Puan Maharani dan Cermin Kebangsaan

| dilihat 710

Catatan Cinga Zaidan

Meskipun banyak kursi di ruang sidang paripurna gedung parlemen, Senayan, Rapat Paripurna bersama tiga lembaga tinggi negara: MPR RI/DPR RI/DPD RI berlangsung sesuai agenda acara yang sudah dirancang, Jum'at (16/8/24).

Usai menerima peran sebagai pemimpin sidang dari Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan pidato pengantar yang menarik dan patut disimak.

Bagi saya, inilah pidato paling layak dan patut disimak, lantaran menularkan pesan dan semangat kebangsaan, serta penyadaran ihwal bagaimana mesti merawat kemerdekaan bangsa yang sejak 17 Agustus 1945 kita kenali sebagai bangsa Indonesia. Lantas, keesokan harinya (18 Agustus 1945) membentuk negara bernama Republik Indonesia.

Kemerdekaan Bangsa dan Negara Republik Indonesia merupakan buah perjuangan rakyat Indonesia, yang kesadaran kebangsaannya dalam suatu pergerakan modern (sebagai kelanjutan perjuangan rakyat di berbagai wilayah Bumantara) melalui Sarekat Dagang Islam (SDI) di Laweyan, Solo penghujung tahun 1905 yang didirikan Haji Samanhoedi (kemudian menjadi Sarekat Islam dipimpin Omar Said Tjokroaminoto) - Sarekat Dagang Islamiyah (lantas Sarekat Prijaji) di Bogor oleh Tirto Adhisoeryo pada tahun yang sama; kemudian Perkumpulan Prijaji Jawa dan Madoera - Boedi Oetomo (1908).

Artikulasi gagasan modern tentang kemerdekaan dikemukakan oleh Tjokroaminoto lewat pidatonya yang dahsyat bertajuk Zelfbestoer yang  disampaikannya pada 17 Juni 1916 di gedung Societat Concorde (kini Gedung Merdeka) di Bandung di hadapan ribuan peserta NATICO (National Congress) I Sarekat Islam.

Secara artikulatif dan aksentuatif, pidato Tjokroaminoto meluahkan dan menegaskan, bahwa tidak patut lagi Hindia Belanda diperintah oleh Nederland (Belanda), yang hanya dijadikan sebagai sapi perasan, yang hanya mendapat makan karena susunya; tidak pantas lagi untuk memandang negeri ini sebagai tempat untuk didatangi dengan maksud mencari untung, dan sudah tidak patut lagi, penduduknya, terutama putera-buminya, tidak punya hak untuk ikut bicara dalam urusan pemerintahan, yang mengatur nasibnya. Melainkan harus diperintah oleh pemerintahnya sendiri (zelfbestoer).

Gagasan kemerdekaan yang diluahkan Tjokroaminoto, -- mertua (pertama) sekaligus guru kebangsaan Bung Karno -- memakan waktu 12 tahun menjadi komitmen kebangsaan tertulis dalam Soempah Pemoeda II (28 Oktober 1928). Kemudian menjadi kenyataan dalam Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia (17 Agustus 1945) yang  Soekarno - Hatta.

Dua hari sebelumnya, para pemuda pejuang, 'melarikan dan memaksa' dua proklamator kemerdekaan Negara Republik Indonesia itu,  tersebut ke Rengasdengklok, Karawang, sebagaimana tertulis dalam berbagai catatan sejarah kebangsaan Indonesia.

Cermin Kebangsaan Puan

79 tahun kemudian, Puan Maharani (salah seorang cucu Bung Karno)  sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI, menghela kesadaran tentang realitas tata kelola Republik Indonesia sebagai bangsa dan negara merdeka melalui mekanisme demokrasi, melalui Pemilihan Umum (2024). Mekanisme yang diharapkan melahirkan negarawan politisi dan politisi negarawan. Namun, realitasnya masih 'jauh panggang dari api.'

Puan mengemukakan, "Pemilu yang berkualitas tidak hanya dapat dilihat dari partisipasi rakyat dalam memilih. Harus dilihat juga dari dari kebebasan rakyat untuk memilih, yaitu apakah rakyat dapat memilih dengan bebas, jujur, adil, tanpa paksaan, tanpa dikendalikan, dan tanpa rasa takut.”

Kata Puan, "Menjaga dan menciptakan demokrasi yang berkualitas, semakin maju, dan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab bersama." Tanpa kecuali,  tanggung jawab bersama menjaga dan menciptakan demokrasi beradab, termasuk mengenai etika dalam politik. “Etika politik ... menuntut pemilu dilaksanakan dengan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menjalankan kedaulatannya.”

Puan menilai, pelaksanaan Pemilu 2024, ... ada banyak yang harus dijadikan pelajaran. “Dalam Pemilu, seharusnya rakyatlah yang jadi pemenang: menang karena dapat menjalankan hak kedaulatannya secara bebas, jujur dan adil,  sehingga berlaku adagium ‘Suara rakyat adalah suara Tuhan’ (Vox Populi, Vox Dei).

Pengalaman Pemilu 2024, ungkap Puan, dapat dijadikan evaluasi agar pelaksanaan proses demokrasi selanjutnya semakin baik. Semua (pemangku kepentingan, maksudnya) harus memiliki komitmen yang sama demi menjaga demokrasi di Indonesia.

“Kita berkomitmen, bahwa segala peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak pada bulan Februari 2024 yang lalu, baik yang manis, maupun yang pahit apalagi getir, untuk menjadi bahan introspeksi dan pelajaran penuh hikmah.”

Jelas, Puan menyatakan, berdemokrasi bukan sekadar untuk memilih orang per orang untuk menjadi pemimpin  melalui pemilu. “Tetapi berdemokrasi adalah bagaimana membangun sebuah peradaban bangsa yang bermartabat.

Membajak Kekuasaan Negara

Dikemukakannya, perjuangan politik seharusnya diikuti dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara agar tidak membuat kebohongan terdengar jujur di mata rakyat. Ia juga berujar, hakekat demokrasi untuk memberi jalan agar kekuasaan mendapatkan legitimasinya sehingga kekuasaan dapat digunakan untuk mengatur bangsa dan negara dalam memberikan rakyatnya kepastian untuk hidup sejahtera sesuai harkat dan martabatnya.

Ia mengingatkan, “demokrasi dapat juga berjalan pada arah yang salah, yaitu demokrasi menjadi jalan untuk menciptakan diktator mayoritas maupun tirani minoritas, demokrasi yang membajak kekuasaan negara."

Dalam satu tarikan nafas, Puan mengingatkan, konstitusi Indonesia telah meletakkan prinsip dasar berdemokrasi yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat, bahwa Indonesia adalah negara hukum dan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.

"Konstitusi kita telah mengatur bagaimana kedaulatan rakyat harus dijalankan secara kolektif dengan prinsip checks and balances pada cabang-cabang kekuasaan negara eksekutif, legislatif dan yudikatif,” ujar Puan.

Pada bagian lain pidatonya, itu Puan mengemukakan,  politik berbangsa dan bernegara tersebut harus dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang beradab, bermartabat, dan beretika. Dengan begitu, perjuangan politik memiliki makna membangun peradaban. Apabila politik dijalankan tanpa nilai-nilai, maka perjuangan politik hanya berisikan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau golongan.

"Politik tanpa nilai akan menggunakan bahasa politik untuk membuat kebohongan terdengar jujur, bahkan hukum pun dapat kehilangan otoritas keadilan,” tambah Puan.

Seorang Negarawan, kata Puan, "akan memikirkan masa depan negara yang harus lebih baik, sedangkan Politisi akan memikirkan masa depan hasil pemilu yang harus lebih baik. Visi tanpa kekuasaan disebut akan menjadi sia-sia dan kekuasaan tanpa visi menjadi sewenang-wenang."

Mengabaikan Aspirasi Rakyat

Pidato Puan Maharani selaku Ketua DPR RI tersebut, laiknya cermin kebangsaan 79 tahun proklamasi kemerdekaan. Cermin jernih yang dilihat oleh kacamata politisi yang buram dan retak. Khasnya, ketika penyelenggaraan negara dan demokrasi dilakoni oleh pragmatisme dan politik transaksional.

Proses formal suksesi kepemimpinan nasional dan daerah tidak dilakukan dengan keadaban dan pertimbangan akal budi. Bahkan menabrak etika yang dikemas dengan formalisma konstitusional. Tak terkecuali penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang mengabaikan aspirasi rakyat.

Partai-partai politik diseret oleh para petingginya ke dalam arus praktik demokrasi yang hanya berorientasi pada perebutan kekuasaan semata. Antara lain dengan fenomena kotak kosong atau kontestasi tak berimbang. Termasuk menutup peluang bagi anak bangsa yang kehadirannya sebagai pemimpin diperlukan rakyat.

Para petinggi tersebut menyeret partainya hanya dalam dikotomi kalah menang, dan mengabaikan prinsip demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan sebagaimana diidamkan oleh para pejuang kemerdekaan, para pendiri negara Republik Indonesia.

Cucu pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Haji Agus Salim, Agustanzil Sjahroezah -- di tengah malam kontemplasi dan salawat kemerdekaan bersama warga di sudut kelurahan Sungai Bambu, Jakarta Utara -- mengingatkan, kewajiban warga negara menjaga kehormatan, kemuliaan, dan kedaulatan bangsa Indonesia dengan cara yang beradab.

Cermin kebangsaan dalam pidato Puan Maharani mengingatkan siapa saja warga negara dan warga bangsa melakukan introspeksi, kala para petinggi partai politik hanyut dengan fantasi mereka tentang kemerdekaan yang berbeda dengan imajinasi rakyat. |

Editor : delanova
 
Sporta
Budaya
02 Feb 25, 05:34 WIB | Dilihat : 837
Kuku Macan Betawi untuk Bang Anung
15 Nov 24, 20:48 WIB | Dilihat : 1177
Perkabungan
12 Nov 24, 08:29 WIB | Dilihat : 1538
HOS Tjokroaminoto Pembuat Strategi Kebudayaan Progressif
07 Nov 24, 22:10 WIB | Dilihat : 1166
Membaca Ulang Puisi Pamplet dan Mengingat Isyarat Rendra
Selanjutnya