Bang Sem
Pemimpin adalah pemandu jalan bagi bangsa menuju kondisi yang lebuh baik. Dalam konteks Indonesia, dari sudut pandang rumpaka Sunda, yang sedang kita perlukan kini adalah pemimpin yang : Kewes pantes tandang gandang (Layak dan Patut ditampilkan sebagai pemimpin); Sinatria pilih tanding (Ksatria yang sanggup menghadapi masalah); Handap asor pamakena (Santun – beradab); Nyarita titi rintih (Komunikatif dan jelas); Ati-ati tur nastiti (cermat lagi teliti); Mun nyaur diukur-ukur (Berfikir sebelum bicara); Nyabda diunggang-unggang (tidak asal bicara); Bubuden teu ieu aing (tidak jumawa, tidak merasa hebat). Tidak pula menggampangkan masalah.
Pemimpin seperti itu memiliki tolok ukur perangai : Montong teuing kanu sejen ka dirina inyana sorangan oge tara bohong (jujur sejujur-jujurnya); Tara sirik, tara jail, tara hasud najan ka musuh (Mampu melihat dengan cinta: berbaik sangka, meskipun terhadap musuh. Fair); Hade lampah, hade peta, hade ucap, hade budi (berbudi luhur dengan segenap kemampuan akal budi yang dimilikinya, sehingga mampu memuliakan orang lebih dulu); Pangaweruh jeung pangartina mudu mapadanan (kemampuan memahami realitas dan mampu memberikan solusi terbaik).
Indikator-indikator tipologi kepemimpinan seperti ini saya anggap penting. Terutama kini, ketika proses suksesi kepemimpinan banyak dilakukan dengan mengembangkan rekayasa multi dimensi, dari rekayasa citra (image engineering), rekayasa cita (imagine engineering), bahkan rekayasa politik. Suatu proses suksesi yang dibarengi dengan pembebalan terhadap rakyat. Karenanya, seringkali, mereka yang tidak layak dan patut memimpin, tidak memenuhi kriteria kepemimpinan yang diperlukan rakyat pun (seringkali) bisa terpilih sebagai pemimpin (nu gebleg oge, bisa bae jadi raja). Terutama karena media massa memainkan perannya menyeret rakyat ke jebakan fantasi (fantacy trap).
Dari sudut pandang syair rumpaka ini, rakyat diseret untuk keblusuk (tersesat) dalam memahami fenomena perubahan yang tengah terjadi sebagai kegelapan bagi bangsa ini. Akibatnya, kelak, bangsa terpuruk dan tersaruk-saruk.
Di tengah keadaan yang carut marut dan perilaku politik yang mengabaikan etika, siapa saja – khususnya yang menggunakan jalan licik – bisa tampil sebagai petinggi. Terutama karena presumsi dikotomis yang memperoleh pembenaran dari mereka (yang katanya intelektual). Umpamanya, seseorang yang sekadar popular, lugu, dan dikemas sederhana, seolah-olah merupakan orang baik. Padahal, realitas (yang tak tampak oleh mata) justru sebaliknya. Sebaliknya, orang baik dikorbankan, seolah-olah sebagai penjahat. Padahal, dialah yang sungguh patut memimpin bangsa sesungguhnya.
Mereka yang sungguh benar dan memegang kebenaran sebenar-benarnya, terus dihadang dengan berbagai cara oleh mereka yang lebih suka menyembunyikan kebenaran dan sibuk memproduksi pembenaran. Amun di nagara, sagala-gala sarwa edan. Eta tandana, anu jadi raja teh jelema burung. Anu bener hese mah.. jadi raja bener. Anu bener-bener salalawasna nyekel benerna bebener kabener.
Lantas, siapa sungguh pemimpin yang patut? (mudu kumaha nu jadi raja?). Jawabnya adalah “Ari raja teh mudu bener. Nyaho dibener, nyaho disalah. Nyaho dihade, nyaho dihenteu pihadeun. Ulah eudeuk digaweeun. Ari nyaho teu pihadeeun, teu pihadeeun ka nu diurus. Ulah bener bae pieun nu ngurus. Ulah hade pieun nu ngurus wungkul.” Yaitu, pemimpin yang (Berani menegakkan kebenaran dan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mampu menjadi teladan bagi rakyat).
Dialah pemimpin yang mampu memikul amanah dan bertanggungjawab, mesti harus dikorbankan. Pemimpin yang bertanggungjawab laksana seorang bapak, mesti mampu menata dan mengelola, mendidik dan mengasuh layaknya ibu kepada anaknya. Mampu mengendalikan diri (rasional dan tak mudah terpancing emosi, meski dinistakan) untuk menciptakan situasi dan kondisi kepemimpinannya yang mendorong semangat bekerja optimum untuk memperoleh kemuliaan bersama. Bukan menyebar kerisauan, kekuatiran, kekecewaan dan kemarahan (Gawe raja mudu ngaraksa sakumaha bapa, bari ngaraksa kumaha ema. Mudu ngurus kumaha indung. Mudu minangka sawah kanyaah. Ulah minangka kawah kacaah. Anu bedah di saban marah).
Pemimpin demikian, terbiasa memberikan arah dan tak melemparkan kesalahan kepada anak buah, dan mampu menyelenggarakan kepemimpinannya berdasarkan kekuatan tim. Ia mampu mengembangkan pengertian dan kearifan. Termasuk memahami, bagaimana melihat dan mencermati, mendengar dan menyimak segala gagasan, aspirasi dan inspirasi yang dipimpinnya. Tapi bukan sebagai ‘juru bicara’ pendukungnya.
Ia, sepenuhnya menjadi pemandu jalan membawa prosesi bangsa meninggalkan situasi gelap gulita ke situasi yang terang benderang. Ia paham apa yang harus dilakukan dan dihindarkannya (Raja têh mudu ngarti. Ngarti neuleu bari ngaraksa. Ngarti ngarasa tina ngadeuleu. Abeh kaharti kunu diaping, bari karaksa kunu diraksa). ||