Korban Pembantaian di Zaman Kuno Ditemukan

| dilihat 2615

AKARPADINEWS.COM | SEJARAH peradaban manusia tidak terlepas dari peristiwa peperangan. Begitu banyak fakta sejarah yang menguraikan tumpahnya darah dan air mata akibat peperangan sesama manusia.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Kenya menemukan bukti baru perihal hubungan manusia dan peperangan. Para peneliti menemukan, 27 tengkorak manusia yang diperkirakan sudah berumur 10 ribu tahun. Di tengkorak itu, terdapat berbagai bekas luka, akibat benturan benda tumpul hingga luka tembus yang diperkirakan akibat peluru atau panah. Dari jenis tulangnya, para peneliti memperkirakan terdiri dari tengkorak laki-laki, perempuan hingga anak-anak.

Robert Foley, arkeolog dan antropolog dari Universitas Cambridge, Inggris, memperkirakan, skala kematian yang menimpa 27 tengkorak tersebut bukan disebabkan pembunuhan secara personal atau bunuh diri dalam satu keluarga. “Ini (yang terjadi pada tengkorang-tengkorak tersebut) disebabkan oleh konflik antarkelompok,” ujarnya.

Temuan itu menunjukkan, konflik antarkelompok tidak hanya disebabkan oleh kompleksitas struktur sosial ataupun kasus politik semata. Karena, tengkorak-tengkorak yang ditemukan itu diperkirakan hidup dalam peradaban kuno sebagai pengumpul dan pemburuan makanan.

Meski demikian, Foley mengatakan, temuan itu masih perlu diteliti lebih lanjut guna memastikan jasad yang ditemukan bukan disebabkan serangan binatang. Untuk itu, penelitian akan membandingkan fase peradaban pengumpulan dan perburuan makanan yang lebih modern. Selain itu, dibandingkan dengan kemungkinan konflik terjadi atas ancaman kehilangan habitat dan upaya penjajahan kelompok lainnya.

Tulang-belulang ini ditemukan di situs Nataruk, di sebelah barat daya tepian Danau Turkana, yang ditemukan pada tahun 2012. Temuan yang merupakan bagian dari projek penelitian Afrika yang dipimpin oleh Martha Mirazon dari Universitas Cambridge, dapat dikatakan sebagai salah satu bukti korban perang pada peradaban pengumpulan dan perburuan kuno.

Tulang belulang itu ditemukan di sebuah laguna yang pada proses penggaliannya sudah ada yang timbul ke permukaan. Ketika tim melakukan penggalian lebih dalam, tim menemukan 27 tujuh jasad tersebut sebagian besar utuh dan ada yang sudah berupa serpihan-serpihan. Berdasarkan usia tulangnya, diperkirakan sudah berumur 9.500 tahun hingga 10.500 tahun lalu, yang kemudian dicantumkan dalam jurnal ilmu pengetahuan alam.

Untuk sebuah tulang-belulang, kondisi jasad tersebut cukup baik. Foley mengatakan, kondisi itu dijaga sedimen danau sehingga tulang-belulang utuh untuk beberapa milenia. Munculnya jasad-jasad itu kepermukaan diperkirakan karena penipisan tinggi danau.

Asumsi jasad-jasad tersebut korban perang, menurut Foley, karena posisinya tidak seperti sebuah pemakanan yang sengaja dibuat. “Ini bukan sebuah pemakaman, karena orang-orang ini bukan sengaja dimakamkan di sini. Mereka meninggal di sini dan sengaja ditinggalkan di sini,” ungkap Foley.

Adapun, sebagian besar jasad memiliki bekas trauma benda tumpul di bagian tengkoraknya dan sebagian lainnya terdapat bekas tertancap panah di bagian tempurung kepala dan tulang lehernya. Selain itu, sisa senjata pembunuhnya, seperti busur panah dan anak panah serta gada pemukulnya, ditemukan di dekat jasad-jasad tersebut. Peneliti juga menemukan jasad perempuan dengan lutut yang rusak terbaring miring dengan pose seolah-olah diikat. Atas temuan itu, para peneliti berhipotesis, jasad-jasad tersebut merupakan korban perang.

Foley mengatakan, jika melihat jumlah jasadnya, kemungkinan korban bukan sekedar karena konflik antar keluarga. Namun, diperkirakan berasal dari kelompok pengumpul dan pemburu yang jumlahnya cukup besar. Karena, menurut Foley, jumlah pengumpul dan pemburu biasanya sekitar 25 hingga 30 orang dalam satu tenda.

Para peneliti pun menyimpulkan bahwa jasad-jasad ini merupakan korban serangan dari kelompok yang lebih besar. Penyerangan itu disebabkan perebutan sumber makanan karena para korban tinggal menetap di dekat danau yang notabennya dekat dengan sumber makanan.

“Ide tersebut dirasa tepat untuk menggambarkan persoalan terjadinya perang. Karena, suku yang nomaden kemungkinan kecil berperang antar suku,” ungkap Foley.

Meski penemuan ini dapat menjadi kunci asal-muasal kebiasaan manusia berperang, Foley berpendapat, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menyimpulkannya sebagai sebuah teori yang utuh. Terlebih, belum ditemukannya penggunaan senjata kelas berat sebagai salah satu bukti perang yang besar.

Bagi Foley, temuan ini menjadi bukti jika manusia itu memiliki sisi kebengisan sebagai bagian dari perilakunya. “Temuan ini menunjukkan manusia kuno sudah memiliki tabiat kekerasan dengan sesamanya. Seperti juga adanya sisi altruisme atau kehidupan bersosial dalam sebuah kelompok, kerja sama, dan saling menyayangi,” pungkasnya.

Melalui temuan ini dapat dikatakan bahwa manusia memiliki sisi kebengisan alami sama alaminya dengan pola kehidupan sosial, kerja sama, dan rasa kasih sayang. Untuk memahami manusia seutuhnya memang bukan sekedar dari pencarian asal-muasal manusia seperti yang dilakukan oleh Charles Darwin. Teori evolusi yang dicetuskan Darwin belum mampu menyinggung perihal perilaku alami manusia.

Temuan ini menjadi satu langkah maju untuk memahami perilaku manusia sehingga manusia modern kini menjadi lebih memahami dan memaknai kehidupannya. Temuan ini menjadi cermin refleksi untuk memahami makna kehadiran manusia di bumi dari segi sainstifik.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : CBS News
 
Energi & Tambang
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya