Merindu Sesungguh Ibu Bangsa

| dilihat 619

bang sém

Dalam suatu kesempatan webinar alias seminar virtual yang bicara tentang kondisi obyektif bangsa kiwari, dengan berbagai fakta brutal, saya menggoda pikiran saya adalah kapan lagi kita punya ibu bangsa yang sesungguhnya?

Fakta-fakta brutal, itu antara lain: kekerasan yang menjadi bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari, polarisasi sosial hanya untuk hal-hal tak berarti, eksploitasi isu-isu sumir kehidupan sosial politik yang terbiarkan menjadi bara dendam dan sakit hati, lidah dan jemari yang berubah menjadi sembilu dan belati menorehkan luka lewat media sosial saban hari, lewat produksi hoax dan ujaran kebencian, termasuk kriminalisasi mimpi. Pun, hilangnya etika dan akal budi saat yang disaput beliung friksi dan konflik.

Bangsa ini terkesan sedang bergerak mundur ke dekade 60-an ketika politik menjadi panglima dan perekonomian morat-marit dilanda krisis dan resesi.

Dulu, setidaknya pada dekade 60-an, para pemimpin dan para petinggi masih hidup dalam lingkup budaya demokrasi yang dihidupkan oleh akal budi, sehingga mempunyai cara bertikai yang cerdas dan berbudaya.

Pertikaian politik dan perdebatan sengit berbasis ideologi dan komitmen dengan semangat dedikasi kepada rakyat dan bangsa, terlokalisasi di gedung parlemen (pusat dan daerah). Masing-masing politisi dengan sikap negarawan yang matang, mempunyai seni bertikai yang berkualitas.

Sampai sebelum 1965, akal budi dan etika politik mengalir dalam praktik politik kebangsaan. Hubungan kemanusiaan antara pemimpin politik -- yang berbeda ideologi secara diametral -- tetap terjaga dan terpelihara, lantaran para istri mereka, dan para politisi perempuan, seperti Maria Ulfah, mampu memainkan peran sebagai telangkai.

Kini, tak ada lagi. Para istri politisi dan petinggi, serta para politisi perempuan, hanyut oleh arus besar polarisasi dan bahkan terkesan tidak cukup matang memainkan peran sebagai 'ibu' bangsa.

***

Wajar kalau kemudian muncul pertanyaan: Kapan lagi kita punya ibu bangsa?

Ya ibu bangsa. Kaum perempuan yang sungguh memainkan fungsi utama sebagai ibu cendekia, kreatif - inovatif memainkan peran sosio politik, yang dedikasi dan loyalitasnya kepada bangsa  dan negara (yang sungguh memahami esensi nilai Pancasila dan mempraktikannya dalam kehidupan nyata), dan sungguh bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur dalam perlindungan Tuhan Mahakuasa. Bukan ibu bangsa yang ikut hanyut dan terjebak dalam fantacy trap.

Ibu bangsa yang berada di garda depan dalam mencegah berbagai aksi pragmatis politik -- di dalam atau di luar partai politik -- yang cenderung riskan dan mudah terpanggang bara perpecahan dan konflik.

Ibu bangsa yang berada di garda depan dalam mencegah aksi dan tindakan kriminal dan jahat - extra ordinary crime - mulai dari suap menyuap, sampai merampok uang rakyat (belanja negara) yang memicu ketimpangan sosial dan ekonomi.

Ibu bangsa yang berada di garda depan memperkuat benteng keluarga yang tangguh dalam mencegah penyakit sosial (penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, dan gaya hidup bebas nilai) yang menggerogoti ketahanan bangsa.

Ibu bangsa yang berada di garda depan melindungi dirinya dan keluarganya dari ghibah (rumors recehan), buhtan (hoax), dan fithan (fitnah yang membunuh karakter manusia), dan menjadi pendidik pertama - utama bagi anak-anaknya.

Ibu bangsa yang memainkan peran strategis sebagai salsabil (mata air) sekaligus telaga yang menyediakan kecerdasan dan kearifan secara berkesimbangan.

Ibu bangsa yang tak sibuk hanya mengurusi dirinya saja, karena pada dirinya, bersama-sama dengan para ayah, amat bertanggungjawab menempa diri anak-anak mereka sebagai kader-kader pemimpin bangsa di hari esok, yang sungguh berbudaya. Kader-kader pemimpin bangsa yang teguh memegang amanah dan dapat dipercaya, kukuh menegakkan kebenaran dan keadilan. Kader-kader pemimpin bangsa yang paham bagaimana menemukan, memiliki dan mampu mengelola cara mengelola diri, keluarga, masyarakat, negara dan bangsanya. Menjadi solusi atas berbagai masalah bangsa. Bukan produsen alasan untuk berkelit dari masalah dan menjadi bagian dari masalah.

Sejarah perjalanan kebangsaan Indonesia menunjukkan, ibu yang berkualitas dan sungguh menjadi panutan, merupakan ibu bangsa sejati. Ketika ibu pertiwi sedang bersusah hati, kita perlu ibu sejati yang mampu memainkan peran sebagai ibu bangsa. Khasnya, dalam mengalirkan kembali kesadaran kolektif mewujudkan demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan.

Setiap ibu cendekia dan semua ibu terdidik, punya potensi dan talenta insaniah menjadi ibu bangsa. Kita rindu ibu bangsa sesungguhnya !   

Editor : Web Administrator
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 102
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 517
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 446
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya