Retoris dan Menjanjikan Harapan

Kepala Burung Unta dan Kepala Ikan dalam Pidato Presiden Prabowo

| dilihat 715

Catatan Bang Sém

Ahad, 20 Oktober 2024 adalah hari bersejarah bagi Prabowo Subianto dan warga bangsa Indonesia. Tak sekadar karena pada hari itu, Jendral TNI (Purn) kelahiran 17 Oktober 1951, dilantik dan mengangkat sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia ke 8.

Menyimak pidato pertamanya sebagai Presiden Republik Indonesia, saya teringat momen pertemuan pertama dengannya di kompleks Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Kopassus) Batujajar, Kabupaten Bandung pada paruh pertama dekade 1990-an (1994).

Kala itu, ia menjadi komandan di sana. Bersama H. Deddy Mizwar (aktor film ternama yang kemudian menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat 2014-2019, pemeran 'Jenderal Naga Bonar' dalam film Nagabonar arahan M.T Risyaf), kami datang memenuhi undangannya. Kami dipertemukan dengan para prajurit siswa sekolah komando, itu di sebuah aula besar. Prabowo memberi kesempatan bagi kami membaca puisi.

Kesempatan kedua bertemu dengannya di Jakarta Selatan, di kantor pusat Satria Muda Indonesia bersama Abah Iwan (Iwan Abdurrahman, salah seorang dedengkot WANADRI, musisi dan kreator lagu). Di situ secara spontan saya menulis puisi bertajuk Satria-Satria, yang digubah menjadi lagu oleh Abah Iwan. Setahun kemudian (1995) Prabowo dilantik sebagai Komandan Kopassus.

Pidato pertama Presiden Prabowo menghadirkan kembali momen - momen kenangan sekejap tersebut. Terutama, ketika ia sampai pada bagian pidato yang menegaskan komitmen lama yang disimpan di dalam dirinya. Khasnya tentang hakikat kemerdekaan yang direbut para pejuang kemerdekaan, para pendiri republik. Tanpa kecuali, Subianto, pamannya, yang tewas dalam pertempuran Lengkong - Tangerang dan dimakamkan di kawasan yang kemudian dikenal sebagai Bumi Serpong Damai.

Prabowo tegas menyatakan, "Kemerdekaan kita, kita dapat dengan pengorbanan yang sangat besar. Kita harus paham dan ingat selalu pengorbanan yang paling besar adalah pengorbanan dari rakyat kita yang paling miskin, wong cilik, yang berjuang, yang memberi makan kepada pejuang-pejuang. Janganlah kita lupa waktu kita perang kemerdekaan kita tidak punya anggaran APBN. Pasukan kita tidak digaji. Siapa yang memberi makan kepada kita? Yang memberi makan adalah para petani di desa-desa, para nelayan, para pekerja, terus menerus kepada mereka yang mendirikan RI."

Kepemimpinan yang Tulus

Pernyataan tersebut, saya pahami bukan sebagai pernyataan retoris semata. Melainkan juga sebagai ekspresi jiwa raga seorang berjiwa militer yang ditempa oleh nilai-nilai nasionalisma. Karena pada bagian awal pidatonya, sebelum sampai pada penegasan aksentuatif tersebut, Prabowo menegaskan inti kepemimpinannya sebagai kepemimpinan pemerintah RI, kepemimpinan negara dan bangsa Indonesia yang diselenggarakan dengan tulus.

Kepemimpinan yang dihidupkan oleh rasa tanggung jawab untuk mengutamakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia di atas segala golongan apalagi kepentingan pribadi kami.

Prabowo juga mengurai ihwal tantangan, rintangan, hambatan dan ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia di tengah dinamika dan pergulatan dunia tidak ringan. Lantas ia mengingatkan kefahaman, bahwa karunia yang diberikan yang (Tuhan) Maha Kuasa yang sungguh sangat besar dan beragam.

Ia menguraikan dimensi teritori Indonesia sebagai negara kepulauan, yang memiliki luas wilayah daratan dan lautan sangat besar. Suatu negara bangsa yang kekayaan alamnya sangat besar.  Sumber -sumber alam yang sangat penting untuk kehidupan manusia di abad ke 21 dan seterusnya.

Ia mengalirkan optimisme menghadapi masa depan dengan berani. Eksplisit ia kemukakan, "Saya selalu mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk menjadi bangsa yang berani, bangsa yang tidak takut tantangan, bangsa yang tidak takut rintangan, bangsa yang tidak takut ancaman."

Berbagai pilihan diksi dalam narasi retoris pidatonya, komitmen dirinya dengan segala dinamikanya sebagai seorang patriot mengemuka. Hal demikian, telah berlangsung selama beberapa dekade. Pidato itu kian menegaskan konsistensi dirinya terhadap komitmen kebangsaan sependek yang saya ketahui. Hal tersebut tercermin pula pada penghormatannya kepada seluruh Presiden dan Wakil Presiden yang pernah memimpin bangsa ini.

Pada bagian lanjut pidatonya -- yang disimak sejumlah kepala negara dan pemerintahan yang hadir dalam pelantikannya --  Prabowo mengurai tantangan besar dari dalam dan dari luar setiap warga bangsa. Ia mengajak kita mawas diri untuk berani mengakui banyak tantangan kesulitan rintangan yang berasal dari diri kita sendiri.  Antara lain, karena kurang waspada, karena kadang-kadang kita tidak andal dan piawai dalam mengurus kekayaan kita sendiri.

Dengan bahasa terang Prabowo mengajak, "Marilah kita berani mawas diri, menatap wajah sendiri, dan mari berani memperbaiki diri sendiri, mari berani mengoreksi diri kita sendiri."

Kebocoran, Penyelewengan, dan Korupsi

Prabowo juga konsisten dengan pernyataannya tahun 2019, ketika dalam pidatonya itu, ia menyatakan,  "Kita harus menghadapi kenyataan, bahwa masih terlalu banyak kebocoran, penyelewengan, korupsi di negara kita. Ini adalah yang membahayakan masa depan kita dan masa depan anak-anak kita dan cucu-cucu kita."

Ia juga mengemukakan, "Kita harus berani mengakui, terlalu banyak kebocoran-kebocoran dari anggaran kita. Penyimpangan-penyimpangan kolusi di antara para pejabat politik, pejabat pemerintah di semua tingkatan dengan pengusaha-pengusaha yang nakal, pengusaha-pengusaha yang tidak patriotik, jangan takut melihat realita ini."

Meski menafikan ihwal nepotisme dan tak menyinggung realitas brutal tentang dinasti politik yang melibatkan banyak petinggi partai politik, pemerintah, dan negara, secara konotatif ia mengungkap ironi bangsa yang masih dibebat oleh dutsch disease (penyakit walanda) : negara kaya, tapi rakyatnya miskin.

Lantang Prabowo mengemukakan, "Kita masih melihat sebagian saudara-saudara kita yang belum menikmati hasil kemerdekaan. Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah."

Dalam pidatonya, Presiden Prabowo mengemukakan, "Kita sebagai pemimpin politik jangan kita terlalu senang melihat angka-angka statistik yang membuat kita terlalu cepat gembira, terlalu cepat puas, padahal kita belum melihat gambaran sepenuhnya. Kita merasa bangga bahwa kita diterima di kalangan G20. Kita merasa bangga bahwa kita disebut ekonomi ke 16 terbesar di dunia tapi apakah kita sungguh-sungguh paham dan melihat gambaran utuh dari keadaan kita"

Ia pun melontarkan pertanyaan asasi, "Apakah kita sadar bahwa kemiskinan di Indonesia masih terlalu besar, apakah kita sadar bahwa rakyat kita dan anak-anak kita banyak yang kurang gizi banyak rakyat yang tidak dapat pekerjaan yang baik."

Kesadaran atas realitas brutal di tengah kehidupan kebangsaan, diungkapnya dengan seruan, "Saya mengajak kita semua : marilah kita berani melihat kenyataan. Kita boleh bangga dengan prestasi kita, tapi marilah kita jangan tertegun, jangan terlalu cepat puas dan gembira, dengan menutup mata dan hati terhadap tantangan, rintangan dan penderitaan saudara-saudara kita."

Ia pun beramsal tentang burung unta yang memasukkan kepalanya ke dalam tanah ketika melihat sesuatu yang tidak enak. Lantas berseru, "... mari kita menatap ancaman dan bahaya dengan gagah. Marilah kita menghadapi kesulitan dengan berani. Marilah kita berhimpun bersatu untuk mencari solusi-solusi jalan keluar dari ancaman dan bahaya tersebut."

Kepala Burung Hantu dan Kepala Ikan

Sikap berani menghadapi kenyataan, juga dikemukakannya dengan menyatakan, kita harus berani menghadapi dan memberantas korupsi dengan perbaikan sistem, dengan penegakan hukum yang tegas, dan dengan digitalisasi. Namun yang lebih utama adalah dengan menunjukkan keteladanan dalam kepemimpinan.

Ia menyitir pameo Ki Hajar Dewantara, setiap anasir pimpinan mesti mengamalkan prinsip, "..Hing Ngarso Sung Tulodo." (Di depan memberikan teladan). Ia pun beramsal dengan pepatah yang mengatakan, "ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala."

Dari sudut pandang retorika, pidato Prabowo yang memasukan gaya Cicero dan Aristopanes -- sebagaimana diajarkan HOS Tjokroaminoto kepada Bung Karno dan Buya Hamka -- pidato Prabowo menjanjikan harapan. Sebagian berisi janji - komitmen kebangsaan yang menjadi pegangan kita (sebagai rakyat) untuk tidak berhenti mengkritisi kepemimpinan dan pemerintahannya.

Apalagi, sebagian besar kalangan kritis melihat ironi dan paradoks di depan mata, kala menyaksikan komposisi Kabinet Merah Putih -- yang gemoy dan sarat kepentingan berbagi kekuasaan. Tanpa kecuali, keberadaan sosok Wakil Presiden (yang masih diterpa isu 'Anak Haram Konstitusi' dan 'Fufufafa' yang mencerminkan adab) yang diragukan kapasitas, kapabilitas dan kompetensinya oleh berbagai kalangan kritis.

Pun demikian halnya dengan citra dan watak sejumlah Menteri - Wakil Menteri yang oleh kalangan kritis dipandang sebagai ironi dan paradoks dengan isi pidato Prabowo. Karenanya, isi pidato tersebut dipahami oleh kalangan kritis, sebagai standar nilai, norma, dan kode perilaku untuk menilai kinerja mereksa.

Selain itu, dihadapkan dengan berbagai tantangan Abad 21 sebagaimana dikemukakan James Marten - tokoh revolusioner Universitas Oxford), kepemimpinan pemnerintahan Prabowo Subianto menghadapi warisan masalah dari Presiden Joko Widodo (dari timbunan utang luar negeri dan berbagai kebijakan yang berpihak kepada oligarki, dengan habitus sosial : make up politic, perilaku 'lempar kambing,' komunikasi politik inkonsisten - berbalur dusta).

Amsal kepala burung hantu dan kepala ikan yang dilontarkan Prabowo dalam pidatonya menunjukkan, Prabowo memahami realitas dan fakta-fakta brutal di lapangan sosial, ekonomi, dan politik. Selain memerlukan keberanian untuk melihatnya, juga memerlukan keberanian untuk menghilangkan kebiasaan terus berlarut.

Amenangi Jaman Edan

Dalam praksis politik, untuk mewujudkan sebagian besar frasa dan diksi yang disampaikannya dalam pidato tersebut, komitmen dan aksi nyata yang menunjukkan sikap tegak lurus pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mesti dimulai dengan mengatasi persoalan-persoalan di depan mata.

Sebagai presiden, dalam menjalankan kepemimpinan dan pemerintahannya Prabowo mesti sekuat tenaga menghimpun kecerdasan budaya, antara lain yang tersimpan dalam Serat Kalathida karya besar pujangga Ranggawarsita:

Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada. (Mengalami zaman gila.?Hati gelap kacau pikiran.?Mau ikut gila tak tahan. Jika tidak ikut tak kebagian. Akhirnya kelaparan. Sebenarnyalah kehendak Tuhan. Seberuntung-beruntungnya yang lupa. Lebih beruntung yang ingat dan waspada).

Dalam konteks ini, Susi Dwi Harijanti - guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Bandung mengingatkan tentang hakikat Presiden dalam sistem presidensial sebagai 'constitutional officer.' Istilah yang pertama kali dikemukakan Jeffrey K. Tulis dalam "The Possibility of Constitutional Statesmanship (2010).

Tulis mengemukakan, “..statesmanship is an idealized form of a constitutional officer. A constitutional officer is neither a leader nor a statesman but rather something in between. (Kenegarawanan adalah bentuk ideal dari seorang pejabat konstitusional. Seorang pejabat konstitusional bukanlah seorang pemimpin atau negarawan, melainkan sesuatu yang berada di antara keduanya).

Maknanya adalah, Presiden Prabowo dan para pembantunya, mesti melakukan kategorisasi terhadap serangkaian keterampilan, taktik, atau teknik-teknik politik yang digunakan oleh seorang pempimpin.  Konsisten dengan tujuan kepemimpinannya, serta akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukannya. Basisnya adalah keadilan dan common good (kebaikan bersama) sebagaimana tercermin dalam pidatonya.

Legitimasi Kuat di Mata Rakyat

Menurut Susi, menganut sistem presidensial menyebabkan Presiden Indonesia memiliki kualifikasi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang mewujud dalam empat kekuasaan, yaitu kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan; kekuasaan di bidang perundang-undangan; kekuasaan di bidang pengampunan (pardoning powers); serta kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri. Presiden adalah pemimpin dan penyelenggara tertinggi kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, Presiden menjalankan dan bertanggung jawab penuh atas seluruh  kekuasaan ekskutif.

Maknanya adalah "kekuasaan yang melekat pada kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan bentuk kekuasaan yang paling berpengaruh terhadap penyelenggaraan negara dibandingkan dengan kekuasaan jabatan lain."

Isi pidato pertama Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia dengan demikian, kita pahami sebagai luah komitmen sekaligus bagian dari janjinya kepada rakyat dan dunia (khasnya terkait dengan kemerdekaan Palestina). Pidato yang setiap ungkapan, frasa, diksi, dan aksentuasinya mesti dipandang sebagai janji utama Presiden untuk merancang peradaban baru sebagai legasi di masa depan.

Kita pegang janji itu, supaya bangsa ini sungguh memperoleh janji dan perwujudan harapan sebagai baldah thayyibah warabbun ghafuur (kondisi asa bangsa yang juga dikutip Prabowo dalam pidatonya). Negeri tata tentrem loh jinawi. Gemah ripah repeh rapih (bukan ripuh).

Suatu kondisi negara bangsa yang mampu menjalankan fungsi-fungsi asasinya -- antara lain sebagaimana pernah dikemukakan Bung Karno dalam Trisakti -- sungguh berdaulat secara politik dalam sistem dunia modern, serta mampu memproyeksikan otoritas atas wilayah dan rakyatnya, dan tidak dapat melindungi batas-batas nasionalnya; mandiri secara ekonomi dengan kemampuan melindungi dan merawat sumberdaya alam bagi seluas-luasnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan; dan berkepribadian dalam kebudayaan dengan mengedepankan kecerdasan budaya dan pengetahuan vernakluar di dalamnya. Selain itu, warga negaranya percaya, bahwa pemerintah yang mereka pilih mempunyai legitimasi kuat di mata rakyatnya dan di mata masyarakat dunia.

Maknanya, tugas berat Presiden Prabowo adalah merampungkan konsolidasi (sebagai landasan dasar transformasi) demokrasi sebagaimana tersirat di balik pernyataan dalam pidatonya: "Demokrasi dimana mengoreksi harus tanpa caci maki, bertarung tanpa membenci, bertanding tanpa berbuat curang. Demorkasi kita harus demokrasi yang menghindari kekerasan, adu domba, hasut menghasut, harus yang sejuk. Demokrasi yang damai, demokrasi yang menghindari kemunafikan." Semoga !! |

Editor : delanova | Sumber : foto-foto tangkapan layar channel youtube MPR RI
 
Seni & Hiburan
19 Nov 24, 08:29 WIB | Dilihat : 1069
Kanyaah Indung Bapak
20 Jul 24, 21:32 WIB | Dilihat : 1922
Voice of Baceprot Meteor dari Singajaya
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
27 Okt 24, 17:53 WIB | Dilihat : 1163
Pencapaian Industri Halal Malaysia
12 Okt 24, 12:51 WIB | Dilihat : 1542
Dialog dengan Karyawan di Penghujung Operasi Perusahaan
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 2439
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 2643
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
Selanjutnya