Sentuhan Puitik Seorang Insinyur Saleh

| dilihat 984

Catatan Bang Sèm

Lilik Muflihun tak hanya sebuah nama. Ia sesosok insan, yang boleh jadi, ketika lahir diharapkan orang tuanya -- dan ketika menjadi kepala keluarga diharapkan isteri, anak dan menantunya --, sungguh sebagai seorang yang muflihun.

Setidaknya, saya mendapatkan esensi nilai muflihun pada berbagai surah di dalam al Qur'an (mulai dari Surah Yunus, Surah al Ahkaf, surah al Qiyamah, surah a'basa, surah al Mursalat, surah al Insyiqaq, surah al Mujadilah, sampai surah al Insaan).

Nilai kualitas manusia yang sungguh sebagai ahsanit taqwim, sesempurna makhluk yang diberikan instrumen lengkap (think, instink, sense, and feel). Puncak muflihun atau keberuntungan manusia adalah menjadi insan kamil.

Tentu tak mudah mencapai kualifikasi sebagai muflihun itu, sama tak mudahnya mengharmonisasi sekaligus menyeimbangkan peran think, instink, sense, and feel dalam realitas kehidupan nyata (realitas) pertama. Selain mesti bergerak dari realitas pertama yang fisikal ke realitas kedua yang metafisikal. Khasnya dalam memahami dan menjalani kehidupan yang berada di antara intuitive reason - real reality - visionary way dalam menjalani hidup sesuai dengan cita-cita: unggul di dunia, unggul di akhirat, dan terbebas dari petaka (duniya hasanah, akhirati hasanah, wa qiina adzab an naar).

Kutipan QS al Mujadilah di awal catatan ringan ini, adalah gambaran umum dari hakikat muflihun, yang untuk mencapainya memerlukan proses panjang berliku. Karenanya, seringkali mereka yang diberi nama Muflihun oleh orang tuanya, tertempa sebagai pribadi dengan karakter yang berani hidup, cerdas, dan bersungguh-sungguh (pembelajar kerjas, pekerja tangkas, menerima hidup secara ikhlas - qana'ah, dan tuntas dalam mengemban amanah ).

Insinyur lulusan teknik sipil Institut Teknologi Bandung (IRB), ini memang pantas beroleh berkah muflihun dalam hidupan, mulai dari seorang dosen yang sungguh dosen (bukan sekadar mengajar atau berstatus dosen) sampai menjadi pengusaha berbasis keilmuannya.

Tentu dengan up and down, sehingga memahami betul realitas yang tersimpan dalam pesan ilahiyah di Surah al Insyirah: di balik kesulitan selalu ada inspirasi, selesaikan suatu pekerjaan dengan tuntas, dan lanjutkan dengan karya baru yang lebih bernilai, sampai kelak sungguh menjadi muflihun.

Lilik beroleh kemauan dan kemampuan untuk menyeimbangkan think, instink, sense, and feel (mungkin juga karena mixed and blended dengan Izza, istrinya, yang berlatar sastra). Hal itu tercermin dari beberapa karya puisinya yang pernah saya baca.

Tentang pergumulannya melakukan proses kerja untuk menekuk tantangan menjadi peluang, termasuk mengenali masalah dan kelemahannya, sehingga memperoleh daya (kekuatan) untuk beroleh nilai muflihun di dunia. Simaklah puisinya bertajuk Menggapai Finish (24.06.20) :

Rasanya tujuan akhir itu sudah terlihat... / Rasanya Tujuan akhir itu sudah terbayang.... Terlihat di Garis Finish sudah menunggu banyak orang... Menunggu dengan wajah cerah dan rasa gembira... // Sudah dua tahun lebih kita menjalani lari Marathon ini... / Kadang bisa lari kencang.... / Karena tenaga sedang kuat-kuatnya... / Kadang kita lari terengah-engah.. / Karena tenaga sudah terkuras habis ... / Daya dan dana lagi dikumpulkan kembali... / Tapi kita ngga boleh berhenti.. / Harus mencapai finish... / Harus mencapai tujuan akhir.. / Tujuan kita bersama... / Rumah Besar kita diusia senja... / Berkumpul bersama yang muda2.... / Yang energi masih segar dan tenaga & dayanya masih perkasa... // Ya Rabb... Engkau yang Maha Mengatur hidup kami dan alam semesta... Mudahkanlah jalan kami untuk mencapai tujuan... / Ringankanlah beban kami untuk menggapai tujuan... / Berkatilah semua yang kami lakukan... / Kerna semua ini tiada lain... / Untuk memohon ridho Mu.. / Bekal yang akan kami bawa kelak bila / menghadap Mu ... / Aamiin ya Rabbal 'alaamiin.. //

Pola tutur, pilihan kosa kata, cara menulis, dan bingkai nalar khas engineer, ini menghadirkan puisi sebagai medium ekspresi nalar dan rasa, seolah cermin dalam terang untuk menempatkan eksistensi diri sebagai manusia yang sedang 'ngelmu tahudiri.'

Puisi di tangan Lilik menjadi ruang kontemplasi, sekaligus sahabat setia yang mau menampung gejolak nalar, naluri, dan rasa, ketika dria (feel) lelah. Di ruang kontemplasi itu, Lilik memanfaatkan puisi untuk melesat ke dunia asa. Seperti terasakan pada puisinya bertajuk Kampung Keabadian (23.12.19) :

Kampung itu bernama akhirat... / Kampung itu tempat kembali kita nanti... / Entah kapan... / Yang jelas kita pasti kembali.. / Pulang ke tempat kita berasal... / Dimana Ruh kita dulu diciptakan... / Sekarang kita ini ada di rantau... / Rantau itu bernama dunia... / Tempat dimana cahayanya terang benderang... / Tapi kadang kisahnya gelap gulita... / Tempat dimana kemajuan Teknologi dipertontonkan.. / Tempat dimana peradaban manusia dikembangkan.. // Dunia hanyalah panggung .. / Dimana kekuasaan Allah hendak ditunjukkan... / Rantau itu hanyalah tempat singgah... / Tempat kita menumpang hidup sementara... / Untuk mengumpulkan bekal... / Untuk kita bawa pulang ... / Ke kampung asli kita... / Entah kapan waktunya... / Bukan kita yang punya kuasa menentukannya... // Ya Allah yaa Tuhan yang Maha Rahim... / Berilah kami kesadaran untuk menyiapkan bekal... / Berilah kami petunjuk.... / Bagaimana cara kami menyiapkan bekal... / Berilah kekuatan agar kita bersegera menyiapkan bekal.. / Biar pulang kami hadapi dengan senyuman... / Dan tidak ada rasa ketakutan... / Tapi karena rasa rindu yang dalam ... / Untuk bertemu dengan Mu... / Selama nya..... //

Kesadaran kontemplatif tentang kampung akhirat ini, mengusik Lilik untuk melihat semesta sebagai ruang kontemplasi, bahkan dia sampai ke tepian jalan (thariqah) untuk memahami dimensi eksistensi manusia dan semesta, bila -- misalnya -- hendak dihadapkan dengan isyarat yang tersimpan dalam Ayat Qursy. Ketika Allah menegaskan wilayah otoritasnya meliputi langit dan bumi (seluruh semesta). Dan dia menyadari, dalam konteks ilmu pengetahuan dan relasinya dengan alam, manusia dengan ilmunya baru tahap mengeja -- ad daarasal awwal.

Simak puisinya bertajuk Mengeja Alam (01.12.18) :

Tuhan..... // Aku tatap langit Mu dari ketinggian sampai ufuk di kakinya... / Aku pandangi lautan luas dari tepi pantai sampai ujung garis terjauhnya.... / Aku lihat gunung2 indah yang menjulang tinggi yang disapu awan putih sebagai hiasannya.... / Aku amati semau gerak gerik orang2 di kota2 untuk menerka apa yang hendak dituju dan / diperjuangkannya... / Kadang aku tonton hiruk pikuk orang2 di TV sambil meraba2 apa / sebenarnya yang mereka perebutkannya.... // Ajarilah aku Tuhan untuk membaca kuasa yang hendak Engkau bentangkan atas manusia ini... / Teteskanlah sedikit ilmu kepada ku untuk sedikit mengetahui hendak kemana drama yang hendak Engkau mainkan untuk / Bangsa kami... // Berilah tanda2 untuk bisa memahami sebenarnya nasib dan taqdir apa yang hendak Engkau tetapkan pada ku..... / Berilah pengetahuan tentang hikmah yang / harus aku pelajari atas semua karuniamu dan atas semua kebuntuan jalanku.... / Ajarilah aku tentang rasa syukur di tengah gelap dan terjal jalan yang kadang harus aku lalui.... // Tuhan yang Mahaluas ilmunya... / Yang Maha Agung kebijaksanaannya... / Yang Mahakasih atas Makhluk2nya... / Yang Maha Mengatur dan menentukan segala nasib dan takdir atas semua manusia dan makhluk2nya... / Yang Maha Pemaaf atas semua kesalahan yang sering dilakukan para Manusia... / Berilah kami jalan keluar.... / Atas jalan buntu yang masih kami hadapi.... / Atas masalah2 yang sudah sekian lama belum selesai untuk kami... / Atas semua kesulitan2 yang kami hadapi.... / Dengan kuasa Mu.... / Semua hanya tinggal seperti membalikkan telapak tangan... / Dengan kasih Mu semua masalah akan sirna seperti debu yang dihembus angin lalu... / Dengan kebijaksanaan Mu semua ini akan menjadi hikmah bagi diriku.... / Dan menjadi caraMu untuk mengangkat Maqom dan derajatku....// Aamiin.... //

Saya suka puisi ini. Puisi yang sekaligus 'surat cinta' seorang hamba kepada khaliq-Nya. Saya sempat membayangkan, bagaimana proses interaksi dia dengan alam, yang mengusik nurani dan rasa di dalam dirinya, lalu bersekutu memantik nalar untuk berfikir. Keluar sejenak dari dria-nya, untuk kemudian melihat realitas pertama kehidupan yang sering menghadapkan manusia dengan katastrop, labirin, dan bahkan kuldesak.

Lantas, mengalami proses 'kapengpeyongan' dengan Allah, sumber segala sumber cinta, dengan menyadari realitas kefanaan. Meski boleh jadi, diam-diam ketika menuliskan puisi ini, saya menduga, pada larik-larik terakhir, nuraninya berbisik: " jadilah debu atas atom-Nya, bukankah di dalam debu itu selalu ada nanopartikel yang kau sangka tiada, tetapi membuat manusia terjengkang tak berdaya... teruslah menjawab tanya: afalaa tatafakkaruun, afalaa ta'qiluun, afalaa tatadabbaruun, afalaa ya'lamuun, afalaa tatakallamuun, afalaa tadzqiruun.. teruslah merunduk.. karena kemuliaan insani, ketika dia menemukan realita: no body and nothing."

Membaca puisi-puisi Lilik, bagi saya adalah membaca dirinya, mesti minus kejenakaannya sehari-hari. Sentuhan puitik seorang insinyur yang saleh atas realitas virtual kehidupan. |

 

Editor : Sem Haesy
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 498
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1581
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1372
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1157
Rumput Tetangga
Selanjutnya