Anggi.. Lepaskan

| dilihat 2027

Cerpen Agus Tian

Angin malam berembus. Dingin menusuk tubuh. Kudiamkan saja. Sepertinya malam ini aku ingin bermanja-manja. Di malam temaram, rasa gelisah berkelindan, walau purnama terus menyemangati untuk hidup penuh oase kepura-puraan. 

Kuhentikan kendaraan di tepi jalan, tidak jauh dari warung penjaja makanan dan minuman kuliner malam.   Aku mengambil tempat duduk menjorok keluar, sehingga bebas memandang gedung apartemen berkelas mewah, yang  jaraknya tidak jauh dari warung kaki lima tempat aku memesan roti bakar dan secangkir kopi susu.

Sambil menunggu roti bakar coklat keju dan secangkir kopi susu, sesekali mata ini menatap setiap sudut apartemen. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Seolah penghuni apartemen  belum terlelap. Ada yang baru saja dating, ada pula bergegas pergi berpapasan dalam satu pintu tanpa saling menyapa.   

“Nikmat mana lagi yang hendak kudustai,” batinku, sambil  menyalami hiruk pikuk penghuni  apartemen dalam damai dan kasih.

Lalu pandangan mataku terhenti ke arah mobil sedan mewah, yang berhenti tepat di depan lobbi apartemen.

Tak berselang lama, seorang perempuan berparas cantik dengan rok pendek berpadu kemeja ketat, turun. Rambutnya yang ikal sebahu,  dia rapikan sambil menggantungkan tas di pundaknya.

Wajahnya menunduk, seolah ingin menyembunyikan kakinya, melangkah ke muka sambil memainkan keyboard telepon seluler. Ia melangkah, sampai hilang dari pandangan mataku. Kukenal perempuan itu. Anggi namanya. Dia masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di ibukota. Dia tengah memungkas skripsinya.

“Hemmm, ternyata Anggi tinggal di sini,” gumamku  dalam hati. 

Aku mengenal Anggi pertamakali mengenali  pada simposium nasional tentang perilaku seks dan alat-alat reproduksi. Di symposium, itu aku diminta menjadi narasumber pendidikan seks dan kehamilan tidak diinginkan.

Di saat rehat symposium, Anggi meminta waktu khusus untuk berbicara empat mata. Sambil menyantap makan siang. Aku lebih banyak mendengar kisah Anggi dengan khidmat. 

Anggi  seorang pekerja seks komersial bagi kalangan pemuja birahi kelas menengah atas.  Tentu, Anggi mematok tarif mahal bagi siapa saja yang berkencan dengannya.

Aku hanya  manggut-manggut saja, tak mau mengomentari profesinya. Bagiku, urusan moral boleh jadi dia lebih paham. Ya. bagaimana tidak? Tamu yang mengencani dan dikencani Anggi, wajahnya banyak menghiasi layar kaca televisi. Orang-orang ternama, yang kerap dianggap sebagai orang penting dan terhormat. Walaupun sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang terselimuti topeng kehormatan. Tetapi, telanjang tanpa daya di hadapan Anggi, merengek sambil bersimpuh lalu terlelap di gemerlap palsu kenikmatan dunia.

Aku  yang hanya manggut-manggut, diam tanpa kata-kata dalam perbincangan, membuat Anggi nampak gelisah. Dia memintaku mengungkap rahasia yang membuatku tercekap. Tentang senggama, alat reproduksi hingga orgasme.

“Baiklah kalau itu yang kau minta,” kataku  dengan nada perlahan, agar dia merasa nyaman.  “ Ketika melakukan hubungan, tandailah puncak kepuasan yang paling kamu sukai. Setelah itu kabari aku,” kataku. Anggi terdiam, matanya menatap wajahku sambil tersenyum tipis. Kami bertukar nomor seluler.

“Hai, aku menemukanmu!” Begitu pesan singkatku kepada Anggi, malam itu. Tak lama berselang Anggi membalas sms,ku.  

“Oh ya… surprise.. Mas.. temui Anggi dong,” balasnya sambil menyebut nomor pintu apartemennya.

Seketika, aku tak berselera lagi menghabiskan roti bakar dan kopi susu di hadapanku. Anggi telah menyihir naluriku. Aku bergegas mempercepat langkah memburu Anggi.  Ah sialan.

Aku mengetuk pintu apartemen Anggi. Nampak, di atas pintunya masih terselip bunga mawar segar.  Anggi membuka pintu, meski hanya setengah.  Dia tersenyum. Mungkin, senyum yang biasa diberikan untuk para lelaki ‘bertopeng’ yang biasa dia layani.

Anggi membiarkan dua kancing bajunya terbuka. “Hai, gimana kabarnya, Mas?” dengan sapa yang menggoda. Belum sempat aku menjawab, Anggi telah menarik lenganku ke dalam pelukannya. Kami saling menatap diam. Tubuhku setengah gemetar. Dikalungkannya kedua lengannya di leherku.

“Mas, ajari aku mencapai puncak kenikmatan yang paling disukai. Jangan hanya memberi teori saja,” ujarnya, manja. Gila ! Anggi masih mengingatnya. Tubuhku kian gemetar. Aku tak bisa berkata-kata.

“Kenapa?” tanya Anggi. “Aku gak minta dibayar koq,“ ujarnya mencoba meyakinkan. Aku menatap bola matanya dalam diam.

Aku tetap tidak membalas. “Kenapa mas?” ujarnya. 

“Bukan di sini, Anggi?” Jawabku pelan.

“Di mana?” cecar Anggi.

Aku melangkah ke luar kamarnya. Anggi mengunci pintu dari luar dan membuntutiku. Ia menggenggam tanganku, ketika aku bergegas lari, masuk ke dalam lift. Anggi memburuku. Nafasnya tersengal.

Dia terus membuntutiku, hingga lift tiba di lantai dasar dan keluar melintasi lobby, lantas melangkah ke mobil.

Aku masuk ke dalam mobil. Anggi pun masuk. Kupacu mobilku dan berhenti tak jauh dari permukiman miskin di bawah jalan tol.

“Lihat Anggi.. lihat…,” kataku sambil menunjuk kearah gubuk-gubuk kaum miskin kota. Aku keluar mobil. Kubukakan pintu mobil, berharap Anggi cepat keluar. “Lihatlah mereka yang tinggal di bawah kolong jalan tol. Hangatilah tubuh mereka. Peluklah mereka, kecup dahi mereka dengan cinta. Bukan dengan birahi atau asmara. Masukkan mereka dalam rongga kepuasanmu paling purba.. rasakan keindahannya…,” kataku.

“Anggi.. lepaskan.. Lepaskan busana fatamorgana dunia yang selama ini membungkus seluruh raga sukmamu.. Kenali.., kepuasan macam apa yang kau kehendaki..,” kataku.

Anggi terdiam mematung. “Tinggalkan saya di sini mas?” katanya.

Air matanya jatuh. Perlahan Anggi menemui mereka yang terbuang. Mereka yang bersatu dengan karbondioksida. Mereka yang telah terhapus dalam khutbah-khutbah. Mereka yang selalu disedekahkan dalam dongeng-dongeng pembesar.

Anggi menelanjangi dirinya. Kenikmatan palsu yang selama ini dia berikan kepada orang-orang ternama, penting dan dianggap terhormat, dan menjadi busana hidupnya dengan gemerlap kehidupan yang tak pernah memuaskannya, seolah terlucuti dari dirinya. Di kejauhan, sesayup terdengar tembang Ebiet G. Ade,”Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih. Suci lahir dan di dalam batin. Tengoklah ke dalam, sebelum bicara. Singkirkan debu yang masih melekat…”

Anggi melangkah. Mendekati orang-orang miskin papa, yang selalu berpeluh, membuang keluh, mencapai puncak kesahajaan hidup yang tak terbayangkan. Tubuh Anggi bergetar menyaksikan bocah-bocah miskin, di antara remah dan barang rongsokan, dan sampah yang selama ini dilihatnya dengan jijik.

Anggi menelanjangi batin dan sukmanya, polos tanpa kerling busana yang menghanyutkan hidupnya. Beberapa anak terbangun. Anggi mendekati mereka. Lalu memeluknya satu-satu. Air matanya terus mengalir, tak hanya membasahi pipinya, tapi juga jiwanya yang telanjang.

Ia menyatu dengan mereka yang  berpeluh kemiskinan. Anak-anak yang terlahir dari proses pertemuan sperma dan ovum yang sama.. yang jelma menjadi zigot, lalu janin, dan terlahir sebagai bayi yang sama di tempat yang berbeda.

Dalam ketelanjangan batinnya di hadapan anak-anak miskin, itu Anggi merasa dihempas.. kepalsuannya terampas. Dia merunduk.. tersuruk.., lalu bersujud dipeluk malam... |



(Nama tokoh dan tempat dalam cerita pendek ini hanya fiksi belaka)

Editor : sem haesy
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 419
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 992
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 227
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 705
Momentum Cinta
Selanjutnya
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 193
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 164
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 423
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya