Tanpa BuzzerRp AMIN Berikan Solusi Hadapi Virus FOPO

| dilihat 334

Amidien

Salah satu keteladanan Calon Presiden Anies Rasyid Baswedan dan Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar (AMIN) alias Capres-Cawapres No.1 adalah sikap dan aksi politiknya yang tidak pernah dan tidak akan menggunakan buzzer, terutama buzzer bayaran.

Buzzer adalah seseorang atau kelompok orang, dengan atau menyembunyikan identitas pribadinya, dengan imbalan tertentu, untuk menyatakan pendapat, dukungan, dan keberpihakan tertentu kepada patron-nya melalui media sosial, tanpa mengindahkan dampak buruknya. Mereka lebih berorientasi mendahulukan pembenaran dari pada kebenaran. Mereka disebut juga sebagai pendengung alias pembising.

Dalam berbagai kesempatan (sebelum dan di masa) kampanye Pilpres, Anies tegas mengemukakan, AMIN dari rekam jejaknya tidak pernah menggunakan buzzer - apalagi buzzer bayaran (yang populer dengan istilah buzzerRp).

Anies, bahkan berpengalaman selama lima tahun memimpin DKI Jakarta Raya sebagai Gubernur, selalu menjadi sasaran utama serangan para buzzerRp yang memutarbalikan fakta, menebar perundungan (bully), perwadulan (hoax), bahkan fitnah.

Anies mengatakan bila saja selama lima tahun terakhir memimpin Jakarta menggunakan buzzer maka dirinya tidak akan babak belur karena banyak mendapatkan kritik.

Dalam berbagai kesempatan bicara dan menjawab pertanyaan di berbagai forum, setiap kali menjawab pertanyaan tentang buzzerRp, tegas dia mengatakan, bahwa keberadaan buzzerRp sangat merusak dan merusak demokrasi.

Bukan Pemimpin Kalengan

Anies dan Muhaimin lebih memilih menjalankan aksi kepemimpinannya secara alamiah dan mengelola gagasan-gagasannya menjadi kenyataan. Karena inilah yang dengan sendirinya akan menjawab dan menihilkan apa yang dilontarkan buzzerRp kepadanya.

Sebagai pemimpin yang berasal dari lingkungan aktivis kampus dan konsisten berpihak pada kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berbicara, dan kemerdekaan berfikir sebagai hak dasar manusia yang berfikir, Anies dan Muhaimin merupakan pemimpin sejati.

Untuk sampai kepada eksistensinya kini, keduanya menempa diri dalam proses interaksi dan pematangan diri dengan berbagai kalangan. Termasuk menempa diri melalui proses dialog, diskusi, debat, dan kontestasi gagasan.

Keduanya bukan pemimpin kalengan (canned leader) atau 'pemimpin tangèh,' yang dilahirkan melalui proses pemeraman dengan menghalalkan segala cara. Termasuk pemimpin nepotistik.

Dengan sikapnya yang lebih cenderung membuka ruang bagi masyarakat, negara, dan bangsa untuk terus menerus belajar berfikir, pasangan ini berkontribusi dalam mencegah terjadinya proses penghancuran nalar publik. Termasuk memecah belah masyarakat, negara, dan bangsa. Sekaligus menjauhkan demokrasi dari fungsi utamanya sebagai formula mencapai harmoni kemanusiaan dan kebangsaan.

Aksi buzzerRp -- meski dikemas sebagai intuitive reason metode rekacitra (image engineering) -- sangat berbahaya, karena menghambat dan melemahkan potensi manusia. Dalam satu tarikan nafas, menghadirkan kondisi sosial 'beternak' petinggi, katimbang menempa lahirnya pemimpin.

BuzzerRp dan FOPO

Saya sepandangan dengan kandidat AMIN, bahwa memelihara atau membiarkan buzzerRp, akan menghadapkan masyarakat ke dalam kubangan FOPO (Fear of Other People's Opinions) khalayak, yang penuh lumpur dusta (post truth).

FOPO menurut Gervais, psikolog dan penulis  The First Rule of Mastery: Stop Worry about What People Think (2023),  merupakan kekuatiran berlebih pada pendapat orang lain tentang diri kita.

Suatu mekanisme antisipatif sebelum terjadinya interaksi dengan orang lain. Bisa juga dipahami sebagai kecemasan dalam berinteraksi sosial. Bukan tentang apa yang dipikirkan, melainkan tentang apa yang mungkin mereka (khasnya para buzzer) pikirkan tentang seseorang dibidiknya.  Solusinya adalah setop peduli pada apa yang dipikirkan orang lain tentang diri kita.

Anjuran Anies kepada siapa saja untuk membiasakan diri berdialog, berdiskusi, dan berdebat adalah salah satu cara yang harus dilakukan untuk menghidupkan budaya media (yang kini berkembang secara multi media, multi channel, dan multi platform).

Menurut Stephanie Vozza, penulis kepemimpinan dan produktivitas (FastCompany, 2023), ketakutan terhadap pendapat orang lain (FOPO), membuat kita terjebak dan merasa kecil, namun ada alasan biologis dan sosial yang mendasarinya.

Menurutnya, otak kita dirancang untuk bertahan hidup, dan terus-menerus memindai lingkungannya untuk menemukan semua hal yang berpotensi berbahaya. Untuk bertahan hidup, otak menjadi selaras dengan penerimaan dan menciptakan psikologi yang terus-menerus berusaha menyesuaikan diri.

Pendidikan Politik

Pengalaman sosial, ungkap Vozza, juga memicu mekanisme kuno pertarungan dan pembekuan di otak. Misalnya saja, media sosial telah membuat kehidupan kita lebih bersifat publik dibandingkan sebelumnya.

Dengan cara yang dianjurkan dan dicontohkan oleh sikap dan aksi Anies dan Muhaimin, akan memberikan lebih banyak peluang bagi otak untuk mempersiapkan diri menerima umpan balik.

Calon pemimpin atau petinggi yang takut terhadap pendapat orang lain (khasnya kritik), boleh dipastikan sudah terkena  FOPO. Dalam kontestasi politik, biasanya menghindari dialog, diskusi, dan debat gagasan secara terbuka.

Kalaupun terpaksa hadir di tengah khalayak -- dalam suatu interaksi berjarak yang dirancang para konsultan politiknya -- mengalami komunikasi yang gagap (stuttered communication). Antara lain ditandai dengan berpikir lamban, tidak selaras menjawab sesuatu pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Atau memungkas peluang bicara dengan alasan naif, seperti :"Sudah tertulis di dalam buku, baca saja bukunya."

Bisa juga ngelès dari pertanyaan, lantas bicara ngelantur menjauh dari pertanyaan dan berkutat dengan apa yang sudah disiapkan untuk  diutarakan. Bentuk sikap lain adalah 'komunikasi bisu' -- jeda beberapa saat, kemudian menutup pembicaraan.

Ironisnya, petinggi macam begini, justru menjadi bagian dari pengidap FOMO (Fear of Missing Out), khalayak yang selalu kuatir tertinggal sesuatu yang baru - tren gaya hidup -- yang diasumsikannya sendiri, merupakan tren gaya hidup sebagian besar khalayak (kaum milenial atau GenZ) misalnya.

Solusi Atasi Virus FOPO

FOMO dan FOPO adalah 'penyakit jaman kiwari' sebagai efek dari tsunami indormasi yang dibawa oleh kemajuan teknologi komunikasi  - informasi melalui media sosial sebagai wahana kampanye politik.

Efek dari FOPO para petinggi (bukan pemimpin) publik atau mereka yang berkompetisi dalam kontestasi politik -- Pemilu dan Pilpres, khasnya -- adalah berkembangnya 'ternak buzzerRp.'

Sebagai 'pembising atau pendengung' buzzerRp memanfaatkan kontestrasi politik sebagai lahan untuk mencari keuntungan finansial dan menjadikan media sosial sebagai sebagai corong propaganda.

Dalam konteks kontestasi Pilpres 2024, apa yang ditempuh AMIN, menghadirkan juru bicara dari kalangan millenial (GenZ), termasuk pemilih pemula merupakan bagian penting dalam pendidikan politik. Sekaligus solusi mengatasi virus FOPO dan FOMO.

Dengan demikian kampanye kontestasi politik bernilai edukasi dan menjadi implementasi langsung sikap kepemimpinan terkini dan berkemajuan. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Sainstek
25 Okt 24, 10:37 WIB | Dilihat : 213
Maung Garuda Limousine yang Membanggakan
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 1822
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 2091
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 2321
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
Selanjutnya
Lingkungan
19 Sep 24, 12:52 WIB | Dilihat : 781
Antara Lumbung Pangan dan Kai Wait
24 Jul 24, 07:03 WIB | Dilihat : 988
Gertasi Selenggarakan Munas di Perdesaan Garut
02 Jul 24, 13:28 WIB | Dilihat : 963
Menyambangi Kota Bogor dari Jalur Commuter Line
23 Mei 24, 17:36 WIB | Dilihat : 1584
Wawali Bukittinggi Sambut Baik Gagasan SIGAP Indonesia
Selanjutnya