Titi Anggraini: Bravo MK !!!

Mahkamah Konstitusi Ubah Ambang Batas Pencalonan Pilkada

| dilihat 877

Titi Anggraini, aktivist Perludem yang juga pensyarah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengungkap sukacitanya. Dia menulis di akun instagramnya ( Selasa, 20/8/24), merespon putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.

"BRAVO MK!!! Dalam Putusan No.60/PUU-XXII/2024 mengubah persyaratan pengusungan paslon di Pilkada dengan menyesuaikan persentase persyaratan seperti pada angka persentase pencalonan perseorangan di Pilkada. HEBAT MK!!!

"Dengan Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini, maka di Jakarta untuk mengusung pasangan calon di Pilkada 2024, partai politik cukup memperoleh suara sebesar 7.5% di pemilu DPRD terakhir."

Titi dan seluruh rakyat Indonesia -- yang selama ini menyaksikan bagaimana demokrasi 'dilipat-lipat' oleh kekuasaan -- patut bersuka-cita dan memberi apresiasi pada putusan MK yang boleh dinilai sebagai 'hadiah terbaik' bagi 70 tahun proklamasi Kemerdekaan RI.

Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota).

Hakim konstitusi Suhartoyo saat membacakan putusan tersebut mengatakan, “Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Ketua MK Suhartoyo yang membacakan Amar Putusan tersebut menyampaikan Mahkamah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian.

Ambang Batas Pencalonan Pilkada Provinsi

Mahkamah menyatakan, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

"Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;

Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;

Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;

Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;"

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:

"kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;

"kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;

"kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;

"kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut."

Final, Mengikat dan Langsung Berlaku

Akan halnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, saat membaca bagian putusan MK tersebut mengemukakan,  “Dengan telah dinyatakan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, oleh karena keberadaan Pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 a quo, sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon.”

Hal ini dilakukan, dalam rangka menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.

Dalam konteks demikian, ucap Enny, dengan telah dibukanya peluang bagi perseorangan untuk mencalonkan diri dengan syarat-syarat tertentu, maka pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara sah partai politik gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berdasar dan kehilangan rasionalitas jika syarat pengusulan pasangan calon dimaksud lebih besar daripada pengusulan pasangan calon melalui jalur perseorangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan Pasal 41 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU 10/2016,”

Oleh karena itu, ucap Enny kemudian, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.

Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut, belaku sejak dibacakan. Karenanya, menurut Titi, Anggota Dewan Pembina Perludem, menyebut Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini langsung berlaku untuk Pilkada 2024.

Putusan ini, menurut Titi tidak menyebutkan pemberlakuan tunda putusan pada pilkada mendatang. Dikemukakannya, "Putusan MK soal ambang batas pencalonan pilkada ini serupa dengan Putusan MK soal usia calon di Pilpres dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, yang memungkinkan pencalonan dan digunakan Gibran untuk maju pada Pilpres 2024 yang lalu."

Hanya PDI Perjuangan yang Aspiratif

Putusan 90 memperluas makna batas usia capres/cawapres pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu dari yang semula minimal 40 tahun menjadi boleh di bawah umur tersebut asalkan pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah dari hasil pemilihan umum, termasuk pilkada.

Putusan ini dengan sendirinya menutup peluang terjadinya kontestasi antara pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur yang didukung oleh persekutuan partai-partai borongan versus kotak kosong atau versus calon perseorangan (baik rekayasa politik atau bukan). Sekaligus mengubah banyak hal, termasuk taktik dan strategi. Tanpa kecuali kepanjangan dinasti politik.

Alhasil, putusan MK tersebut memberikan peluang kepada PDI Perjuangan untuk secara mandiri mengajukan calon Gubernur - Wakil Gubernur dalam Pilkada.. Antara lain dalam Pilkada di Daerah Khusus Ibukota (sesuai dengan fakta) Jakarta, kendati sudah ada Undang Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta yang mencabut status Jakarta sebagai ibu kota.

Hanya PDI Perjuangan sebagai partai politik berbasis kader dan berkomitmen untuk tegak di atas aspirasi dan kedaulatan rakyat. PDI Perjuangan pula partai politik yang menerima langsung dan serius mengakomodasi aspirasi rakyat Jakarta (melalui representasi Warga Kota dan Majelis Adat & Budaya Betawi - MANTAB).

Partai Keadilan Sosial yang selama ini punya kedekatan dengan warga Jakarta dan kaum Betawi, terkesan 'menolak' sekaligus mengabaikan aspirasi warga kota dan kaum Betawi. Pun demikian halnya dengan Partai Nasdem, sebagaimana dikemukakan tokoh Betawi Biem Benjamin (mantan anggota DPD RI daerah pemilihan DKI Jakarta dan mantan ketua Lembaga Kebudayaan Betawi).

Kala menyampaikan aspirasinya ke PDI Perjuangan, delegasi  MANTAB dan kaum Betawi diterima langsung oleh Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saeful Hidayat - mantan Gubernur DKI Jakarta. Dalam kesempatan itu, Djarot mengatakan, partainya akan serius mempertimbangkan aspirasi yang dibawa MANTAB dan kaum Betawi. Aspirasi tersebut adalah mencalonkan Anies Rasjid Baswedan dalam Pilkada Jakarta.

PDI Perjuangan mempertimbangkan berbagai kemungkinan, termasuk mencalonkan kader sendiri dan calon dari luar. Karena secara internal PDI Perjuangan banyak mempunyai kader potensial yang layak dan patut diajukan sebagai calon Gubernur atau Wakil Gubernur. Termasuk hasil beberapa survey yang masih menempatkan Anies sebagai sosok pemimpin yang berada di peringat pertama dibandingkan dengan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Ridwan Kamil (RiKa) | haedar

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Sainstek
19 Feb 25, 19:05 WIB | Dilihat : 833
Presiden Prabowo Lantik Brian Yuliarto Mendiktisaintek
25 Okt 24, 10:37 WIB | Dilihat : 971
Maung Garuda Limousine yang Membanggakan
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 2748
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 2969
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
Selanjutnya
Polhukam
02 Mar 25, 21:38 WIB | Dilihat : 476
Diplomasi Buram di Ruang Oval Gedung Putih
13 Feb 25, 10:14 WIB | Dilihat : 779
Presiden Erdogan Sekali Merengkuh Dayung
Selanjutnya