Reklamasi Pantai

Hilangkan Habitat Laut Secara Permanen

| dilihat 2815

AKARPADINEWS.COM | MENYUSUL sikap Komisi IV DPR dan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), akhirnya pemerintah, seperti dikemukakan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, menghentikan sementara reklamasi pantai teluk Jakarta.

Senin (18/4) – usai rapat koordinasi yang dipimpin Menko Maritim dan Sumberdaya Rizal Ramli di kantornya – Jalan Thamrin, yang dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok), dibentuk Komite untuk mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih terkait reklamasi pantai.

Rapat koordinasi, itu berlangsung setelah sehari sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengepung dan ‘menyegel’ salah dua ‘pulau’ (pulau G dan D) yang sedang dibangun di teluk Jakarta, itu. Minggu (17/4) di lokasi ‘penyegelan’ – Ketua KNTI , Riza Manik menyatakan, “Kita menjalankan hak-hak konstitusional. Beberapa hari lalu DPRD sepakat bahwa terkait reklamasi harus dihentikan, baru beberapa hari lalu pula DPR dan Menteri Perikanan bilang reklamasi harus dihentikan. Semua menolak reklamasi."

Kendati demikian, para pengembang yang beroleh konsesi membangun pulau-pulau reklamasi di teluk Jakarta, itu masih saja mengerahkan pekerja untuk terus membangun ‘pulau.’ Mereka seolah tak ambil peduli dengan keriuhan seputar proyek reklamasi, yang sudah menyeret mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Sanusi dan Presiden Direktur Agung Podomoro Land – Arisman Widjaya ke tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Reklamasi Teluk Jakarta memang menjadi buah bibir belakangan hari. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyarankan proyek itu dihentikan sementara. Pernyataan itu, disambut radang Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, yang terkesan was-was bakal digugat para pengembang. Karena itu, dia terkesan ‘melawan’ JK. Tapi, usai rapat koordinasi di Kantor Kemenko Maritim dan Sumberdaya, terlihat dia cengengesan dengan Menko Rizal Ramli, sebelum jumpa pers dengan wartawan.

JK meminta, seluruh aspek hukum terkait reklamasi sungguh dikaji dan didalami, termasuk analisi mengenai dampak lingkungan yang benar. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengaku sudah menugaskan petugasnya untuk melakukan pengawasan. Akan halnya Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti, sudah bergerak lebih cepat dengan mengeluarkan rekomendasi penghentian sementara.

Di mata Ahok, pembangunan pulau-pulau yang sudah direncanakan sejak beberapa tahun lalu, itu tak serta-merta bisa dihentikan. Alasannya: banyak pihak yang terlibat, terutama para pengusaha properti raksasa, seperti Agung Podomoro Land.  Ahok takut para pengusaha itu menggugat melalui PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Susi sendiri mengemukakan, kalau reklamasi merupakan kawasan besar atau strategis nasional, kusu ada Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi payung hukum menteri membuat rekomendasi.

Pasal reklamasi, sejak penghujung abad 20 memang sudah menjadi polemik. Terutama ketika sejumlah negara di Amerika Selatan, Eropa Barat, dan Timur Tengah merencanakan dan kemudian melakukan aksinya melakukan reklamasi pantai. Saudi Arabia sudah melakukan sejak awal 90-an di pantai Corniche – Jeddah. Pantai lepas tanpa nelayan. Berbeda dengan kawasan Teluk Jakarta.

Menurut konvensi OSPAR (Perlindungan Lingkungan Laut Atlantik Utara - Timur) 1992, reklamasi lahan adalah gain tanah atau pasir basah pesisir dari laut.  Reklamasi diperlukan karena tiadanya lahan untuk keperluan pertanian, industri, dan ekspansi pelabuhan untuk kepentingan logistik. Reklamasi yang menonjol adalah polder Belanda.

Konvensi itu telah diratifikasi Belgia, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Portugal, Swedia, Swiss dan Inggris Raya dan Irlandia Utara dan disetujui Masyarakat Eropa dan Spanyol.

Belakangan, sejak Uni Emirat Arab melakukan reklamasi dengan membangun Palm Island, disusul Arab Saudi dan Bahrain untuk kepentingan lain : membangun kota dan permukiman baru, muncul pertimbangan lain dalam melakukan reklamasi. Yaitu, terkait dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Reklamasi, membawa dampak lingkungan pada berbagai spesies dan habitat ikan, burung, dan lain-lain, serta terkait dengan proses ekosistem. Kasus Saudi Arabia dan Bahrain, terkesan, dampak reklamasi terhadap lingkungan kurang dipahami dan memerlukan pemantauan dan penilaian lebih intens. Terutama, karena kegiatan reklamasi lahan terkait erat pertahanan pesisir dan ekstraksi pasir dan kerikil.

Konvensi OSPAR kemudian mengisyaratkan, proyek reklamasi di sejumlah situs, berdampak lingkungan yang sangat merugikan. Manfaatnya, hanya diperoleh para pengusaha properti raksasa yang membangun kota-kota baru di atasnya. Kendati, di kota-kota itu mereka bangun habitat laiknya habitat di alam aseli.

Reklamasi pantai  berdampak buruk pada lingkungan laut. Terutama, karena kegiatan reklamasi di sepanjang pantai memengaruhi pesisir dan habitat laut. Antara lain berupa gumuk pasir, sedimentasi muara yang disengaja, akumulasi lumpur, termasuk memengaruhi rawa-rawa garam dan habitat halophytic.

Tak hanya itu, reklamasi juga  memengaruhi perkembangan spesies di habitat segel abu-abu, yang antara lain memengaruhi perkembangan bebek laut hitam. Reklamasi juga menghilangkan habitat laut secara permanen. Reklamasi juga memengaruhi jenis habitat asal pesisir dan terestrial seperti pasir atau badan air tawar. Beberapa dampak lain dari kegiatan reklamasi pantai, sebanding dengan dampak pembuangan material kerukan di laut, meningkatkan kekeruhan, dan memengaruhi perubahan struktur sedimen.  

Di kawasan-kawasan tertentu yang posisi daratannya mengalami penurunan, reklamasi juga menimbulkan bencana besar, karena menghambat pergerakan air dari sungai dan anak-anak sungai, dan menimbulkan banjir. Baik banjir regional maupun rob.

Satu-satunya yang proyek reklamasi yang direkomendasikan OSPAR adalah untuk kepentingan perluasan pelabuhan yang memang terletak di kawasan pelabuhan laut sebelumnya. Rekomendasi itu diberikan sejalan dengan pertumbuhan perdagangan dunia dan kegiatan transportasi barang dan manusia yang terhitung dan jelas parameternya.

OSPAR juga mengingatkan, pengetahuan dan kemampuan tentang pencegahan dampak lingkungan terhadap kehidupan aseli di daratan, masih sangat terbatas saat ini. Karena itu, untuk menilai apakah peraturan nasional cukup memadai di negara-negara yang tergiur melakukan reklamasi, tak bisa dijamin.

Secara umum, aturan tentang reklamasi dilakukan melalui melalui rezim perizinan dari otoritas nasional dan regional di suatu negara. Umumnya izin diberikan dan analisis mengenai dampak lingkungan yang menyertainya tidak mendalam dan berorientasi jauh ke masa depan.

Bahkan ada kecenderungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hanya dibuat untuk meminimalkan dampak dan untuk kompensasi dampak lingkungan diperhitungkan melalui peraturan nasional. Contohnya adalah reklamasi pada Port of Rotterdam.

AMDAL yang dilakukan hanya pada tahap perencanaan dan realisasi proyek reklamasi tanah, dan tidak mempertimbangkan berbagai dampak yang bakal timbul di kemudian hari. Antara lain terkait dengan tindakan publik, tindakan lingkungan, perencanaan tindakan, perlindungan alam dan tindakan konservasi. Belum termasuk berbagai hal yang terkait dengan habitat directive. Jadi, hanya sekadar meminimalkan efek samping dari kegiatan reklamasi di ekosistem laut.

Di Indonesia, reklamasi pantai dilakukan untuk kepentingan membangun kota baru, sentra keuangan dan perdagangan, dan permukiman. Hanya satu untuk kepentingan pelabuhan, yakni pelabuhan laut Pelindo II.| JM Fadhillah

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Konvensi OSPAR dan sumber lain
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya