Tangis di Malam Ramadan

| dilihat 6541

TARAWIH baru saja usai. Kami duduk melingkar di ruangan keluarga. Nita duduk di sebelahku. Kerling matanya mengisyaratkan agar aku mulai bicara. Karita sedang merebahkan dirinya yang masih mengenakan bergo. Gadis kecil baru setahun ini kian lucu.

Nita angkat bicara. “Saudara-saudaraku, baru saja kita selesaikan salat tarawih di malam ke lima. Seperti biasa, kita simak kajian. Malam ini, kita minta abang bicara tentang orang tua, ibu dan perempuan,” serunya.

Saya mulai dengan kisah sederhana yang sudah banyak diungkapkan orang.

Suatu ketika, dalam suatu majelis, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Muhammad SAW.

“Wahai Rasulullah, siapa di antara umat manusia yang paling layak untuk kebaikan hidup dan cinta saya?”

Rasulullah tersenyum. “Ibumu,” ujar Rasulullah.

“Lalu siapa?” tanya sahabat itu lagi

“Ibumu,” jawab Rasulullah.

“Lalu, siapa lagi?”

“Ibumu,” seru Rasulullah.

“Lalu?” tanya sahabat itu lagi.

“Ayahmu,” pungkas Rasulullah.

Ibu adalah sesuatu yang penting. Beliau adalah madrasatul ula.’ Pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Tak seorangpun manusia dapat membalas cinta dan kasih sayang ibunya.

“Dalam beberapa referensi, bahkan diungkapkan, ridha ibu adalah ridha Allah dan murka ibu adalah murka Allah,” kataku.

“Termasuk ibu yang di mata manusia tak berperilaku elok?” sela Nadya, yang duduk di sebelah Anita.

Saya mengangguk. Saya minta Nita membacakan firman Allah, Surah Luqman ayat 14. Usai Nita membacanya, saya sampaikan terjemah ayat itu : "Kami perintahkan kepada umat manusia untuk berbaik hati kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, hanya kepada-Ku lah kembalimu."

Saya perhatikan wajah saudara-saudara, anak, kemenakan dan kerabat lainnya di ruangan itu. “Mari ambil waktu sekejap saja untuk merenung diri dan bertanya, bagaimana kita telah memperlakukan ibu kita masing-masing,” ujar saya.

Nadya menunduk. Bahunya menyentuh bahu Nita. Tieq yang duduk di sebelah Nadya, bersandar ke dinding. Matanya terpejam. Lalu memandang ke arah saya dengan tatapan mata yang sayu.

“Perempuan diciptakan Allah sebagai mitra utama bagi laki-laki untuk bekerjasama, berkolaborasi, bersinergi, dan dan saling melengkapi dalam berbuat kebajikan,” kata saya. Nita menoleh dan memandangi saya.

“Al Qur’an bercerita tentang hal itu,” kata saya, sambil meminta Nita membaca Surah At Taubah ayat 71. Usai Nita membaca ayat itu, saya coba jelaskan.

Pada ayat ini, Allah menegaskan, “.. orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (merupakan) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (melaksanakan) yang ma’ruf, mencegah (segala perbuatan) yang munkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan beroleh rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Rasulullah Muhammad SAW memberikan teladan mulia, memanifestasikan ayat ini. Berulang kali Rasulullah mengatakan, “Aku perintahkan kamu bersikap baik kepada perempuan.” Bahkan, sebelum wafat, Rasulullah SAW masih mengulang hal itu. “Aku perintahkan seluruh umatku untuk bersikap baik dan memberikan perhatian kepada perempuan.”

Bukan karena perempuan seperti dibayangkan banyak orang, sebagai makhluk yang lemah. Melainkan perempuan sebagai manusia utuh yang berdaulat. Rasulullah mengingatkan,”Mereka yang bersifat mulia selalu bersikap baik kepada perempuan, dan hanya lelaki jahat saja yang menghina (menista) perempuan.”

“Penistaan yang seperti apa?” tanya Tieq seketika.

“Seluruh bentuk penistaan dan pelecehan, termasuk penistaan yang dilakukan dalam bentuk abuse of words. Menista dengan kata-kata, dan menista dengan sikap dan tindakan,” jawab saya.

Suasana tiba-tiba pecah oleh tangis histeris Mochtar. Beberapa saudara dan kemenakan, lekas menanganinya. Saya menghampirinya. Saya tunggu Mochtar menghabiskan tangisnya.

“Ampun Allah... Ampun...,” seru Mochtar berulang – ulang.

Saya usap-usap bahunya. Sambil sesenggukan dan bicara terbata, Mochtar bicara perlahan.

“Maafkan saya Bang. Selama ini saya telah menipu kalian dengan sikap saya yang seolah-olah baik. Padahal sebetulnya saya penjahat,” ungkapnya.

Nita, Nadya dan Tieq mendekati saya. Mochtar bicara lagi. Dia mengaku, telah terlalu banyak melukai hati ibunya, tante kami. “Saya sangat berdoa pada almarhumah ibu. Saya tidak pernah membahagiakannya sampai beliau wafat,” akunya.

“Saya juga telah berbuat buruk pada Karin, istri saya, yang selalu selalu saya punggungi dan saya tipu. Saya tinggalkan dia, ketika dia sedang memerlukan saya...,” aku Mochtar.

“Sudahlah.. bertobatlah. Do’akan almarhumah ibumu. Sambangi lagi Karin, akui segala kealpaanmu selama ini.. Nita, Nadya, dan Tieq bisa membantumu..,” kata saya.

Sesaat saya menarik nafas. Nita menutup kajian malam itu, selepas saya memungkasnya.

Tiba-tiba telepon berdering. Tieq segera mengangkatnya. Wajahnya pasi. Mulutnya ternganga. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un..,” gumamnya, sambil memandang ke arah saya, Nita, dan Nadya.

“Karin meninggal dunia di rumah sakit..,” ujar Tieq. Seketika meledak tangis Mochtar. Saya anjurkan Mochtar segera bergegas ke rumah sakit, mengurus isteri yang lama diabaikannya itu... Mochtar bergegas.. kami menyaksikan dia berjalan ke mobil, sampai mobilnya meninggalkan halaman rumah.

Suara tangis Mochtar belum hilang dari telinga. Tangis di malam Ramadan.. |


(Kesamaan nama dalam cerpen ini hanya kebetulan)

Editor : sem haesy
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 216
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 427
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 428
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 398
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 203
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 194
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 424
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya