Penghianatan dan Korupsi

| dilihat 703

Njid Haédar

Tak ada kecewa yang sangat mendalam, melebihi kekecewaan akibat penghianatan. Apalagi dilakukan oleh orang sangat dekat. Baik dalam konteks domestik - hubungan suami istri, hubungan dalam organisasi (termasuk bisnis dan politik), maupun pertemanan.

Pengkhianatan memang amat menyakitkan, karena menghancurkan kepercayaan personal, komunitas, dan sosial.

Mereka yang pernah dikhianati akan mengalami trauma panjang dan akan menjadi pribadi yang mudah mencurigai siapa saja yang datang mendekat.

Tak lagi sekadar 'rusak susu sebelanga,' jauh dari itu, 'rusak susu sekolam.'  Daya rusak pengkhianatan tak hanya bersifat personal dan komunal, melainkan sosial.

Sejarah perjalanan bangsa ini, menunjukkan, bagaimana pengkhianatan terjadi berulang-ulang. Tak hanya merusak atau menghancurkan integritas personal pemimpin, tetapi juga merontokkan kekuasaan atau rezim.

Dalam konteks pengkhianatan terhadap rakyat, penyebab utamanya adalah ketidak-mampuan untuk konsisten dan konsekuen dalam mengemban amanah. Ketidak-mauan dan ketidak-mampuan untuk bersikap teguh pendirian dalam mengamalkan nilai-nilai inti (juga ideologi inti) kebaikan dan kebajikan, akhirnya merusak seluruh sendi dan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tindakan rasuah, mulai dari aksi maling anggaran sampai suap menyuap -- yang secara eufemis disebut korupsi, terutama yang dilakukan oleh petinggi pemerintah atau negara, merupakan pengkhianatan sistemik.

Allahyarham kolumnis Ayip Bakar, pada dekade 70-an, sudah mengungkapkan, korupsi itu laksana 'kurap besi' yang dapat menjelma menjadi kanker dan akhirnya menjadi sumber utama kehancuran bangsa.

Apa yang kerap dikemukakan Ayip Bakar pada masa, itu kemudian terbukti dan dialami oleh generasi di era berikutnya, sampai kini. 

Kasus benur lobster yang sedang mengemuka, misalnya, sama dengan kasus-kasus sejenis sebelumnya, tak bisa dilepaskan korelasi atau konteksnya dengan pengkhianatan besar terhadap rakyat.

Korupsi adalah pengkhianatan nyata terhadap rakyat, khasnya rakyat miskin, karena korupsi dalam bentuk apapun merampok akses mereka terhadap kecerdasan dan kesehatan sosio - budaya dan ekonomi. Pengkhianatan yang sangat kejam dan merupakan high criminal action sebagai kejahatan kemanusian, against crime humanity.

Secara historis, korupsi selalu cenderung hanya dilihat dalam bentuk pengkhianatan kecil-kecilan. Aksi pemberantasan korupsi dilakukan di berbagai negara, untuk menghapus pengkhianatan kecil-kecilan, bukan sebagai pengkhianatan besar terhadap rakyat. Akibatnya, tak ada sanksi sosial yang menjerakan.

Mereka yang pernah dibuktikan secara hukum dinyatakan sebagai koruptor, masih bisa dengan leluasa ke panggung politik secara tanpa beban. Karena perampasan negara atas hak-hak politiknya, sebagai suatu konsekuensi hukum, hanya berlaku untuk kurun waktu terbatas.

Korupsi di banyak negara belum dipandang sebagai ancaman terbesar bagi suatu negara karena merampas sumber daya dan merugikan rakyat. Korupsi yang dilakukan petinggi pemerintah atau negara secara budaya, merampas ruang-ruang simpati, empati, apresiasi, dan respek. Muaranya, melemahkan loyalitas dan kecintaan rakyat kepada negaranya.

Karenanya, korupsi jangan melulu hanya dilihat dalam konteks penegakan hukum semata, jauh dari itu harus dilihat konteksnya dalam penegakan keadilan yang berdampak langsung dan tak langsung terhadap hak dasar rakyat (sebagai manusia) untuk hidup sejahtera.

Paul Crane (US Department of Justice) dan Deborah Pearlstein (Guru Besar ilmu Hukum - University Cardozo - Law Scxhool) menyatakan, "Jika Anda memiliki pemimpin yang jujur dan berakhlak mulia, Anda tidak memerlukan penegakan hukum (law enforcement)."

Pernyataan itu, terkait dengan filsafat politik Konfusius, “Jika orang-orang dipimpin oleh hukum, dan keseragaman di antara mereka dicari oleh hukuman, mereka akan mencoba untuk melarikan diri dari hukuman dan tidak memiliki rasa malu. Jika mereka dipimpin oleh kebajikan, dan keseragaman dicari di antara mereka melalui praktik kesantunan ritual, mereka akan memiliki rasa malu dan datang kepada Anda atas kemauan mereka sendiri. "

Dalam konteks itu, Rasulullah Muhammad SAW mengemban prophetic mission, menyempurnakan seluruh proses aksi penegakan hukum menjadi penegakan keadilan; menyempurnakan tata krama dan kesantunan sosial menjadi akhlak - berdimensi peradaban mulia; dan mengembangkan kesetiaan personal dan sosial menjadi loyalitas dan dedikasi pada penegakan nilai kemanusiaan yang tepat dan benar.

Crane dan Pealstein menyatakan, adalah fakta bahwa pemimpin politik global dan lokal bergantung pada polisi dan tentara, untuk membuat orang mematuhi hukum. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki otoritas moral, dan karenanya lebih banyak bergantung pada kekuasaan dan kekuatan formal. " Semakin korup Pemerintah, semakin mereka bergantung pada kebijakan agresif untuk memerintah rakyat dengan rasa takut."

Dalam konteks itu, tak boleh ada toleransi terhadap korupsi dan pengkhianatan !

Editor : Sem Haesy | Sumber : Treason Clause dan sumber lain
 
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 226
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 230
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 427
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 200
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 375
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 221
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya