Catatan Bang Sém
Upaya memelihara dan mengembangkan kepandiran ideologis dalam proses mereduksi peran Jakarta Raya dalam keseluruhan konteks kebangsaan dan kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ke depan, agaknya tak berkesudahan.
Salah satu indikasinya yang menonjol adalah masuk dan mengemuka rancangan tentang kepala daerah (Gubernur - Wakil Gubernur) tidak dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah, melainkan ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.
Panitia Kerja RUU Daerah Khusus Jakarta Raya yang dipimpin oleh politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi membenarkan bahwa kemungkinan Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta dihilangkan setelah tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara.
Draf RUU DKJ ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna. Pada Pasal 10 ayat 2 draf RUU DKJ tersebut dinyatakan: "Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD."
Baidowi - sebagaimana disiarkan berbagai media - beralasan, bahwa pilihan tersebut "Untuk menjembatani keinginan politik antara yang menginginkan kekhususan ditunjuk secara langsung dan kedua supaya kita tidak melenceng dari konstitusi, cari jalan tengah bahwa gubernur Jakarta itu diangkat, diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usulan atau pendapat dari DPRD," adalah ekspresi dari kepandiran ideologis dalam memahami hakikat demokrasi.
Demokrasi bukan sekadar mengakomodasi keinginan politik, dan Pilkada bukan sekadar wujud praktik demokrasi yang harus dipertimbangkan dengan pendekatan efisiensi nominal biaya.
Pilkada sebagai praktik demokrasi, harus dilihat dengan pendekatan efektivitas kultural, khasnya kemanfaatan dalam menempatkan rakyat sebagai subyek yang menentukan masa depan kota ini di masa depan. Khasnya sebagai kota global terkait dengan perubahan orientasi geo politik dan geo ekonomi yang begerak ke Asia Pasifik.
Pilkada Jakarta Urgent
Lebih penting lagi adalah untuk kepentingan transformasi budaya Jakarta Raya sebagai strategic hub di kawasan ini, yang akan mempertemukan kecerdasan dan kearifan budaya lokal yang seimbang dengan pergerakan budaya global (yang ditopang singularitas, transhumanitas, pengendalian demografi, dan perancangan keadaban baru). Transformasi yang perlu dan harus dipimpin oleh mereka yang keberadaannya melalui mekanisme pemilihan kepala daerah. Pilkada Daerah Khusus Jakarta, itu urgent !
Tak penting berkilah Jakarta Raya tak lagi masih atau tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara, ketika Undang Undang Ibu Kota Negara yang mencerminkan fantacy trap, juga dirancang dan disahkan secara tergesa-gesa. Pelaksanaannya pun terbukti tidak efisien secara ekonomi dan tidak efektif secara kultural.
Sebagai daerah otonom, Provinsi Daerah Khusus Jakarta Raya dalam konteks pemikiran visioner -- melayari berbagai tantangan Abad XXI -- mesti menjadi model penting dalam mengembalikan tata kelola negara dan pemerintahan ke garis cita-cita perjuangan Indonesia merdeka dengan segala anasir azimuth-nya: Kedaulatan, Kemerdekaan Sejati, Persatuan Rakyat, Demokrasi, Kemandirian Ekonomi, Kualitas Modal Insan (sehat, cerdas, mampu), Kualitas Ekologi dan Ekosistem sosialnya.
Dalam konteks demikian, yang diperlukan adalah rumusan khas tentang kriteria para kandidat Gubernur - Wakil Gubernur yang harus mempertimbangkan realitas historis, budaya, dan politik masyarakat inti Kaum Betawi (khasnya Betawi pituin).
Karenanya, dalam proses penyusunan RUU Daerah Khusus Jakarta Raya, pendapat dan aspirasi masyarakat (khasnya masyarakat inti Kaum Betawi) wajib diakomodasi. Apalagi, UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam penjelasannya menyatakan tentang penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab, dengan memenuhi hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Berbagai Dampak Buruk
Maknanya adalah, proses penyusunan RUU Daerah Khusus Jakarta tidak sekedar mengakomodasi dan menerima berbagai kepentingan petinggi dan politisi semata yang belum tentu selaras dengan kehendak dan aspirasi rakyat. Seperti, mempertahankan aspek-aspek kekhususan Provinsi Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi dan penopang perekonomian nasional.
Juga pandangan intuitive reason penyelenggara pemerintahan saat ini, seperti membantu pemecahan masalah urban Jakarta yang kompleks secara komprehensif; Perbaikan Jakarta dalam bidang lingkungan hidup, transportasi, ketenagakerjaan, serta koordinasi Jakarta dengan wilayah sekitarnya (yang selalu disebut sebagai wilayah penyangga, meski sebenarnya merupakan wilayah otonom). Termasuk penataan ruang laut, pengalihan aset kepada Provinsi Daerah Khusus Jakarta kelak.
Pandangan semacam ini bila tak mengakomodasi pemikiran, pendapat, dan aspirasi masyarakat inti Kaum Betawi (Pituin dan Mukimin) sejalan dengan perkembangan mutakhir kualitas modal insan, khasnya terkait dengan Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi, dapat dipahami sebagai kejahatan budaya merampas hak budaya masyarakat. Sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadi 'kejahatan budaya' (crime culturel) dalam konstitusi Daerah Khusus Jakarta ke depan.
Di tengah proses awal transisi penyelenggaraan negara terkait dengan Pemilihan Umum Presiden - Wakil Presiden dan Pemilihan Anggota Legislatif 2024 - 2029, serta merosotnya kepercayaan rakyat terhadap berbagai institusi negara, ketegesa-gesaan membahas dan mengesahkan RUU Daerah Khusus Jakarta Raya adalah bentuk nyata kepandiran ideologis yang tak bisa diterima akal budi sehat.
Akibatnya akan menimbulkan berbagai dampak buruk yang lebih luas. Apalagi pergantian kepemimpinan di Jakarta melalui penunjukan Pejabat Gubernur sejak 2022 tak menunjukan manfaat yang besar bagi warga Jakarta. Khasnya masyarakat inti Kaum Betawi. Karena posisi Pejabat Gubernur hanya lebih merupakan kepanjangan tangan kepentingan Pemerintah Pusat yang memang cenderung hendak membalik posisi dan peran strategis Jakarta.
Tak Mampu Mengelola Otonomi Daerah
Kompleksitas masalah Jakarta yang bertumpu pada masalah urbanisasi merupakan cermin ketidakmampuan Pemerintah Pusat mengelola otonomi daerah -- dengan kecenderungan menghidupkan habitus resentralisasi dan ketidakmampuan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) di daerah otonom menggerakkan kemajuan di daerahnya. Tanpa kecuali, juga, ketidak-mampuan mengelola desa sebagai pusat pertumbuhan.
Urbanisasi akan berkurang bila di setiap daerah otonom, rakyat mempunyai banyak pilihan untuk mewujudkan harapan hidup sejahtera. Penyebab utamanya adalah ketimpangan sosial di seluruh aspek kehidupan.
Kata kuncinya adalah ketidak-hadiran dan kegagapan penyelenggara negara dan pemerintahan memahami dan mengeksekusi gagasan otonomi daerah, sehingga perencanaan pembangunan menjadi parsial dan terfragmentrasi.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) punya peluang untuk memelihara 'bara semangat' kecerdasan negarawan dalam membahas RUU ini secara komprehensip. Antara lain dengan pandangan visioner melihat konstelasi dan fungsi Daerah Khusus Jakarta ke depan sebagai salah satu sentrum penting transformasi global.
Beranjak dari semua pandangan yang terkait dengan seluruh proses pembahasan tentang RUU Daerah Khusus Jakarta, hanya ada satu kalimat : Cegah kepandiran idelogis dan 'kejahatan budaya' ! |