Belek Korupsi Bansos dan Pilkada

| dilihat 513

delanova

Pilkada Serentak yang mestinya diselenggarakan 2022 di berbagai provinsi, sedang disoal oleh sejumlah politisi.

Sejumlah partai yang sedang berkuasa, lewat para wakilnya di lembaga legislatif, sedang sibuk ngutak-ngatik Rancangan Undang-Undang Politik.

Pengamat politik, yang pekerjaan utamanya tilik politik dengan isu-isu mutakhir, juga ambil bagian, bikin rame isu yang dipandang seksi itu. Tentu, sambil abai dengan realitas, kalau rakyat tak berselera membincang soal itu.

Sejumlah pengamat secara khusus mengamati isu ini, sambil mengaitkan dengan Anies Rasyid Baswedan, Gubernur Jakarta banyak prestasi yang sejak dilantik (Senin, 16/10/17) menunjukkan kepiawaiannya memimpin.

Mereka 'kayak sang bener' menduga-duga dengan analisis encer dan lebih banyak bermain-main dengan retorika, walaupun struktur logikanya seringkali tak jelas.

Pengamat yang satu bilang, Anies Rayid Baswedan bakal menang telak dengan siapapun, bila Pilkada berlangsung 2022, dan akan kehilangan potensi kemenangan bila Pilkada diselenggarakan 2024.

Pengamat yang lain bilang, bila Pilkada Serentak diselenggarakan 2024, Anies akan kehilangan panggung. Popularitas dan elektabilitasnya akan merosot.

Sama seperti politisi di banyak partai politik yang kurang asupan pengetahuan, mereka lupa, bahwa Anies tampil sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta (bersama Sandiaga Uno) pada Pilkada 2016, dalam keadaan tidak punya panggung. Bahkan, boleh jadi, pamornya sedang tidak populer, karena baru saja diberhentikan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Banyak pengamat dan para tukang survey kala itu, tak ada yang menjagokan Anies. Bahkan, panggung kemenangan sudah disiapkan oleh kompetitornya yang jadi pecundang (dan para pendukungnya belum juga move on sampai kini).

Ketika ternyata Anies - Sandi yang menang, kala itu,  para pecundang, tak terkecuali 'bandar politik' yang merasa 'apes,' tidak bisa terima. Apalagi, kemudian, setelah menjalankan fungsinya sebagai Gubernur, Anies tak bisa diajak kompromi.

Sejak dilantik sampai hari ini, tak ada hari tanpa serangan dan hujatan kepada Anies. Dalam banyak hal, kebijakannya, bahkan 'diserimpung' secara sistemik. Bahkan, berapa kali sejumlah menteri secara terbuka menyerang Anies.

Menteri Sosial Juliari Batubara menggocoh Anies dengan pernyataan yang mengesankan Anies (yang ketika itu bekerja tanpa wakil) tak becus menangani bantuan sosial, khasnya, soal distribusi bantuan sembako.

Juliari, tanpa mengindahkan etika pemerintahan langsung terjun menjumpai sejumlah Ketua Rukun Warga (RW), dan menunjukkan dirinya, seolah-olah memastikan distribusi bantuan sosial sampai langsung ke tangan rakyat yang berhak.

Ekspose media dilakukan secara eksploratif, tujuan utamanya jelas, merontokkan pamor Anies. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum Partai Golkar, bersama sejumlah menteri konco-konconya (termasuk Juliari) menuding Anies sebagai pemantik merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan di pasar modal.

Sebuah lembaga survey diorder khusus untuk melakukan aksi pembenaran, bahwa sebagai menteri sosial, Juliari berhasil menangani penyaluran bantuan sosial.

Faktanya? Ehem.. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru membuktikan lain. Ternyata Juliari dan sejumlah mitranya, anggota parlemen satu partai dengannya (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), melahap dana bansos sampai triliunan rupiah.

Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Kristiyanto, buru-buru menepis anggapan, korupsi bansos Juliari mengalir ke partainya. Hasto menyatakan, PDIP tak tahu menahu soal itu dan memastikan, partainya tidak terkait.

Kasus korupsi bantuan sosial yang biadab, itu segera mengubah pepatah, "Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan," menjadi "Beras di seberang lautan terlihat, belek di pelupuk mata  tak nampak."

Boleh jadi, belek di pelupuk mata memang tak nampak, karena menghalangi fakta dan kebenaran untuk melihat keseluruhan konteks kasus korupsi bansos, itu.

Karenanya, Menteri Sosial Risma, pengganti Juliari, lebih melihat gelandangan di bulevard Thamrin, katimbang sisik melik korupsi sistemik di lingkungan kementeriannya.

Agaknya, belek di pelupuk mata memang tak cukup waktu untuk dibuang, sehingga terkesan, terbiarkan menghalangi pandangan untuk melihat realitas.

Karenanya, tiba-tiba satu penelitian yang samar metodenya tentang 'kota kampus' -- dengan perspektif cita-cita yang tersimpan dalam prasasti asrama Daksinapati - Rawamangun, memantik penilaian terhadap Jakarta sebagai kota amburadul -- serta merta warga Jakarta yang bernalar cerdas dan punya nurani bening, terkekeh.

Bagaimana mungkin, Jakarta yang kian tertata cantik, artistik, estetik dan memuliakan etik, dinyatakan amburadul. Kesan yang mengemuka kemudian adalah bukan Jakarta yang amburadul, melainkan belek di pelupuk mata mengganggu pandangan.

Tendensi politiknya begitu menguat. Meminjam istilah yang mengemuka di media sosial, upaya untuk tidak menyelenggarakan Pilkada Serentak 2022, sekadar hendak menghambat atau menjegal langkah Anies. Padahal, menyelenggarakan Pilkada 2024 akan memakan biaya yang sangat besar, karena berdekatan dengan Pemilihan Anggota Legislatif dan Pemilihan Presiden -Wakil Presiden. Artinya, beban belanja negara kian bengkak.

Akankah Anies terjegal? Tak ada yang bisa memastikan. Karena Anies bukan pemburu jabatan. Baginya, hidup dijalani mengalir saja. Ketika amanat diberikan, laksanakan dengan baik, dan tidak khianat. |

Editor : Sem Haesy
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 216
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 428
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 428
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 398
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya