Ade Cahyadi Setyawan
Beberapa tahun lalu, ramai fenomena ojek online di Indonesia. Antrean driver yang akan mendaftar pada aplikasi tersebut mengular. Mayoritas anak usia produktif, bahkan banyak juga yang jenjang sarjana.
Driver Ojol disebut sebagai mitra, padahal sejatinya ya seperti pekerja. Dibilang sharing ekonomi, tetapi tidak ada demokrasi pancasila di sana. Kekuatan utama bukan pada modal, tetapi pengembang aplikasi. Justru risiko dan modal ada pada driver ojek online.
Tidak adanya perluasan kesempatan kerja, dimana akhirnya banyak sarjana dan usia produktif ke 'jalan raya'. Padahal pekerjaan driver ini tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, yang dibutuhkan hanya skill. Dimana diisi pada lulusan pendidikan bawahnya juga bisa. Bahkan lulusan pendidikan sekolah dasar. Walaupun ada motivasi lain dari driver, seperti kebebasan waktu, pendapatan tinggi, dll.
Bukan menyudutkan level pendidikan, tetapi justru sebagai bahan renungan apakah visi pendidikan sudah sejalan arah pembangunan bangsa? Seharusnya lapangan pekerjaan mana yang dapat diisi oleh softskill saja dan mana yang harus diisi pendidikan tinggi. Misalnya ketika pendidikan vokasi digenjot, justru pada kelompok lulusan sarjana banyak menganggur. Ini problem.
Belum lama ini, Menteri Pendidikan di Indonesia diisi oleh seorang millenial. Menteri yang juga punya aplikasi Ojol. Akan sangat paradoks jika Menteri yang juga membawahi Pendidikan Tinggi berbicara mengenai lulusan perguruan tinggi, tetapi lulusannya ramai-ramai mendaftar sebagai driver ojek online.
Seharusnya Menteri tersebut cocoknya lebih pada Badan Pengembangan Talenta. Atau cocoknya pada Badan Ekonomi Kreatif, dimana didalamnya ada fungsi mengembangkan aplikasi di Indonesia.
Menteri Pendidikan Ideal
Akan sangat lucu ketika berbicara organisasi guru penggerak. Karena banyak guru dan pengajar di negeri ini yang rela bergerak walaupun honornya hanya 150.000/bulan. Gap yang sangat jauh ini harus ditambal pemerintah.
Belum lama ini, dua ormas Islam di Indonesia mundur dalam program guru penggerak tersebut. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua ormas tersebut telah membuat banyak tempat pendidikan. Pertama, Muhammadiyah membangun banyak sekolah modern. Kedua, Nahdlatul Ulama berbasis Pondok Pesantren.
Namun, memasuki tahun 1990an keduanya mulai mengintegrasikan pendidikan sekolah modern dan agama. Muhammadiyah mulai banyak membangun sekolah plus boarding. Nahdlatul Ulama mengintegrasikan pendidikan Pondok Pesantren dan sekolah.
Dua ormas tersebut telah membuktikan kepada NKRI, khususnya pada bidang pendidikan dan keagamaan. Jadi seharusnya menjadi lumrah jika Menteri Pendidikan diisi oleh kader Muhammadiyah. Menteri Agama RI diisi oleh kader Nahdlatul Ulama.
Tidak perlu memaksakan millenial tetapi yang terpenting menentramkan. Seharusnya Menteri Pendidikan diisi seorang Profesor sebagai bentuk penghargaan pada proses pendidikan itu sendiri. |
Penulis pengurus Lesbumi Depok