Protes Kekerasan Polisi di Amerika Serikat

George Floyd Tewas di Bawah Tekanan Lutut Polisi

| dilihat 678

MALAM yang naas di Minneapolis, Amerika Serikat. Kota besar yang juga terkenal dengan julukan City of Lake, itu berada di Negara Bagian Minnesotayang beribukota St Paul. Kedua kota ini, bahkan disebut kota kembar, yang dipisahkan oleh Sungai Mississippi.  

Kota danau dan taman dengan penduduk sekira 425.403 dengan cuaca sekitar 16 ° C dengan tingkat kelembaban sampai 47 persen, itu Jum'at malam, 29 Mei 2020 terbakar oleh kerusuhan.

Kota dengan landmark budaya, seperti Pusat Seni Walker, museum seni kontemporer, dan Taman Patung Minneapolis yang berdekatan dengan sclapture  "Spoonbridge dan Cherry" karya Claes Oldenburg, itu 'pecah amarah' pada sejak pukul 8 malam. Persisnya, ketika George Floyd, memasuki Cup Foods, sebuah toko komunitas yang dikelola oleh empat saudara lelaki.

Seorang pegawai di toko, itu menuding Floyd, seperti dikabarkan NewYork Times, telah membayar rokok dengan uang kertas $ 20 palsu. Satu menit kemudian, petugas toko menghubungi polisi setempat.

Polisi segera datang ke toko itu. Pegawai toko memberikan uang yang diduga palsu, itu kepada polisi.  Floyd masih nongkrong di mobil mereka dengan beberapa temannya, tak jauh dari toko, itu.

Floyd menolak mengembalikan rokok yang sudah dibelinya, karena tak merasa membayar dengan uang palsu. Saat itu, menurut polisi, Floyd dalam keadaan mabuk berat, dan tak bisa mengendalikan dirinya. Polisi mengklaim, Floyd sudah melakukan kesalahan. Termasuk melanggar ketentuan tentang perintah stay at home, yang berlaku.

Dari sumber lain diperoleh informasi, Floyd, sebagaimana halnya anak muda dan warga Amerika Serikat, sudah tak betah nongkrong di rumah, sejak wabah COVID-19 merebak di negara yang kadung dijuluki kampiun demokrasi itu.

Sebenarnya, persoalan ringan saja. Hanya perkara sebungkus rokok. Tapi, ketika 'pecah api' - membakar kemarahan, ketika transkrip percakapan pegawai toko dan polisi merebak dan tular lewat media sosial.

Pada transkrip percakapan antara pegawai toko dengan operator kantor polisi, selain soal ciri-ciri Floyd yang berkepala botak dengan tinggi sekitar enam kaki, tercatat juga percakapan yang sensitif, soal ras.

"Apakah dia berkulit putih, hitam, asli, Hispanik, Asia?" tanya operator kantor polisi.

"Semacam itu," jawab si penelepon.

"Yang mana? Putih, hitam, asli, Hispanik, Asia? ” desak operator kantor polisi.

Kembali ke lokasi. Tak lama setelah polisi menghampiri Floyd dan kawan-kawan, Angel Stately, seorang pelanggan tetap dan mantan karyawan, tiba di toko mencari rokok mentol.

Menurut Stately, pegawai toko, seorang remaja, kemudian merasa tidak enak hati, karena telah memanggil polisi. Tapi, dia harus melakukannya, karena merupakan prosedur yang harus diikutinya.

Polisi yang menghampiri Floyd, itu mengacungkan selembar uang yang dilipat dan menunjukkannya kepadanya. "Uang ini palsu," katanya. Saat bersamaan, menurut Stately, dia melihat seorang polisi mendekati Floyd, dengan tangan memegang pistol di pinggangnya.

Floyd dengan temannya berada di mobil biru yang diparkir ketika polisi menghampiri, dan merespon biasa saja. Segera, setelah itu unit polisi tambahan tiba dan mencoba untuk memasukkan Floyd ke dalam kendaraan polisi. Tapi dia Floyd bersikeras menolak.

"Floyd terpaksa masuk ke dalam mobil dengan melawan para petugas. Dia terjatuh, sambil mengatakan dirinya tidak akan masuk ke dalam mobil polisi, dan menolak mengikuti perintah polisi," ungkap Stately.

Posisi Floyd sudah di jalan, di bawah lutut polisi, yang kemudian diketahui bernama Chauvin. Floyd nampak berusaha meronta, dan  berulang kali mengatakan dirinya tidak bisa bernapas. Chauvin dan petugas bantuan, Kueng, terus berusaha memasukkannya ke dalam  mobil polisi.

Sembilan belas menit kemudian, Chauvin menarik Floyd keluar dari sisi penumpang mobil patroli. Floyd tersungkur ke tanah, menghadap ke bawah, borgol masih terpasang di tangannya. Kueng memegang punggung Floyd, sedangkan polisi lain bernama Thomas Lane memegang kakinya.

Dokumen pemeriksaan yang dilakukan kemudian, menggambarkan, saat Floyd sudah tersungkur, Chauvin mengaitkan lutut kirinya di "area kepala dan leher Floyd." Floyd terus teriak: "Saya tidak bisa bernapas," katanya berulang kali.

Floyd memanggil ibunya, sambil berkata, "Tolong... Tolong."

Salah satu petugas polisi, menolak permintaannya. "Anda berbicara baik-baik saja," kata seorang petugas polisi, itu.

Thomas Lane mulai kuatir dengan kondisi Floyd, dan sempat bertanya, apakah Floyd harus digulingkan -- supaya dia bisa bernafas, maksudnya.  "Tidak, biarkan dia tetap di tempat kita mendapatkannya," jawab Chauvin.

"Saya kuatir dengan delirium atau apa pun yang ada di dalam dirinya," kata Lane.

"Itulah mengapa kita membuatnya tengkurap," jawab Chauvin.

Floyd terkulai. Ketika itu, pukul 8:24 malam. Polisi Kueng memeriksa denyut nadi tangan kanan Floyd. "Aku tidak bisa menemukannya," kata Kueng.

Tapi, tetap saja. Tak ada petugas yang bergerak dan berusaha mengurangi tekanan pada leher dan kepala Floyd.

Pada pukul 8:27 malam, delapan menit dan 46 detik, menurut dokumen pemeriksaan, akhirnya  polisi  Chauvin melepaskan lututnya yang menekan leher Floyd.

Pukul 9:25 malam, kantor pemeriksa medis mencatat waktu kematian Floyd.

NewYork Times, Matt Furber dari Minneapolis, mengabarkan, sebelum menemukan kematian tragisnya yang ironis malam, itu George Floyd adalah seorang veteran dari Departemen Kepolisian Minneapolis yang bekerja sambilan sebagai penjaga keamanan di toko Salvation Army, dan menghabiskan beberapa malamnya di klub-klub lokal, bekerja sebagai petugas keamanan.

George Floyd, 46, mati di bawah lutut petugas polisi Derek Chauvin, 44, dari tim kepolisian yang bertanggung jawab melakukan kendali. Peristiwa nahas, Jum'at 29 Mei 2020, itu digambarkan sebagai jalan bersilang antara mantan petugas polisi dan petugas polisi yang masih aktif.

Suasana pilu Minneapolis malam, itu dilukiskan seolah dua orang yang menyeberang jalan untuk terakhir kalinya dalam cahaya malam Memorial Day yang memudar, di luar toko sudut yang dikenal sebagai tempat terbaik di kota itu untuk menemukan rokok mentol. Dalam satu jam, Floyd sudah mati, setelah permohonan terakhirnya dengan nafas terengah-engah diabaikan polisi.

Kabar kematian Floyd yang kemudian tular (viral) melalui media sosial yang bergerak cepat. Sejak itu, dalam suatu langkah memicu protes di kota-kota di seluruh negeri. Menurut laporan Jaksa Distrik Hennepin yang membuat pengaduan pidana atas peristiwa, itu kematian Floyd di bawah lutut Chauvin hanya selama delapan menit dan 46 detik, sampai tiba saat kematiannya.

Kasus ini telah menjadi bagian dari sejarah kekerasan polisi Amerika Serikat, setelah 2014, menimpa Eric Garner, yang meninggal setelah penangkapan  di New York karena menjual rokok tanpa perangko pajak. Juga, kematian Michael Brown, yang meninggal dalam kendali polisi pada tahun yang sama di Ferguson. Isu yang merebak antara lain, soal ras, karena semua korban adalah kaum Afro -Amerika yang berurusan dengan polisi hanya karena persoalan biasa-biasa saja. Bukan kasus pidana kriminal berat.  

"Dia mati sia-sia - sesuatu tuduhan menggunakan uang palsu. Sesuatu yang bukan apa-apa," kata Jason Polk, 53, seorang sopir bus kota dan salah satu dari sejumlah warga Minneapolis Selatan yang menyatakan kemarahan atas kasus ini., seperti dilaporkan Matt Furber, jurnalis NewYorkTimes dari Minneapolis

"Peristiwa paling kelam yang menimpa kita," ungkap Tim Walz, Gubernur Minnesota. Kita bersyukur, ada seorang anak muda memiliki kamera untuk merekam video itu,” katanya kemudian.

Menyusul kematian Floyd, polisi Chauvin mendekam dalam tahanan dan secara resmi didakwa melakukan pembunuhan tingkat tiga dan pembunuhan tingkat dua.  Jaksa penuntut umum  berusaha mendalami apa yang terjadi pada saat-saat kacau sebelum Floyd dibawa ke Pusat Medis Hennepin dan dinyatakan meninggal pada jam 9: 25 malam.

Laporan dari saksi mata, telepon seluler, video pengawasan dan dokumen pengisian yang dirilis pada Jumat (29/5/20) menceritakan banyak kisah tentang bagaimana "pemalsuan dalam proses" penangkapan dibuka.

Floyd pernah menjadi bintang sepak bola dan pemain bola basket di sekolah menengah. Dia pindah ke Minneapolis sekitar lima tahun yang lalu. Ketika kembali ke Houston untuk pemakaman ibunya dua tahun yang lalu, dia mengatakan kepada sepupunya, bahwa Minneapolis terasa seperti rumahnya. Dan, di kota inilah memang, dia pulang dan tak pernah kembali.

"Dia orang yang sangat bahagia, dia suka berada di sekitar orang, suka menari dan sangat mencintai Minneapolis," kata Jovanni Thunstrom, pemilik Conga Latin Bistro tempat Floyd bekerja sebagai petugas keamanan pada malam tari salsa. "Dia berjalan setiap hari dengan senyum di wajahnya."

Maya Santamaria, bekas pemilik klub El Nuevo Rodeo, menyebut Floyd dan Chauvin pernah sama bekerja di klub itu. Tapi, dia meragukan bahwa kedua pria itu pernah berinteraksi. Floyd sesekali bekerja di malam hari, katanya, sedangkan Chauvin bekerja pada akhir pekan.

Kadang-kadang, kata Maya, selama “malam urban” yang ramai dikunjungi pelanggan Afro-Amerika, Chauvin sekali sekala terlihat terlalu agresif kepada pelanggan, dan menggunakan semprotan merica.

Adik George Floyd, Rodney Floyd, 36, menduga, abangnya tak melakukan perlawanan ketika diperlakukan tak manusiawi oleh Chauvin. "Saya pikir, dia tidak bereaksi dengan tepat berdasarkan situasi yang dihadapi," katanya.

Menurut Rodney, abangnya, merupakan 'pusat perhatian' dari setiap tempat yang dia masuki. "Selalu tersenyum, selalu seseorang yang bisa kamu ajak bicara dan tahu bahwa kamu tidak akan dihakimi." | Haedar

Editor : Web Administrator | Sumber : The New York Times dan sumber lain
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 502
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1584
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1373
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Energi & Tambang