Belajar dari Matshusita

Prinsip Aksi Tanggung Jawab Sosial Korporasi

| dilihat 2904

KABAR pengelolaan dana CSR (Corporate Social Respinsibility) untuk kepentingan politik, sungguh memuakkan. Terutama terkait dengan ‘bantuan tersembunyi’ untuk memelihara daerah pemilihan anggota parlemen, atau memelihara popularitas kandidat kepala daerah.

Lepas dari persoalan hukum, dari aspek filosofi saja, CSR atau lebih spesifik CCR (Corporate Community Responsibility), semestinya dikelola penuh kepentingan pengembangan masyarakat, sekaligus memelihara lingkungan (fisik dan sosial).

Beberapa waktu berselang, saya berkunjung ke Museum Konosuke Matsusita – pendiri Panasonic – di Kadoma – Osaka Prefecture. Di Museum yang menyimpan memorabilia perjalanan hidupnya sebagai pengusaha sohor Jepang, saya tercenung membaca filosofi CCR yang diterapkan di perusahaannya, sampai saat ini. Yakni, prinsip dasar hidup berkelanjutan.

Prinsip dasar hidup yang secara sadar ditanamkan, mulai dari bagaimana menggerakkan aksi korporasi untuk perlindungan alam. Lalu, pemberdayaan potensi para bocah sebagai generasi baru yang akan menjadi penentu masa depan. Akhirnya, pemaknaan bencana (yang ditimbulkan oleh fenomena alam dan ulah manusia) sebagai titik refleksi untuk memelihara keyakinan, harapan, dan keberanian hidup.

“Masukkan ke dalam jiwamu apa yang seharusnya, dan berjalanlah dengan harapan, karena dengan itu akan terbuka jalan Anda ke depan,” ungkap Mathsusita.

Yang harus dimasukkan ke dalam jiwa setiap entrepreneur dan eksekutif profesional, itu adalah kesadaran membangun kemitraan dengan masyarakat, guna membangun keberdayaan. Muaranya adalah daya saing, serta kesadaran mengelola dan membina lingkungan, agar kita tak menjadi mangsa bencana berulang-ulang.

Untuk memanifestasikan filosofi itu, sejak 1933 di lingkungan perusahaan Matsushita, berlaku prinsip yang kemudian beken dengan istilah “The Seven Moral Principles.”

Pertama, kemampuan dan kemauan melayani masyarakat – termasuk kaum marginal -- (sebagai mitra) secara bersungguh-sungguh dan berkualitas.

Kedua: Keadilan dan kejujuran.

Ketiga: Kerjasama di atas sinergitas berbasis kemanusiaan.

Keempat: Upaya memperbaiki diri tak kenal lelah.

Kelima: Kesopanan dan sikap rendah hati.

Keenam: Penghormatan terhadap hukum alam.

Ketujuh: Rasa syukur atas pencapaian dan kondisi hidup yang diterima.

Ketujuh prinsip moral itu, lantas menjadi nilai korporasi itulah. Mathsusita membebaskan dirinya dan korporasinya dari jerat penderitaan yang ditimbulkan oleh bencana sosial dan bencana ekonomi. Terutama yang ditimbulkan oleh bencana alam dan bencana Perang Dunia (peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki).

Belakangan, tujuh prinsip moral itu pula yang melandasi aksi CCR di banyak perusahaan Jepang.

Sekali-sekala pergilah ke berbagai wilayah industri di berbagai prefektur di Jepang, paling tidak di prefektur Kansei yang membawahi Osaka, Kyoto, Nara, Hyogo, Shiga, Mie, dan Wakayama.

Lihatlah dengan mata telanjang, bagaimana sains dan teknologi dikelola sebagai penggerak daya dukung alam terhadap kehidupan manusia. Mempertemukan industri, pertanian, dan maritim dalam satu tarikan nafas.

Lihatlah bagaimana CCR berbagai perusahaan raksasa berskala dunia, berlomba dalam kebajikan, memberi kontribusi terhadap perlindungan alam. Jauh sebelum isu tentang climate change, dan global warming menjadi buah bibir seluruh pemimpin negara.

Beranjak dari pandangan Matshusita dan praktik bisnis perusahaan Jepang, Tanimoto merumuskan: CCR pertama-pertama, dimulai dengan pertimbangan keadilan sosial dan peduli lingkungan, harus terintegrasi dalam proses aktuntabilitas dan responsibilitas perusahaan dan para pemangku kepentingan (pemegang saham, karyawan, pelanggan, lingkungan dan masyarakat).

Muara manfaat dari CCR, melampaui kepentingan memburu keuntungan. Karena terfokus pada upaya memperbaiki kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan.

CCR bukan program sampingan melainkan salah satu driving forces – kekuatan pendorong -- akselerasi kinerja perusahaan. CCR bukan beban atas profit, melainkan kolaborasi kepentingan dan tanggung jawab.

Minda (mindset) para pengendali perusahaan terkait dengan CCR sangat sederhana: bila industri atau perusahaan menjadi salah satu unsur penyebab kerusakan lingkungan yang utama, maka industri dan perusahaan itulah yang harus secara preventif mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

Disi lain, berlaku juga fatsoen: bila rakyat miskin menjadi korban kerusakan lingkungan, maka selamatkanlah mereka untuk tidak selalu menjadi korban bencana. Dan, terus berupaya menjadi subyek yang harus bersama-sama industri melindungi alam.

Alhasil CSR/CCR bukan merupakan sesuatu yang harus diwajibkan melalui undang-undang, melainkan kewajiban yang terbangun oleh kesadaran untuk memberi manfaat. Karena dari situ kemudian industri dengan sendirinya akan menerima sesuatu yang tak terbayangkan dari penerima manfaat.

Bagaimana dengan kita? Masih ingin terus membiarkan CSR/CCR menjadi sarana untuk kepentingan politik atau sekadar untuk pencitraan? | Bang Sem

(Baca Juga : Jalan Bergegas Sopan Meranggas)

Editor : sem haesy
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya