Kembali ke Garis Perjuangan Kebangsaan

| dilihat 330

Bang Sem

HIRUK pikuk perpolitikan Indonesia, mungkin sudah mencapai ambang batas, atau bahkan melebihinya. Seluruh pilar demokrasi, termasuk pers, sudah harus kembali ke pangkal kesadaran: berkhidmat kepada rakyat.

Tak perlu lagi keriuhan, apalagi kegaduhan. Hampir seluruh partai di republik ini bermasalah. Jadi, tak ada lagi partai yang bisa lantang mengklaim diri sebagai ‘partai bersih, peduli, dan profesional.’ Satu-satunya yang mesti diserukan adalah rekonstruksi, refungsionalisasi dan reorientasi partai.

Menegaskan secara seksama, partai politik sebagai institusi khalayak (publics institution) yang sungguh berkhidmat kepada rakyat, pilar kekuasaan untuk menyelenggarakan kedaulatan rakyat, tanpa kecuali melakukan proses pendidikan rakyat.

Sudah tiba masa mengelola partai politik sebagai cara melakukan  political best practise, sebagaimana dulu HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Abdoel Moeis, Soetomo, Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, IJ Kasimo, J Leimena, Soekarni dan lain-lain menegakkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar politik yang bertopang pada budaya, keadaban, peradaban Indonesia.

Partai politik beradab yang menempatkan disiplin dan fatsoen politik partai sebagai kode perilaku politisi, sehingga mampu memainkan peran asasi sebagai negarawan. Lantas mengelola demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan secara dinamis.

Tujuannya untuk mengembalikan lagi kepercaayaan rakyat terhadap sistem dan proses demokratisasi yang tepat dan benar. Dalam berbagai kesempatan berbincang dengan para petinggi partai (saya menggunakan istilah ini, karena Indonesia belum lagi punya elite partai), saya sering mengemukakan, bahwa perjuangan partai politik kini hanya satu, yakni membuat rakyat tersenyum karena harapannya tentang keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan tercapai.

Pun demikian pula halnya dengan media massa (pers). Kudu kembali ke pangkal fungsionalitas sosiologisnya, sebagai medium untuk mempertemukan aspirasi rakyat dan inspirasi perubahan dengan kebijakan penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan yang sama: terwujudnya negara kesejahteraan dan negara hukum yang demokratis dan inklusif. Medium untuk mempertemukan inisiatif rakyat dengan kreativitas seluruh pemangku kekuasaan (power holders) secara cerdas dan kritis.

Gelombang yang Menghempas

Pilar pilar utama demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers), mesti mengelola kekuasaannya secara proporsional. Kembali ke pangkal mission sacre: komitmen kolaborasi dan sinergi untuk bekerja cerdas secara ekuit adan ekual. Dengan demikian, diharapkan akan mampu menghambat dan menghentikan proses demoralisasi dan perampasan harapan rakyat.

Ingat, bangsa ini harus kembali dikelola secara tepat dan benar dan melindunginya dari invisible hand powers (antara lain oligarki). Ingat juga, secara geo politik dan geo ekonomi, bangsa ini sedang dan akan terus ‘diintip’ dengan mata nyalang oleh dominansi kekuatan global.

Cermati dengan seksama dinamika perubahan yang berlangsung di Timur Tengah dan Eropa. Waspadai dengan jeli bara friksi antara bangsa di Laut China Selatan dan kelak kawasan Asia Pasifik. Tilik dan selidiki secara seksama ketimpangan dan kemiskinan akut yang akan terus memacu dan memicu aksi teror yang bisa kapan saja meletup.

Pun berbagai tantangan dan ancaman, seperti yang mengemuka secara retoris dalam pidato perdana Presiden Prabowo Subianto (20.10.24). Jangan lupa, di balik berbagai peristiwa kriminal dan kejahatan ekonomi – kemanusiaan yang laten : kolusi, korupsi, nepotisma sebagai kejahatan budaya. Selalu ada ‘agenda setting’ yang tak nampak secara kasad mata, namun tetiba merusak sendi-sendi kebangsaan negeri ini.

Perekembangan teknologi informasi yang -- antara lain menguatkan singularitas -- dari detik ke detik bergerak laksana 'gelombang samodera' yang menghempang dan kapan saja menghempas 'kapal besar bangsa' Indonesia.

