ESAI

Kuasa 'Abdul Buthun'

| dilihat 4198

BUKAN tanpa alasan, ketika Plato (dan juga failasuf: Tusi, Al Kutb, Syamsuddin al Shirazi, al ‘Arabi) membagi manusia ke dalam tiga golongan karakter. Yakni: golongan ‘manusia kepala’ (failasuf – cendekiawan – orang-orang arif bijaksana); ‘manusia dada’ (militer, teknokrat, hakim, jaksa, polisi); serta, ‘manusia perut’  (konglomerat, bisnisman, pedagang, dan orang-orang yang bertransaksi).

Para failasuf itu berpendapat: akan hancur suatu negara dan bangsa, bila kepemimpinan diserahkan kepada ‘manusia perut.’ Pangkal sebabnya adalah keserakahan yang mendominasi serta orientasi kekuasaan yang hanya dihadapkan dengan untung dan rugi.

Menurut Plato, negara harus diurus ‘manusia kepala’ dan diperkuat ‘manusia dada dan otot.’ Dari mereka rakyat akan beroleh kepemimpinan akal sehat, ilmu pengetahuan, hati nurani, serta perlindungan keamanan dan kenyamanan.

Tusi dan Syamsuddin al Shirazi secara eksplisit menyebut proporsionalitas fungsi: ‘manusia kepala’ mengelola majelis pertimbangan, dan memandu arah pemikiran kepemimpinan negara. Mereka merumuskan konstitusi dan perundang-undangan. Lalu melakukan mengontrol jalannya pemerintahan, sehingga masyarakat terpandu dalam mencapai hidup sejahtera dan terbebas dari petaka dalam kehidupan sehari-hari. Wilayah mereka adalah wilayah siyasah (strategi) pencapaian tujuan dan visi kehidupan.

Fungsi utama ‘manusia dada dan otot’ dalam pandangan al Kutb, Tusi, dan Syamsuddin al Shirazi, adalah mengelola manajemen pemerintahan dalam wilayah kiah thayyibah (best practice) dan memusatkan ikhtiar mewujudkan mission sacre  (civil servant dan civic mission) negara. Sedangkan ‘manusia perut,’ sesuai fungsi dan profesionalitasnya mengurusi persoalan-persoalan ekonomi. menjalankan transaksi praktis mendorong pertumbuhan ekonomi yang memadai.

Sejak para Goldsmither (Yahudi) yang menguasai produk sumberdaya mineral (emas, perak, tembaga, dan timah) menggubal pola transaksi ekonomi, dengan memperkenalkan (sekaligus menentukan nilai) transaksi giral dan kartal (mata uang), situasi berubah. ‘Manusia Perut’ merambah wilayah ‘manusia dada dan otot,’ bahkan merampas wilayah fungsi ‘manusia kepala.’ Akal budi politik pun berubah menjadi akal-akalan politik. Lantas berlakukan politik transaksional berkepanjangan.

Di era industri dan informasi, (dengan uang) ‘manusia perut’ mengendalikan kuasa politik, media massa, dan social network. Keserakahan menekuk akal budi dan good governance melalui ruswah (suap, kolusi, dan korupsi), lalu menebar keangkuhan dan hedonisma. Di Amerika dan Eropa, mereka menciptakan krisis ekonomi periodik sejak awal abad 20.

Di Indonesia, peristiwa-peristiwa dehumanitas yang terjadi di Sidoarjo, Sampang, Sape, Mesuji, Kolaka, Bombana, Kutai, dan sentra-sentra kekayaan bumi lainnya, berpangkal dari dominasi kuasa ‘manusia perut.’ Untuk mengelabui rakyat, mereka menggunakan kiah pilantropik dan membaling jargon vox populi vox dei. Akankah kita biarkan?| 

Editor : Web Administrator
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya