Kemandirian Wartawan

Dinding Api Media

| dilihat 312

Catatan Bang Sém

Sejak sepekan mutakhir (12-18 Oktober 2024) merebak perbincangan ihwal  dinding api (firewall) alias dinding pemisah antara wilayah operasi jurnalistik dan bisnis dalam tata kelola media.

Perbincangan ini meliputi pemahaman ihwal profesionalisma (termasuk konsistensi pengelola media ihwal kode etik dan perilaku) wartawan yang biasa juga disebut jurnalis. Suatu perbincangan yang menarik perhatian dan kudu diketahui khalayak konsumen media dan siapa saja yang berhubungan dengan media.

Dinding api dalam praktik jurnalisme dan tata kelola media merupakan pelajaran pertama yang mesti diketahui oleh jurnalis dan pengelola media. Tanpa kecuali pemilik media. Dinding api inilah yang membedakan secara nyata dan benderang dua bidang (redaksi dan bisnis) dalam media, yang tak bisa dicampur-adukkan satu dengan lainnya.

Dinding api berlaku pada praktik jurnalisma dalam memilah konten media. Khasnya antara berita, rilis, dan pariwara (advertorial - iklan, konten berbayar yang biasa dikemas dalam bentuk penulisan berita). Masing-masing media mempunyai cara untuk membedakan satu dengan lainnya. Antara lain dengan menggunakan kode di bagian awal dan di akhir sajian konten.

Berita yang bersumber dari rilis, misalnya, biasa diberikan tanda dengan kalimat 'keterangan tertulis,' 'dalam jumpa pers,' 'pada konferensi pers,' dalam tubuh berita. Bila disajikan secara utuh, diberikan kode 'rilisa,' dan sejenisnya yang membedakan konten tersebut dengan konten berita yang dihasilkan oleh kerja jurnalistik lapangan para wartawan.

Kode etik jurnalistik sudah mengatur secara rinci perbedaan berita murni, keterangan langsung nara sumber, rilis, dan pariwara. Termasuk perbedaan penulisan opini dan berita, termasuk dalam hal titik pandang, sudut pandang, dan cara pandang yang membedakan nilai obyektivitas dan subyektivitas.

Konsisten dan Konsekuen

Dalam konteks pencapaian nilai obyektivitas mulia, wartawan melakukan operasi investigasi dengan risiko tinggi, mulai dari iming-iming sampai ancaman untuk menuliskan atau tidak menuliskan sesuatu.

Meski dalam operasi dan aksi jurnalistik selalu disertai dengan cost per news (biaya per berita) yang tidak murah, pengelola dan penanggung jawab redaksi dan wartawan (tanpa kecuali wartawan di lapangan) terikat oleh kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik.

Di beberapa media arus utama yang konsisten dan konsekuen sepenuhnya menegakkan prinsip-prinsip jurnalistik dan independensi wartawan, berlaku aturan sangat keras kepada seluruh wartawannya untuk tidak menerima imbalan atau uang dari nara sumber dan pihak manapun.

Belakangan hari, sejak terjadi arus besar perubahan medium dan pola konsumsi berita, dan kian surut - meluasnya pola distribusi belanja iklan untuk media, secara bisnis banyak media yang menghentikan sejumlah produk dengan biaya produksi dan operasional yang sangat besar. Lantas beralih ke saluran media, format dan platform yang lebih efektif dan efisien.

Dalam situasi demikian, terlalu banyak tantangan bagi pengelola media, terutama godaan untuk merobohkan 'dinding api' antara redaksiu dan bisnis. Yang sedang mengemuka dan jadi buah bibir belakangan hari adalah sikap kelompok media TEMPO yang menolak menjadi bagian dari operasi 'kemas citra' Presiden Jokowi di penghujung akhir masa kuasanya.

Keteguhan sikap profesional jurnalis untuk mempertahankan dinding api adalah kemuliaan profesionalis wartawan, khasnya dalam merawat muru'ah atau martawab profesional wartawan. Sesuatu yang sejak dekade akhir abad XX menghadapi tantangan internal dan eksternal yang dahsyat. Apalagi sejak awal reformasi, ketika periode kebebasan pers dibuka katupnya di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

Kuburan atau Penjara

Konsistensi dan konsekuensi menegakkan dan menjaga 'dinding api' antara redaksi dan bisnis dalam tata kelola media adalah perjuangan berat di tengah gelombang transformasi besar teknologi informasi menuju kondisi Society 5.0.

