75 Tahun Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia Rawan Oligarki

| dilihat 766

Catatan Haédar Muhammad

Setiap kali memperingati Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia (17 Agustus 1945), saya selalu teringat pertanyaan saya kala bocah kepada orang tua, "Buat apa kita memperjuangkan kemerdekaan?"

Ketika mengajukan pertanyaan, itu yang ada dalam pikiran saya masa itu, adalah, "kemerdekaan itu niscaya, sudah disediakan Tuhan sebagai modal kehidupan." Mulai dari freedom of expression, freedom of thinks, freedom of will, freedom of choise, dan lainnya.

Orang tua, sambil ngopi jelang maghrib di beranda, lantas menjawab, karena hak kemanusiaan itulah perjuangan merebut kemerdekaan dilakukan para pejuang, pendiri republik, sejak kemerdekaan - keadilan - kemakmuran dirampas oleh penjajah dengan beragam cara dan bentuk penjajahan.

Perjuangan merebut kemerdekaan dan berdirinya Negara Republik Indonesia, bukan sekadar kemerdekaan merupakan hak segala bangsa.

Pun bukan sekadar untuk menegaskan, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Bahkan tak semata supaya kita berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam negara yang bersatu dan berdaulat.

Jauh dari itu, sampai muncul pemikiran Omar Said Tjokroaminoto tentang zelfbestuur (berpemerintahan sendiri) dalam pidatonya di hadapan peserta National Congress - Natico - Pertama, Centraal Sarekat Islam - CSI - 17 Juni 1916 di Gedung Concordia (kini Gedung Merdeka), Bandung.

Konsepsi perjuangan kebangsaan merebut kemerdekaan -- sekurang-kurangnya sejak 1905 -- meminjam istilah Anies Baswedan (17 Agustus 2019, di Ancol) bukan sekadar untuk menggulung penjajah, melainkan untuk menebar keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, yang dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang disahkan 18 Agustus 1945, dinyatakan dengan diksi: adil dan makmur.

Soekarno - Hatta melalui Proklamasi yang dibacakan Bung Karno 17 Agustus 1945, memberikan aksentuasi tegas pernyataan, "hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya."

Merebut kemerdekaan mengandung makna hakiki, bahwa merdeka dan kemerdekaan adalah hak asasi yang tak boleh dikuasai oleh manusia atau bangsa lain, siapapun dia dan dalam bentuk apapun.

Ada renjana patriotisme dan heroisme sebagai ruh perjuangan, karena penjajah terbukti terus merongrong hak dasar bangsa Indonesia, itu. Bahkan sampai sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan dipekikkan.

Kemerdekaan, komitmen untuk bersatu dan berdaulat untuk mewujudkan adil dan makmur adalah modal untuk membentuk Pemerintah Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Landasannya, kedaulatan rakyat sejati (true people's sovereignty). Landasan utamanya adalah Pancasila, yaitu: "Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Lima pondasi dasar yang utuh dan satu tarikan nafas. Tidak terpisah-pisah dan terpilah-pilah.

Banyak kalangan menyebutnya sebagai the five moral principles. Saya lebih suka menyebutnya, the five fundamental principles yang tak bisa ditawar-tawar dan dikompromikan.

Secara konsepsional, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran juga satu nafas. Kedaulatan rakyat akan terdegradasi kualitas dan nilainya, ketika keadilan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat tak mampu diwujudkan oleh pemerintyah sebagai penyelenggara negara.

 Indonesia sejak awal menerapkan prinsip kedaulatan di tangan rakyat dan diselenggarakan melalui sistem presidensial, bukan demokrasi parlementer apalagi monarki  perwakilan.

Dalam pewujudannya, di Indonesia, kedaulatan sebagai otoritas tertinggi untuk mengatur kewenangan negara: sekurang-kurangnya legislatif, yudikatif, dan eksekutif diselenggarakan secara

Dalam konteks kesejarahan, kedaulatan bangsa menjadi ciri utama kemerdekaan negara bangsa tidak hanya dalam konteks internal bangsa, itu. Melainkan juga dalam hubungan dengan bangsa-bangsa dan negara-negara lain. Termasuk dengan badan-badan internasional.

Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi memberikan penegasan hakiki tentang hal itu. Kedaulatan dan kemerdekaan nasional yang berkontribusi kepada perdamaian dunia.

Penegasan itu relevan dengan pandangan Jean Bodin (1530-1596), yang merumuskan pengertian asasi "Kedaulatan adalah kekuatan mutlak dan abadi dari sebuah Republik."

Dalam risalahnya bertajuk, "Enam Kitab Republik," Bodin mengemukakan, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kedaulatan yang tidak dapat dimusnahkan, meskipun bukan tanpa batas.

Konsepsi kedaulatan Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi, juga relevan dengan pandangan Jean-Jacques Rousseau, bahwa rakyat adalah satu-satunya pemegang kedaulatan yang sah.

Dalam konteks itu, para pendiri republik, sampai 18 Agustus 1945 konsisten untuk menegaskan konsep kedaulatan rakyat yang dipilihnya, bukan teokrasi dan monarki (apalagi para Sultan di seluruh Indonesia dengan kesadaran bersatu mewujudkan ke-Indonesia-an mengikhlaskan dirinya kehilangan otoritas politik, menyelenggarakan pemerintahan. Tentu dengan sendirinya, menolak oligarki.

Berbagai pemikiran  genuine, seperti yang dikemukakan Tjokroaminoto tentang zelfbestuur dalam pidatonya di Natico - Sarekat Islam, pada perkembangan lanjut terakomodasi dalam pemikiran H. Agus Salim, Abdul Muis, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Moh Natsir, Muhammad Yamin, Tan Malaka, dan lain-lain dalam konteks penyelenggaraan negara relevan dengan pemikiran John Locke (1632-1704).

Belakangan, menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, pemikiran tentang keadulatan, itu relevan dengan pemikiran Montesquieu (1689-1755) tentang prinsip pemisahan kekuasaan, dasar dari sistem representasi yang fungsional dan proporsional, yang muaranya adalah keadilan dan kesejahteraan rakyat. Untuk kepentingan menebar dan menegakkan keadilan - klesejahteraan, itulah rakyat -- melalui Pemilihan Umum -- mengikhlaskan kedaulatannya diberikan kepada para wakilnya.

Di sisi lain, mengacu pada pandangan Bung Karno tentang sejarah, kita juga melihat, bahwa kedaulatan nasional Indonesia, sekaligus merupakan kedaulatan milik bangsa sebagai entitas kolektif yang abstrak, unik, dan tidak terpisahkan. Bangsa tidak terbatas hanya pada warga negara yang masih hidup, tetapi termasuk warga negara masa lalu dan masa depan. Akibatnya, ini lebih besar dari jumlah individu yang menyusunnya.

Dari sudut pandang ini, praktik kedaulatan nasional -- yang mensublimasi kedaulatan rakyat ke dalam  kedaulatan bangsa -- dipahami dan dilakoni secara seksama oleh Soekarno - Hatta, ketika memisahkan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Karenananya, di awal kemerdekaan kita mempunyai sejumlah Perdana Menteri (Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Moh Hatta, Moh Natsir,  Sukiman Wirjosandjojo, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Boerhanuddin Harahap, dan Djuanda Kartawidjaja).

Pasca Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 sampai kini, Indonesia sepenuhnya memilih jalan pemerintahan Presidensial yang dengan orientasi rezim perwakilan dan pemisahan otoritas semu. Menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.

Dengan menyelenggarakan seleksi kepemimpinan nasional secara langsung melalui Pemilihan Presiden (2004), Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus mengemban peran sebagai representasi kedaulatan rakyat - kedaulatan bangsa.

Dengan realitas ini, sebenarnya Republik Indonesia rawan oligarki. Baik karena keputusan representasi bangsa tidak dapat diganggu gugat oleh warga negara, khususnya warga negara masa depan. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi, mestinya memainkan peran check and balances. Khasnya, setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat -- yang anggotanya gabungan anggota DPR RI dan Dewan Perwakilan Daerah RI -- mengalami reduksi dan degradasi otoritas.

Dalam konteks itu, sesungguhnya, setelah 75 tahun menyatakan dirinya merdeka, Indonesia rawan kekuasaan oligarki. Belakangan -- karena tidak dikemas apik - kepentingan oligarki terasa pengaruhnya lewat praktik transaksi politik dan dominansi partai politik dalam sistem penyelenggaraan negara. Dalam konteks ini, wajar bila kelak terjadi shadow parliamentary.

Bila seluruh penyelenggara negara bermain-main dengan oligarki dan tak pandai mengelola kedaulatan, rakyat dengan caranya sendiri akan bergerak. Kini, di sini pelaksanaan amanah rakyat untuk menegakkan keadilan dan menebar kesejahteraan menjadi sangat urgen dan prioritas. |  Jakarta 17.08.20

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 267
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 489
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 478
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 450
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 967
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1182
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1453
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1601
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya