Catatan Bang Sèm
Sejak diucapkan Calon Presiden Anies Rasyid Bawedan dalam Debat Capres (Selasa, 12/12/23), sesanti "Wakanda No More, Indonesia Forever !" mencuat dan menjadi pernyataan nilai yang meluahkan spirit mendapatkan kembali kemerdekaan dasar rakyat di negara hukum, negara konstitusional.
Tiada lagi Wakanda, Indonesia selamanya !
Situasi demikian mengingatkan kembali kita pada apa yang pernah dialami warga bangsa Indonesia ketika berada dalam kolinialisme politik penjajah Belanda. Dalam artikelnya bertajuk "Koloniale Politiek," Bung Hatta (kemudian menjadi satu di antara dua Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945).
Dalam artikelnya yang dimuat Daulat Rajat No.1 Tahun 1931 ( terbit 20/9/1931) tersebut, Bung Hatta mengungkap muslihat penjajah Belanda mengubah arus format kenegaraan: dari Politiestaat (negara polisi) ke "rechts"-staat (negara hukum) dan kembali lagi ke Politiestaat.
Semua orang, khasnya pihak oposan yang kritis dipantau dan dicurigai. Lantas kapan saja bisa masuk dalam jaring ordonansi sebagai pumpunan 'wet' alias aturan hukum tertulis. Sejalan dengan sikap negara kekuasaan, "Wetten zijn geschreven rechtsregels." Hukum adalah peraturan hukum yang tertulis. Bisa tegak lurus, bisa ditekuk oleh penguasa dengan beragam muslihat.
Kemerdekaan Mendasar
Pada masa itu, sikap kritis khalayak terhadap pemerintah, khasnya melalui media yang ada pada zamannya, dicurigai, dicegah, dihambat, dan dipidanakan.
Kritik-kritik tegas dan substantif dianggap mengganggu kesenangan pemerintah Hindia Belanda, karenanya harus dibungkam. Tanpa kecuali menggunakan delik aduan, lantaran ada kaki tangan penjajah yang melaporkan ke pihak polisi.
Bung Hatta menulis, situasi yang 'menekan' rakyat - warga bangsa Indonesia yang sedang gencar memperjuangkan dan merebut kemerdekaan kian terasa, kala Gubernur Jendral Fock berkuasa. Tidak boleh lagi ada kritik yang tegas dan melakukan aksi mogok untuk mengekspresikan hak-hak dasar rakyat.
Hak-hak dasar tersebut antara lain adalah kemerdekaan berbicara dan berekspresi, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk menghormati privasi pribadi, hak untuk memilih anggota badan perwakilan (parlemen), dan lain-lain, yang merupakan kemerdekaan bersikap yang semuanya termaktub dalam perjanjian internasional. Termasuk konvensi untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kemerdekaan mendasar.
Kesemua hak dasar itu menggusarkan oleh penguasa karena dianggap sangat membatasi kekuasaan pemerintah. Saking gusarnya, 'kata' dapat dipersoalkan dipidanakan ssuai dengan tafsir atas bunyi peratutan hukum tertulis. Kata yang tertulis dan diucapkan dapat dipersoalkan dalam kaitan dengan teks dan dijauhkan dari konteks, apalagi konteks ilmu pengetahuan.
Pada masa itu pejuang kemerdekaan tak mau menggunakan eufemisma bahasa dengan menggunakan kata ganti atas suatu substansi, termasuk dalam hujah tertulis dan lisan.
Kesetaraan Hukum
Belakangan hari, pada dekade 1970-1980-an dan satu dekade mutakhir banyak orang menggunakan eufemisme bahasa atas subyek yang menjadi fokus pandangan dan sikap kritisnya. Antara lain, menggunakan istilah Wakanda (sebagaimana halnya Konoha) sebagai 'kata ganti' untuk Indonesia.
Pada dekade 1970 - 1980-an, banyak orang termasuk saya, kudu menggunakan nama tokoh, negara, dan tempat yang mengalami peristiwa buruk dan menyengsarakan rakyat -- termasuk yang fiksional -- dengan kemiripan yang terjadi di negeri sendiri. Misalnya sosok Ulyses dan negeri Bahlula.
Eufemisme bahasa dianggap sebagai suatu cara taktis yang menggunakan idiom ewuh pakewuh, sindir sampir dalam mengungkap realitas pertama kehidupan sosial sehari-hari. Khasnya dalam menyiasati pasal undang-undang yang bisa dipelintir kapan saja, dan siapa saja bisa dipidanakan karena gencar dan lantang melakukan kritik.
Sesanti "Wakanda No More, Indonesia Forever," menyadarkan kembali sikap lugas dan tegas berbasis akal sehat dengan cara pandang jernih melihat realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Realitas pertama yang tak harus diseret ke dalam realitas kedua.
Sikap ini merupakan sikap lugas yang diserukan seorang pemimpin penggerak perubahan yang pesona personanya menjadi nation energizer. Khasnya dalam konteks melakukan perubahan menghidupkan kewarasan dalam merawat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), berbasis realitas: bhinneka tunggal ika, di atas landasan konmstitusi UUD 1945 dan ideologi dasar Pancasila. Berbekal nilai dasar kolaborasi, solidaritas, dan soliditas kebangsaan untuk merayakan ke-Indonesia-an senyatanya.
NKRI sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaqan. Negara yang sangat kemandang penting dan utama kemerdekaan, kepastian hukum, dan kesetaraan hukum dalam dimensi keadilan bagi warga negara.
Hak-hak Dasar Secara Penuh
Setarikan nafas, menciptakan kondisi agar warga negara menikmati perlindungan hak dan kebebasannya, terhadap sesama warga negara dan terhadap pemerintah. Lantas, hukum berada dalam posisi otoritas tertinggi yang menata dan mengatur kekuasaan. Tata kelola negara hukum merupakan kebalikan dari politiestaat (negara polisi) yang disebut Bung Hatta atau staat van macht.
Dalam terminologi keilmuan, Politiestaat atau Stat van Macht - negara kekuasaan - pemerintah melakukan apa saja yang dikehendakinya. Termasuk tidak mematuhi atau mengubah-ubah atau membuat dan memberlakukan peraturan sesuka hati. Termasuk memihak kepada warga negara tertentu, atau mudah memenjarakan orang dengan atau tanpa keterlibatan hakim. Jadi ada kesewenang-wenangan.
Dalam negara hukum, kekuasaan pemerintah dibatasi oleh undang-undang, peraturan, dan adat istiadat, dan rakyat mempunyai kemerdekaan dan hak-hak dasar secara penuh. Karenanya, supremasi hukum bukan sekadar lips services yang hanya menyenangkan telinga dan hati.
Negara hukum juga mengatur, bahwa kebebasan juga berbatas, karena undang-undang mengatur, bahwa kemerdekaan seseorang tak boleh merampas kemerdekaan sesamanya, apalagi membahayakan masyarakat, negara, dan bangsa dengan perspektif yang disepakati bersama. Termasuk pengertian dan pemahaman tentang menghasut dan melontar kebencian antar sesama warga negara - bangsa.
Supremasi Hukum
Intinya adalah, Negara Hukum menempatkan supremasi hukum untuk melindungi seluruh warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
Pemerintah wajib mematuhi hukum, dilandasi oleh kesadaran etik, dan karena itu tidak boleh membatasi atau merampas kebebasan dan hak warga negara. Termasuk hal yang paling sederhana, seperti menyadap ponsel kita - kecuali yang cukup pertimbangan melalui penyelidikan. Pemerintah tak bisa memenjarakan siapa saja dengan alasan sesuka hati, karena beralas pada asas legalitas yang sah dan diputuskan pengadilan.
Kecerdasan budaya Sunda memandu prinsip bernegara, "Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa." - mesti mengacu kepada hukum, menjunjung negara dan mufakat untuk kebaikan bersama.
Untuk itu, dalam kecerdasan budaya Bugis seperti ujaran Kajao Laliqdong, “Dua tanranna namaraja tanaé, Arumponé. Séuani, malempui namacca arung mangkauk é. Maduanna, tessisala-salaié ri lalempanua.” - Dua tanda?negeri menjadi besar, yakni : Pertama, pemimpin yang memerintah jujur lagi pandai. Kedua, tidak terjadi silang?sengketa dalam negeri.”
Bagi saya, "Wakanda No More, Indonesia Forever" merupakan sesanti sekaligus idiom penting untuk kembali menghidupkan kewarasan dalam merawat negara bangsa. Terutama dalam menegakkan prinsip negara hukum. Untuk itu diperukan pemimpin yang jujur, kompeten - layak dan patut, serta dapat dipercaya menggerakkan demokrasi sebagai cara mencapai harmoni (keseimbangan) kehidupan kebangsaan. |