Dalam konteks teknis dan teknik praktik jurnalistik dan aksi profesional kewartawanan, boleh jadi wartawan mampu menjawab sekaligus menaklukan tantangan dengan penguasaan sains dan teknologi. Namun dalam konteks sikap dan watak sebagai profesional, jauh lebih berat. Khasnya dalam merawat nilai-nilai, norma, dan budaya yang diwariskan sejak jauh sebelum Indonesia Merdeka.

HOS Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, Haji Agus Salim, Tengku Raja Sabaruddin, Tirto Adhisoerjo, Soemanang, Sudarjo, Sjamsuddin Sutan Makmur, BM Diah, AR Nasution, Ronggodanakusumo, Mohammad Koerdi, Suprijo Djojosupadmo, Adinegoro, Anwar, TD Hafas, Hamka, Mohammad Said, Rohana Koedoes, SK Trimoerti, Hatta, Mochtar Lubis, Rosihan dan lain-lain telah menyemai sikap konsisten dan konsekuen menegakkan prinsip-prinsip dasar kemerdekaan wartawan dan media.

Dalam konteks Indonesia, wartawan merupakan anasir penting dan media merupakan medium utama dalam perjuangan panjang merebut sekaligus menegakkan kemerdekaan bangsa. Karenanya wartawan dan media abal-abal merupakan noda hitam dan kelam profesi kewartawanan dan media.

Sikap para wartawan di masa lalu yang juga bagian integral para perintis kemerdekaan bangsa ini, membangun dan merawat 'dinding api' sebagai upaya dalam merawat kemandirian redaksi wartawan. Kemandirian tersebut, bukan karena dilandasi oleh berbagai ketentuan yang tertulis dan tidak tertulis dalam undang-undang. Melainkan praktik jurnalistik yang penuh ranjau (dengan pilihan risiko: kuburan atau penjara) dalam mematuhi standar profesional jurnalisme tertinggi.

'Dinding api' porofesi kewartawanan dibangun pula dengan tujuan sebagai pelindung bagi wartawan,  konten, dan pekerja profesional media dari pengaruh politik, pengaruh ekonomi, dan pengaruh lainnya.

Kemuliaan Melayani

Kemandirian redaksi sebagai hulu dari independensi wartawan sangat memerlukan pemisahan yang tepat antara sisi berita dan bisnis organisasi dalam perusahaan media. Karena itu, 'dinding api' tersebut merupakan manifestasi kongkret dari struktur dan kebijakan profesional.

Dalam pemahaman lain, 'dinding api' tersebut secara fungsional mengandung makna perlindungan sekaligus isolasi fungsi pelaporan  dan penghimpunan berita melalui news room di setiap organisasi (tanpa kecuali korporasi) media.

'Dinding api' tegak di antara profesional yang menjalankan nilai-nilai jurnalisma dan praktik jurnalistik, dan semua insan media yang bekerja di berbagai bidang bisnis dalam suatu organisasi media (produksi, pemasaran, iklan, dan lain-lain).

'Dinding api' media ini sangat menentukan kondisi, agar profesi wartawan, jurnalisme, dan praktik jurnalistik tidak terombang-ambing dalam kegamangan, ketidakpastian, kerumitan, dan kemenduaan media. Khasnya dalam memanifestasikan profesionalitas dalam melayani konsumen media.

Hal ini pula kelak yang akan memberikan kesadaran dan pemahaman lebih benderang tentang prinsip, bahwa melayani adalah kemuliaan. Dan dalam melakukan layanan tersebut, integritas senantiasa terjaga. Jangan sampai terjadi praktik melayani tanpa harga diri.

Bila dalam mempertahankan dan merawat 'dinding api' tersebut akan harus membawa wartawan dan media ke persimpangan zaman yang sungsang dengan risiko yang sangat pahit dan berat, hal tersebut merupakan risiko kehidupan.

Itulah sebabnya, secara personal, sesuai dengan latar keilmuan yang berbagai dengan peringat yang tak kalah dengan profesi lain, serta pengalaman lebih sebagai wartawan dan insan media, para wartawan profesional sebagai kaum intelegensia, di luar profesinya sebagai wartawan dapat memberi manfaat kepada khalayak dengan profesi yang senafas, seperti pensyarah (dosen), politisi, diplomat, advokat, seniman, dan lainnya. |

Editor : delanova
 
Humaniora
Seni & Hiburan
20 Jul 24, 21:32 WIB | Dilihat : 998
Voice of Baceprot Meteor dari Singajaya
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 1131
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
Selanjutnya