Seruan agar kita berjuang bersama memerangi dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, hendaknya tak hanya sekadar memicu kegaduhan. Tak cukup hanya berhenti di frasa dan diksi pidato politik. Melainkan untuk sungguh melancarkan seluruh ikhtiar meningkatkan kesejahteraan rakyat.

'Gegar Kuasa' yang Tak Patut

Secara retoris, Presiden Prabowo mengemukakan dalam pidatonya, masih banyak rakyat yang miskin, terhambat kesempatan ekonominya, terbatas ruang dan peluangnya untuk memperoleh hak dan kebutuhan dasarnya. kerja. Karenanya, konsentrasi pembangunan dengan stabilitas politik untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi, diperlukan.

Prabowo juga mengemukakan, para petinggi yang berada di dalam kabinetnya (yang gemoy dan melampaui Kabinet 100 Menteri Bung Karno) siapa saja yang berada di dalam kabinetnya kudu konsentrasi penuh pada pengabdian dan layanan masyarakat. Terkesan ia akan menerapkan populisma modes.

Namun, baru saja dilantik beberapa menterinya sudah melakukan sesuatu yang tak elok. Netizen menyebut, sebagai aksi lancung. Antara lain, aksi pencitraan wakil presiden yang 'nyelonong' di terowongan mass rapid transportation. Dipandang demikian, karena netizen telah mengalami selama satu dekade, aksi-aksi semacam yang kelak berujung pada hasil 'survey' ihwal kepuasan rakyat pada kinerjanya.

Lantas, Menko Hukum - HAM - Imigrasi dan Kemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang berkomentar tentang peristiwa 1998 sebagai bukan pelanggaran HAM berat. Lantas,  Menteri HAM, Natalius Pigai yang menuntut belanja kementeriannya sebesar Rp 20 triliun rupiah dari anggaran eksisting sebesar Rp 60 miliar, tanpa tahu rincian programnya.

Dan, yang paling lancung -- sekaligus memalukan -- adalah aksi Menteri Desa Yandri Susanto yang menggunakan kop surat dan cap resmi Menteri untuk mengundang pengurus RT/RW menghadiri haul almarhumah ibunya di Serang.

Melalui berbagai media sosial, netizen merutuk semua itu dengan berbagai istilah dengan perspektif presumtif yang justru membuat citra Kabinet Merah Putih sudah terpercik noktah di hari pertama. Ada kesan 'gegar kuasa' yang tak sepatutnya.

Disiplin Persona Penyelenggara Pemerintahan

Merunut sejarah perjalanan bangsa ini, satu hal yang mesti jadi pedoman. Yakni, politik tak boleh dibiarkan jalan sendiri, lepas dari perjuangan integral ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam konteks itulah nilai dasar politik bersih, cerdas, dan berkeadaban diperlukan.

Agaknya, Presiden Prabowo Subianto kudu membuat code of ethic bagi kabinetnya dan code of conduct bagi kabinetnya. Landasannya jelas: kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi setiap persona di dalam kabinet tersebut. Kabinet yang sungguh kompeten dan kapabel dalam menghadapi tantangan dan ancaman.

Prabowo dan seluruh anggota kabinetnya sungguh mesti paham bagaimana harus focus and clear dalam mengenali rakyat. Sekaligus mengerti aspirasi, harapan, dan ekspektasi rakyat. Artinya mesti memilih jalan programme follow peoples. Bukan sebaliknya. Termasuk membuang kesan besar dan kuatnya pengaruh oligarki terhadap pemerintah dan negara.

Hanya kepuasan nyata yang akan membuat rakyat loyal dan memberi dampak positif pada pertumbuhan berkelanjutan. Prabowo dan kabinetnya kudu berani memilih jalan "mendahulukan rakyat dan mengutamakan aksi nyata menegakkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat."

Karenanya, kembalilah ke garis azimuth perjuangan kebangsaan yang selama satu dekade belakangan dinilai -- sebagian besar kalangan rakyat -- melenceng. Jadikan hari-hari perjalanan kinerja kabinet Merah Putih sebagai manifestasi pidato pertama Presiden Prabowo.

Tiga langkah aksi utama harus dilakukan, yakni: tumbuhkan apresiasi dan respek rakyat kepada pemerintah karena kerja baik dan benar setiap persona penyelenggara pemerintahan; berikan reward dan punishment yang adil dan tepat bagi setiap prestasi dan penyimpangan; lakukan disiplin penyelenggaraan pemerintahan dan negara dengan standar - parameter yang jelas. |

Editor : delanova