Fanatisme Suporter Sepak Bola

| dilihat 2577

AKARPADINEWS.COM | “Jika menghitung untung dan rugi, dukungan tak murni lagi” tegas Ayi Beutik (almarhum), panglima Viking Persib Fans Club. Ucapan itu serupa bahan bakar yang memanasi semangat para bobotoh hingga saat ini untuk mendukung klub sepak bola favoritnya: Persib Bandung. Mereka setia memberikan dukungan kepada tim Persib dalam setiap laga.

Pada leg pertama Piala Presiden yang digelar Minggu malam (4/10) lalu, bebotoh mendatangi markas Mitra Kukar di Tenggarong, Kalimantan, untuk memberikan semangat kepada Persib Bandung. Sayang, pertandingan kala itu berakhir 1–0 untuk kemenangan Mitra Kukar.

Kekalahan itu tak membuat mereka berhenti menebar semangat kepada timnya. Tatkala Persib menjamu Mitra Kukar di babak semifinal, di stadion Si Jalak Harupat, Bandung, Jawa Barat, dukungan para bebotoh, turut mempengarui semangat Persib menggilas Mitra Kukar. Persib meraih kemenangan dengan skor 3-1 pada (10/10). Kemenangan itu mengantarkan Persib ke babak final.  

Sepakbola saat ini merupakan olahraga terpopuler di dunia karena loyalitas suporternya. Jutaan orang dari berbagai negara menjadi suporter setia yang mendukung tim kesayangan. Supporter menjadi bagian penting dari sebuah klub sepakbola. Semakin berjaya sebuah klub, maka akan semakin banyak suporter yang mendukung dan mengidolakannya. Tak ayal, para suporter ini sering mendapat julukan sebagai pemain ke-12 bagi sebuah klub. Bukan hanya dukungan langsung di stadion, tapi dukungan juga diberikan lewat layar kaca dan media-media sosial.

Sepakbola dalam kajian antropologi tidak hanya dipandang sebagai aktivitas gerak tubuh dan permainan semata. Namun, sepakbola merupakan hubungan timbal balik dalam kaitannya antara budaya dan masyarakat. Sepakbola dalam dinamikanya menimbulkan hubungan dualisme, yaitu dapat mempersatukan dan dapat menimbulkan konflik antarmasyarakat akibat fanatisme suporternya.

Dalam konteks mempersatukan, banyak latar belakang sosial, agama, budaya, suku, ras, dan sebagainya di lapangan hijau sebagai ruang pertemuan. Mereka berbaur menjadi satu demi mendukung klub dan timnya masing-masing. Bahkan, di liga-liga dunia, sepakbola telah mempertemukan manusia dari berbagai penjuru dunia.

Sepakbola menjadi media yang egaliter dan memfasilitasi pertemuan lintas budaya bagi manusia di dunia. Karena itu, FIFA selaku organisasi tinggi sepak bola dunia menyelenggarakan Piala Dunia (World Cup) yang diikuti tim dari sejumlah negara yang memenuhi kualifikasi.

Di Brasil, sepakbola menjadi alat pemersatu. Dalam buku Death Without Weeping, karya antropolog Nancy Scheper-Hughes, ketika kelaparan dan kemiskinan melanda Brasil, hanya sepakbola yang dapat menjadi obat untuk mengatasi rasa lapar tersebut meski sesaat.

Di setiap desa yang hanya memiliki satu atau dua televisi, para penduduk bersama-sama berkumpul menyaksikan pertandingan antara tim nasional Brasil melawan tim nasional dari negara lain. Sepakbola menjadi pemersatu dan perekat ikatan nasionalisme di negara tersebut.    

Di Indonesia, klub-klub sepakbola dianggap sebagai representasi identitas diri para suporternya, khususnya identitas etnisitas dan geografis dengan membawa semangat kedaerahan. Meskipun seringkali memunculkan sentimen primordialisme dan intoleransi seperti Persib-Bandung dan Jak Mania-Jakarta yang beberapa waktu tahun lalu berimbas pada kekerasan di dalam dan luar lapangan. 

Sedangkan di klub-klub negara lain seperti Italia dan Inggris, lapangan hijau dianggap sebagai tempat ritual dan ruang pertemuan yang suci. Para suporter menilai kekalahan timnya tidak hanya merusak identitas dirinya, tetapi lebih pada perasaan hancurnya sebuah keyakinan serupa iman. Sehingga ketika sebuah klub terpuruk dan menelan  kekalahan beruntun secara memalukan, para fans di Italia, Inggris, Brasil, Jerman atau raksasa sepak bola dunia lainnya, merasakan kegoncangan spiritual.

Segala emosi yang telah terbangun dari menit pertama akan memuncak ketika wasit meniup peluit tanda pertandingan berakhir. Para suporter mengungkapkan perasaannya dengan eforia. Rasa sakit dan bahagia itu dilampiaskan dengan berbagai ekspresi hingga air mata. Para suporter dibuat tidak berdaya. Mereka tak kuasa mengkritik klubnya yang kalah karena cintanya tak padam.

Namun, pada beberapa kasus, ada suporter yang terguncang karena klub yang diagungkannya mengalami kekalahan, terutama karena tidak adilnya wasit atau sentimen terhadap klub lain yang dianggap menghina klub favoritnya. Mereka tak akan membiarkan begitu saja. Mereka berusaha mengatasi kegoncangan itu dan memulihkan kembali kesucian yang dijunjung tinggi.

Imbasnya, sentimen dan konflik etnosentris dan rasisme masih sering diperlihatkan para suporter seperti yang dilakukan Hooligan, fans fanatik sepakbola di Inggris yang sering memicu tindakan anarkis. Sepakbola pada akhirnya bukan hanya tentang permainan 2 x 45 menit di lapangan hijau saja. Tetapi, sepakbola menjadi bagian dari produk budaya yang begitu kompleks, terbangun dalam ruang pertemuan yang berisi fanatisme, konflik hingga menjadi media perekat bangsa.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 338
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya