Mengenang Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon

Sultan Arief yang Arif itu Sahaja dalam Kemuliaan

| dilihat 1049

Lagi kita kehilangan. Kabar duka itu menyeruak fajar selepas subuh, saya terima dari cucu pertama, Rabu (22/7/20), ketika dia sedang siap-siap kembali ke pesantrennya di kawasan Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan).  Sultan di Keraton Kasepuhan Cirebon (Sultan Sepuh XIV) PRA Arief Natadiningrat.

Allahyarham Sultan Arief memang arief.  Rendah hati, meski tegas dalam banyak hal. Dia tak mau saya panggil "Sultan." Malah dia memanggil saya "Kak Haji"  (bukan "Kang Haji").

Suatu ketika, usai upacara 17 Agustus 2007 di Istana Merdeka, sambil berjalan ke tempat parkir di lapangan parkir kompleks Sekretariat Negara - Jalan Veteran, dia meminta saya datang ke Cirebon. Dia mengingatkan saya, sudah lama tak berkunjung ke Keraton Kasepuhan.

"Langgar sudah rindu Kak Haji," ujarnya sambil senyum. Maksudnya mushalla di lingkungan dalam Keraton.

Lantas, beberapa kali saya datang berkunjung. Antara tahun 1999-2000 di masa transisi transformasi, ketika memanfaatkan waktu libur menelusuri jejak 9 Wali, dari Cirebon sampai ke Ampel - Surabaya, kemudian ziarah ke Bangkalan (Syaikh Kholil), Rato Eboh, terus ke Sumenep, kemudian lanjut ke Bangil, Mojo Agung, Tebu Ireng, Kediri, Blitar, kemudian ke Karangsari dan Banjarsari (Madiun), Ponorogo (makam KH Hasan Besari), Gontor, Ngabar, lalu ke Solo, Yogyakarta, Bagelen (Sunan Geseng) di Purworejo, lalu ke Panjalu, dan kemudian ke Suralaya (makam Syeikh Mubaraq), sebelum akhirnya ke Bandung.

Secara insidental, saya lanjutkan lagi beberapa kali menjumpainya di Cirebon, bahkan sempat menengok Sunyaragi yang hendak dikembangkan sebagai panggung terbuka seni pertunjukan tyradisional, lalu beberapa kali salat Jum'at di Masjid Sang Cipta Rasa. Boleh jadi, seorang abdi di Keraton Kasepuhan yang dimintanya menemani saya ziarah ke makam Sunan Gunung Jati beberapa kali, bercerita kepadanya apa saja tentang saya yang dilihatnya, sehingga allahyarham ingin memperlihatkan kepada saya naskah-naskah lama yang ditulis dengan huruf pegon (berbahasa Cirebon). Belakangan, anak kedua saya, untuk kepentingan penelitiannya tentang naskah Nusantara, sering berinteraksi dengan Keraton Kasepuhan.

Salah seorang kakak saya juga bercerita, setelah bertemu dengan Allahyarham, tentang informasi yang mirip dengan yang disampaikan allahyarham kepada saya. Bahkan menyebut anak kedua saya, Purbaya. Saya sendiri, tak sempat intens menelusuri berbagai hal, kecuali seputar wasiat dan tata titi Sunan Gunung Jati, yang selalu disebut Maulana Nurullah oleh allahyarham ayah saya. Dan, Adzan Pitu yang selalu 'menggetarkan dan terindukan.'

Tahun 2014-2019 ketika lebih sering berada di Jakarta, Sentul (Bogor) dan Dago Pakar (Bandung) beberapa kali saya berbincang dengan allahyarham, karena kami sama menjadi anggota Dewan Kebudayaan Jawa Barat (DKJB). Institusi non struktural yang dipimpin Ganjar Kurnia - guru besar dan mantan Rektor Universitas Padjadjaran, itu lebih merupakan wadah pengembangan pemikiran, yang berada dalam wilayah interaksi intelektual, dan tak bergaji. Allahyarham dan Asep Warlan - guru besar Universitas Parahyangan, sama menjabat Wakil Ketua.

Produk kerja lembaga ini (meski kemudian diamanatkan dalam UU No.5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan) adalah pokok-pokok pikiran kebudayaan yang menginisiasi dialog berbagai kalangan untuk melihat pembangunan sebagai gerakan kebudayaan. Terutama memberikan saran dan rekomendasi kepada Gubernur terkait dengan policy design kebudayaan (dalam makna luas).

Tahun 2015 - 2016, di Kuningan (tempat anggotra DKJB, Iman Taufik) kami melakukan rapat koordinasi membahas ihwal wilayah budaya di Jawa Barat, meliputi budya Sunda, budaya Cirebon, budaya Betawi dan interaksinya dengan perkembangan budaya nasional - regional - internasional. Dilanjutkan dengan dialog dengar pendapat dengan komunitas seniman. Allahyarham mengingatkan saya lagi tentang berbagai hal warisan Sunan Gunung Jati. Melanjutkan perbincangan sebelumnya, ketika melakukan rally pelatihan Indigopreneur di Cirebon, setelah dari Bogor, Purwakarta, Cianjur, Tasikmalaya, Banjar, Karawang, Kuningan dan Cirebon - Jawa Barat (sebelum ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali).

Perbincangan kemudian menjadi lebih fokus, kala kami intens mendalami tidak hanya wasiat dan tata titi yang mengandung sekitar 42 nilai. Mulai dari disiplin dalam menjalankan ibadah, kebijaksanaan dan social empowerment untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, juga kaitannya dengan upaya pemberdayaan ekonomi : membalik kemiskinan.

Kami sampai pada kesepahaman, menempatkan wasiat dan tata titi Sunan Gunung Jati sebagai sumber nilai hidup, yang banyak sekali terserat dalam Pancasila, yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen). Sebagai mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), allahyarham juga sempat intens diskusi tentang manifestasi nilai-nilai itu dalam keadaban politik, yang sama kami lihat sudah mengarah ke arah deformasi.

Karakterisasi pekerti yang tersimpan di balik Tari Topeng (Dermayu dan Losari), seni lukis kaca, batikan, hadarah, terbangan, gamelan, termasuk wayangan, dan kemudian produk budaya dalam bentuk karya seni dan sastra, adalah gambaran nyata coastal culture yang mengalirkan prinsip-prinsip moral dan akhlak (dalam konteks keadaban dan peradaban). Termasuk karakterisasi nilai ketika Wiralodra mempertemukan nilai pesisir utara dan pesisir selatan, yang kemudian melahirkan produk-produk seni klangenan. Intervensi penjajah dan strategi kultur stelsel, lalu tanpa tersadari di awal mengalirkan pusaran seni klangenan yang mereduksi nilai akkhlak. Terutama, kala penjajah mendegradasi dengan pola clientelisme dalam relasi korelasi masyarakat yang bermuara pada pemiskinan dan kemiskinan persisten.

Diskusi-diskusi personal kami, kemudian fokus melihat wasiat dan tata titi yang diwariskan Sunan Gunung Jati sebagai moral principles yang bersumber dari Al Qur'an dan Hadits sekaligus menganggit kecerdasan dan kearifan budaya tempatan (local wisdom and local genious). Selain itu kami sempat membincangkan forum Gotrasawala yang diinisiasi Pangeran Wangsakerta - cendekiawan di masanya, yang sempat menggelar pumpun wacana cendekiawan Nusantara dari berbagai kesultanan dan kerajaan. Karenanya, allahyarham menyambut baik aktivitas (neo) Gotrasawala dalam wujud simposium internasional tentang kebudayaan, yang melibatkan intelektual dan budayawan dunia di lingkungan Keraton Kasepuhan. Meskipun, misalnya, penjajah melakukan by pass rute jalur rempah -- dengan menafikan Tanjung Mas dan Cirebon -- yang tak dijadikan sebagai hub, padahal produk (dan budaya) hutan  antara abad ke 13 sampai abad ke 16 -- menjadi tumpuan.

Penjajah lebih memilih Banten dan Sunda Kelapa sebagai bandar utama (hub jalur rempah). Mungkin karena trauma dengan tragedi Magelen, seperti yang diungkap Pigafetta dalam catatannya, tentang perlawanan penduduk lokal di bawah pengaruh Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Akhirnya, memang Banten yang menjadi tumpuan, termasuk dalam konteks jaminan monetasi dalam perdagangan internasional. Karena Sunda Kelapa, terus diperkuat oleh jalinan dagang antara Prabu Surawisesa dengan Albuquerque yang ditarik oleh pemerintahnya dari benua Amerika dan dipindahkan ke Malaka.

Kami juga berbincang tentang penguatan kembali Cirebon sebagai pusat pertumbuhan dengan mengembangkan diri sebagai metropolitan baru berbasis urban plan yang visioner ke depan. Allahyarham sempat menjelaskan ikhtiarnya mengembalikan lagi aset-aset Kraton Kasepuhan yang dikuasai berbagai pihak yang tidak berhak.

Belakangan, Allahyarham sangat sibuk sebagai Ketua organisasi Keraton se Nusantara, setelah sebelumnya membangun galeri untuk menyimpan benda-benda pusaka dari museum lama. Bersama Wakil Gubernur Jawa Barat (H. Deddy Mizwar (2014-2019), kami sempat berkeliling Keraton saat simposium internasional itu.

Meski seorang Sultan, allahyarham tidak pernah mematut dan menempatkan dirinya sebagai seorang raja, kecuali saat acara formal dan menerima kunjungan tetamu wakil negara asing atau pejabat tinggi negara.

Ketika bertemu terakhir, beberapa bulan - jauh sebelum pandemi nanomonster Covid-19 menerjang, allahyarham masih berfikir keras menanggulangi kemiskinan persisten yang berdampak pada banyaknya pengemis -- pada saat peak season -- kunjungan wisatawan ke Keraton.

Upaya Keraton Kasepuhan menanggulangi masalah itu belum menemukan solusi yang pas, karena persoalan di hulu. Upaya allahyarham bicara dengan para Kepala Daerah yang menjadi kantung-kantung kemiskinan persisten, belum sepenuhnya berhasil. Keraton Kasepuhan sendiri mempunyai keterbatasan mengatasi masalah itu. Padahal, wasiat utama tentang pemerliharan agama (yang tersimbolisasi dengan masjid) dan fakir miskin satu tarikan nafas. Persisnya, wasiat Sunan Gunung Jati adalah,"Ingsun titipna tajug lan fakir miskin."

Berbeda dengan kesultanan di negeri jiran, di Indonesia, Kesultanan tidak memiliki otoritas langsung dalam tata kelola negara dan konstitusi tak mengamanatkan perlakuan khas atas keraton.

Sultan Arief berpulang kembali kepada Allah al Malik karena mengalami sakit. Sosoknya yang semula bugar, belakangan kian kurus. Orang baik yang rendah hati dan tawaddu' ini sangat pantas dan patut dihormati, serta dimuliakan. Terutama karena ia sungguh seorang pemimpin yang punya simpati, empati, apresiasi dan respek kepada siapa saja. Sangat menghargai pendapat dan pemikiran orang lain. Pandai menemukan cara mempertemukan persamaan pandangan, juga mampu menghormati perbedaan. Satu lagi panutan kita pergi ke alam abadi, yang saya yakini husnul khatimah. Semoga Allah ridha atas segala amal ibadahnya. Dan penerus yang disiapkannya, insyaAllah mampu meneruskan ikhtiarnya..

PRA Arief Natadiningrat, memang arif  yang bersahaja dalam kemuliaannya.  | 22.07.20 - Jakarta

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 336
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 332
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya