Menerima Realitas Kecelakaan Lion JT610

| dilihat 2170

Renungan N. Syamsuddin Ch. Haesy

AWAL pekan bermula duka. Senin, 29 Oktober 2018. Pagi baru beringsut, jam baru menunjukkan pukul 06.21 waktu Indonesia Barat. Pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta - Pangkalpinang, jatuh di lepas pantai Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Muhammad Syaugi - Kepala Badan SAR Nasional (Ka BASARNAS) mengkonfirmasi media, pesawat itu jatuh di titik 25 nautical mile dari Tanjung Priok, atau 11 nautical mile dari Tanjung Karawang.

Pesawat diperkirakan hilang kontak pada pukul 96.33, 12 menit setelah lepas landas. Dan, Basarnas baru mendapat informasi dari pengatur lalu lintas udara - ATC (Air Traffic Center) 17 menit kemudian.

Pesawat lepas landas dari bandar udara internasional Soekarno - Hatta (Cengkareng) menuju bandar udara Depati Amir di Pangkalpinang.

Pesawat berpenumpang 178 orang dewasa (124 laki-laki, 54 perempuan), 1 anak=anak, 2 bayi, 1 pilot, 1 co pilot, dan 5 awak kabin itu, dikabarkan, adalah pesawat baru, produk pabrik pesawat sohor, Boeing. Informasi dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pesawat itu baru beroperasi dua bulan lalu.

Persisnya, dioperasikan sejak 15 Agustus 2018, menurut Danang Mandala Prihantoro, Corporate Communication Strategic - Lion Air. Danang menjelaskan, pesawat itu sudah dinyatakan laik operasi oleh yang berwenang, sebelum digunakan untuk melakukan penerbangan komersial.

Dalam hal kecelakaan pesawat, faktor utamanya paling tidak ada dua : machine error dan human error. Kecelakaan bisa terjadi karena faktor teknik dan teknologi, atau karena faktor manusia.

Direktur Utama Lion Air, Edward Sirait tak hendak bersoal tentang itu. Dalam jumpa pers di Soekarno Hatta dia mengatakan, "terlalu dini untuk menduga penyebab kecelakaan."

Dia melanjutkan, "Kami tak bisa berspekulasi, karena ini menyangkut nyawa manusia."

Yang jelas, Edward menegaskan, pesawat dalam keadaan laik terbang, dan sudah diperiksa para insinyur di Lion Air. "Memang pernah ada masalah teknis, tapi sudah ditangani," aku Edward tanpa penyembut, apa masalah teknis itu.

Dia buru-buru mengatakan, masalah teknis merupakan hal biasa untuk pesawat dan mesin apapun, namun sudah ditangani dengan baik.

Banyak media sudah memberitakan dengan deskripsi yang sesuai perkembangan aksi penyelamatan korban. Mulai dari serpihan pesawat sampai sepatu bayi. Pahit membayangkannya.

Meski teknologi tinggi pesawat terbang menjamin keamanan dan kenyamanan penerbangan dengan revolusi teknologi yang luar biasa, penerbangan komersial tetap saja menjadi cara perjalanan yang selalu menimbulkan rasa takut pada  banyak orang yang tak terhitung jumlahnya sejak tahun 1903.

Bahkan, rasa takut melakukan perjalanan dengan pesawat sulit diprediksi, kapan akan hilang dari semua orang. Karena penerbangan memang berisiko. Karenanya, tips paling ampuh dalam melakukan perjalanan melalui penerbangan adalah : enjoy saja.

Memasuki bandara, setiap pengguna jasa penerbangan udara akan melewati beberapa zona psychoritme yang memberikan tekanan psikologis.

Pintu pertama memasuki zona aerial di terminal keberangkatan, adalah pintu memasuki zona stress, sampai masuk ke dalam kabin. Karenanya, begitu masuk kabin dan duduk di kursi penumpang, kemudian menggunakan tali keledar (seatbelt), satu-satunya yang mesti dilakukan hanyalah pasrah kepada Tuhan. Patuhi semua instruksi awak kabin di bawah komando pilot dan atau co pilot.

Ketika pesawat melaju dengan kecepatan lebih dari 450 mph di ketinggian 39.000 kaki di udara, banyak hal bisa terjadi. Bahkan ketika terbang dengan pesawat hasil rekayasa terobosan teknologi berkesinambungan yang memastikan perjalanan lebih aman, orang-orang akan selalu takut terbang.

Para ahli meyakini, penyebab paling dominan dari kecelakaan pesawat terbang adalah manusia. Lebih dari 1.000 kecelakaan penerbangan fatal di seluruh dunia sejak 1950 hingga 2010, 53 persen fokus penyebabnya adalah pilot.

Kesalahan juga bisa dilakukan oleh mekanik dan pengendali lalu lintas udara, yang jumlahnya terus meningkat. Analisis yang pernah dilakukan Boeing memperkirakan faktor kesalahan manusia menjadi penyebab pada sekitar 80 persen kecelakaan.

Dalam hal faktor manusia, kesalahan pilot bisa terjadi dalam proses pengambil keputusan cepat dalam keadaan darurat, yang terkait dengan profesi lain, termasuk pengendali pesawat di darat.

Keputusan pilot dan awak kabin, juga bisa dipengaruhi oleh kebijakan manajemen, termasuk, misalnya dalam memahami prinsip dasar tentang efisiensi dan efektivitas. Khasnya dalam mengelola rute penerbangan untuk menghindari cuaca buruk, misalnya.

Faktor lain dalam konteks machine error, bisa terjadi di beberapa fase. Mulai dari fase percobaan, antara lain melalui joy flight sebelum pesawat dinyatakan laik untuk penerbangan komersial.

Tidak mudah menjadi pilot dan tak juga boleh sertamerta menuding pilot dalam peristiwa kecelakaan.  Bayangkan, bagaimana beban berat yang dipikul pilot dalam mengendalikan pesawat dengan mesin yang sangat canggih dan rumit dengan ribuan bagian yang bergerak.

Apa pun bisa salah pada waktu tertentu dan merupakan tanggung jawab pilot untuk mendapatkan pesawat dari titik berangkat ke titik tujuan, tanpa masalah sambil mengontrol semuanya. Berbagai kemungkinan kesalahan bisa terjadi, termasuk yang paling elementer, misalnya kesalahan membaca peralatan atau kondisi cuaca, komunikasi antara pilot dengan petugas kendali lalu lintas udara di darat, bahkan dengan sesama pilot di jalur penerbangan yang sama dengan ketentuan yang berbeda.

Semua itu, berpangkal pada kebijakan induk penerbangan yang menjadi domain negara yang dilaksanakan pemerintah. Antara lain melalui Menteri Perhubungan dan seluruh aparatus yang terkait, termasul pengelola manajemen terminal airport.

Dalam kasus pesawat Lion JT610, kita tunggu pihak yang berwenang (KNKT) yang mengumumkan dan menjelaskan, meski sampai saat ini, di negeri kita, nyaris sedikit sekali penjelasan gamblang kepada khalayak, sebab musabab pesawat terbang mengalami kecelakaan. Entah kenapa.

Selebihnya, adalah pengendalian diri untuk tidak melakukan aksi yang tak patut melalui media sosial, apalagi informasi wadul (hoax) tanpa verifikasi sumber informasi dan konfirmasi materi informasi tersebut.

Apa yang mesti kita lakukan kini? Bekerjasama dalam keterbukaan dan kebajikan untuk mengendalikan antusiasme keingintahuan kita tentang peristiwa.

Lantas, menghidupkan simpati terhadap keluarga korban, dan empati besar kepada korban. Tentu, juga apresiasi kepada seluruh pihak yang bergiat menyelamatkan korban, minimal yang bersusah payah melakukan aksi penanggulangan korban.

Basisnya adalah mendudukkan cara berfikir, bersikap, dan bertindak kita terhadap peristiwa. Di sisi lain, tentu, manajemen maskapai penerbangan perlu menunjukkan tanggungjawab korporasi secara profesional.

Dahulukan cara mengatasi masalah dan cara komunikasi yang terbaik kepada keluarga korban. Abaikan alasan apapun, apalagi sekadar alasan intuitif. Mari tempatkan diri sebagai keluarga korban.

Tak seorangpun mau terkena musibah, sekecil apapun. Tapi, ketika musibah datang, tak sesiapa bisa mengelak. Karenanya, keikhlasan dan kesabaran diperlukan, tanpa mengabaikan tanggungjawab korporasi.

Do'akan, seluruh korban diberikan takdir terbaik menurut Allah, bukan takdir terbaik yang kita inginkan. Pahami realitas, kecelakaan Lion JT610 kini, merupakan sesuatu yang berada di luar empirisma kita. |

 

JB 291018

Editor : sem haesy | Sumber : berbagai sumber
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya