalami pembengkakan. Ada benjolan dekat kelingking kaki kiri. Nyeri. Jemari dan telapak tangan, sering terasa panas.
Periksa ke dokter. "Venous insufficiency," katanya. "Katup di pembuluh darah kurang berfungsi baik, sehingga menghambat darah mengalir menuju jantung. Mengalir mundur. Akibatnya, darah terkumpul di kaki. Itulah yang menyebabkan kaki bengkak."
Meski tak suka, sesuai nasihat dokter akhirnya obat-obatan itu saya konsumsi. mengkonsumsi obat-obatan, mau tak mau harus dilakoni.
Mata yang sering basah dan tubuh yang teramat lelah pada waktu-waktu tertentu, sangat mengganggu. Lagi, ketika periksa ke dokter yang lain, ditemukan penyebabnya, 'kelelahan virtual.'
"Kurangi aktivitas yang berhubungan dengan perangkat komputer dan gadget. Rehat, Om..," kata dokter. "Ambil jarak dan jangan terlalu mesra dengan gadget," katanya.
Kebetulan kemenakan. Dia membolehkan saya 'tusuk jarum.' Belakangan hari, memang agak jarang ke klinik akupunktur.
Setelah saya lakoni, alhamdulillah, berangsur mulai terasa lebih baik. Perbanyak waktu rehat dan mengembalikan bioritme. Dengan gadget - khasnya bimbit (handphone) sudah berjarak. Termasuk keluar dari berbagai whats app group (WAG).
Karena pinggang dan kaki masih belum sepenuhnya fit, dalam berbagai kesempatan, terpaksa pakai tongkat. Ketika berkunjung ke pameran seni rupa Butet Kartaredjasa, saya pakai tongkat. Karena tongkat itu, kami tertawa.
"Sayangi diri. Cuma kita yang paling tahu diri kita dan bagaimana cara menyayanginya," ujar seseorang yang amat peduli pada saya. "Kurangi berat badan. Kakimu tidak cukup kuat menyangga berat badan," katanya.
Saya mematuhinya. Termasuk jalan kaki santai dari rumah ke hutan kota, yang tak jauh dari rumah.
Taat kepada Tuhan yang menciptakan tubuh, kedisiplinan diri, mengikuti nasihat dokter dan kalangan terdekat, terasa banyak mengandung hikmah. Antara lain, kesadaran diri, bahwa selama ini ternyata alpa menyayangi diri sendiri.
Berbagai gangguan: benjolan di dekat kelingking kaki kiri dan lain-lain, berangsur hilang. "Jangan berikan peluang semua itu hadir lagi," ujar kemenakan saya.
Intinya, kudu tahu diri. Di usia menjelang kepala tujuh, sikap tahu diri memang terasa penting. Termasuk dialog dengan organ tubuh, seperti yang diomongkan Slamet Rahardjo kepada saya beberapa waktu lampau.
Selepas berdo'a setiap kali usai salat Isya' dan Subuh, saya ambil momentum untuk dialog, sekaligus minta ma'af kepada jantung, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan lain-lain.
"Ma'afkan saya, Tung.. pada waktu yang lama tak peduli kepadamu.. padahal, kau sudah aktif bekerja sejak sebelum aku dilahirkan," ujar saya kepada jantung. Dengan organ lain, saya juga bicara begitu.
Sejak beberapa bulan setelah istri saya wafat, saya juga sudah menjalani hidup gembira. Menaklukan rasa kecewa, marah, kesal, dengan siapa pun dan untuk apa pun. Tanpa kecuali. Meski sekali sekala berjumpa dengan situasi yang bisa memancing emosi.
Saya bersyukur, sejak belia dijauhkan dari sikap fudhul alias mau tahu urusan orang. Termasuk konsisten menelan keluh kesah siapa saja yang curhat, serta memberi saran dan solusi hanya ketika diminta.
Selebihnya, menahan diri untuk hanya curhat dan berharap kepada Allah, Al Khaliq saja. Ini juga bagian dari proses belajar tahu diri. Mudah-mudahan segera sudah bisa aktif seperti sedia kala. Banyak hal yang tertunda.. | ***