Klientelisma di Balik Kanda Yunda

| dilihat 913

Farhan

Klientelisma atau patronase memang bukan fenomena sosial yang baru dan agaknya telah berakar kuat dalam struktur budaya di negara-negara berkembang. Tanpa kecuali di Indonesia.

Sejak fase awal dan pertengahan abad ke 20, para tokoh kebangsaan Indonesia, seperti Haji Omar Said Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, A. M Sangaji, Haji Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Haji Ahmad Dahlan, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Moh Natsir, telah melakukan perubahan minda dalam konteks hubungan sosial antar individu khalayak,

Mereka lebih mengedepankan kesetaraan dalam hubungan individu dan sosial, antara lain dengan menggunakan sapaan "Bung" untuk laki-laki dan "Sus" (juga "Saudara" ) untuk perempuan yang lebih egaliter, kosmopolit, dan demokratis. Dalam hubungan formal berlaku sapaan "Tuan" dan "Puan" seperti dilakukan secara konsisten oleh Sutan Takdir Alisjahbana, yang biasa dan berlaku di lingkungan masyarakat Melayu.

Selepas dekade 60-an, sapaan itu perlahan berubah, menjadi "Bang" dan "Kak." Juga, "Mas" dan "Mbak," "Kang" dan "Ceu" sesuai dengan bilangan pengguna bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda untuk menunjukkan kekariban tertentu dalam komunikasi interpersonal dan sosial.

Di kalangan kaum muda,  sapaan "Lu" dan "Gue" yang biasa berlaku dalam komunikasi masyarakat Betawi yang dipengaruhi oleh masyarakat keturunan / peranakan Tionghoa merambah lintas etnik dan strata sosial. Sapaan ini populer dan menjadi bagian inheren siaran radio yang marak kala itu. Antara lain, karena terjadi transisi dari teknologi tabung ke teknologi transistor.  Tercatat Radio Prambors yang mengawali dan mempopulerkan - secara diseminatif.

Belakangan klientelisma sosial dalam relasi antara aktivis dan mantan aktivis (yang menjadi petinggi negara dan punya kuasa kendali ekonomi) tersimpan di balik sapaan 'Kanda' dan 'Yunda.'  Idiom sapaan ini berkali-kali diucapkan seorang petinggi negara yang secara konotatif, terkesan melemahkan daya kritis khalayak untuk berpartisipasi kritis terhadap kebijakan negara dan pemerintah.

Jelang pemilihan presiden dan pemilihan umum 2024, kalangan oligarki berterang-terang menyatakan kuasanya dan masuk dalam skena sekaligus platform kompetisi untuk memenangkan salah satu pasangan calon yang menampakkan citra kolusi dan nepotism dan rentan dengan kejahatan korupsi, sebagai bagian dari klientelisma. Termasuk relasi 'Kanda - Yunda' di balik pengelompokan pendukung para kontestan.

Aliansi Diadik

Pola relasi kuasa patron client relationship dan traditional authority relationship di lingkungan masyarakat rural dan sub urban, menjadi kebiasaan berulang di lingkungan petinggi masyarakat urban. Hubungan demikian berlangsung, lantaran relasi 'Kanda-Yunda' tersebar di kalangan masyarakat termiskin dan kelas menengah (di pedesaan maupun di perkotaan), dan di tengah-tengah perebutan kekuasaan antar petinggi penguasa.

Hubungan demikian dan aliansi diadik horisontal terdapat dalam birokrasi, anggota parlemen dan partai politik. Pun terasa pula dalam mesin politik perkotaan dan pedesaan. Meliputi seluruh segmen dan strata sosial.

Dalam pemikiran sosial, klientelisma menjadi semacam hubungan sosial, di mana individu yang lebih beruntung (patron) mendistribusikan barang dan jasa demi mencapai kesetiaan individu yang kurang beruntung (klien).

Di tengah ketidak-mampuan mengelola Reformasi (1998 sampai kini) klientelisma kian meruyak dengan derasnya spirit kapitalisme global yang digerakkan oleh George Soros dengan gagasan dan program pilantrofi politik. Khasnya kala pragmatisme politik dan politik transaksional dianggap sebagai kewajaran.

Bila pada masa kepemimpinan Soeharto klientalisma memberi peluang kepada para konglomerat sebagai patron, dengan posisi dan kuasa ekonomi. Model demikian terus belangsung, dan mencuat saat menjelang pemilihan Presiden/Kepala Negara dipilih secara langsung oleh rakyat (2004).

Pada masa itu, Nurchalis Madjid melontar fakta berlangsungnya pragmatisme politik dan politik transaksional (disebut dengan istilah money politic) yang didukung kuat oleh patron baru yang lebih 'kuat' dan disebut sebagai oligarki.

Konglomerasi naik posisi menjadi oligarki dan leluasa menunjukkan relasi kuasanya yang kian kuat dalam skena oligarki.. Hal tersebut sangat terasa pada Pemilu/Pilpres 2014. Politik transaksional pada momen Pilpres/Pemilu membuka ruang transaksi patron dengan klien lebih kasad mata. Termasuk di dalamnya, relasi 'Kanda-Yunda.'

Selalu Ada 'Kanda Yunda'

Oligarki akan terus bermain dengan kuasa sumberdaya material dan penguasa dengan kuasa kebijakan negara dan pemerintahan (tanpa kecuali kebijakan tentang sumber daya alam dan sumber daya ekonomi).  Klientelisma yang dihidupkan kembali segera nampak merusak demokrasi. Kondisi ini menurut Setyo (2024), merupakan 'kemunduran demokrasi' dan 'naiknya neo-feodalisma.

Menukil analisis Moises Naim (dalam The Revenge of Power) yang menawarkan 3 P (Polarization, Populism, dan Post Truth) sebagai basis analisis. Demokrasi kebangsaan dan kerakyatan yang mulai bertumbuh pada masa pergerakan perjuangan kebangsaan mencapai kemerdekaan (1911 - 1945) dan masa awal kemerdekaan (1945 - 1965) terus terseret ke dalam fantasia demokrasi.  

Ajang demokrasi populis (Pemilihan Presiden, Pemilihan anggota parlemen, Pemilihan Kepala Daerah,  bahkan Pemilihan Kepala Desa) menjadi ajang 'balas dendam kekuasaan.' Sekali dalam lima tahun transaksi politik antara patron dengan klien berlangsung. Antara lain dalam bentuk money politik maupun barang, seperti bansos (bantuan sosial).

Selepas peristiwa demokrasi yang dikemas dengan bungkusan konstitusi dan perundang-undangan, posisi tawar rakyat terus dilemahkan, karena mereka telah 'menjual daulat' dengan harga yang sangat murah. Penguasa dan anggota parlemen yang terpilih, lebih mendahulukan kepentingan oligark sebagai patron. Rakyat kembali menderita dengan kepungan pajak - cukai, pinjaman on line (pinjol), judi on line (judol), kenaikan berbagai bahan pokok, dan lain-lain.

Patron dapat mengontrol kekuasaan atas negara dan sumber daya produktif. Di negara-negara berkembang, menguat realitas, hanya politisi dan partai yang memberikan barang yang dapat bertahan di medan politik. Oligark dan penguasa tak lagi sungkan menunjukan eksistensinya sebagai patron dengan sumberdaya material yang 'besar.'

Untuk melanggengkan kekuasaan, rakyat sebagai klien terus menerus disibukkan oleh berbagai friksi sosial, termasuk dalam praktik spiritual dan religi untuk mendapatkan situasi polarisasi yang berkepanjangan. Situasi ini dianggap biasa-biasa saja. Bahkan, 'Kanda - Yunda' sebagai petinggi, menjadi bagian pemicu isu-isu kontroversial. Khasnya yang berhubungan langsung dengan 'Adinda,' seperti UKT (uang kuliah tunggal), biaya Wisuda, dan lain-lain.

Dusta politik dipelihara menjadi bagian integral dari kegamangan, ketidak-pastian, keribetan, dan kemenduaan sebagai sesuatu yang dilazimkan oleh watak zaman edan (yang diisyaratkan dalam Jangka Jayabaya dan Kalatida Ronggowarsito). Hal semacam ini biasa dilakukan, agar rakyat lupa dengan dosa sejarah pelanggaran etika bernegara. Terekspresikan, antara lain dalam bentuk reduksi konstitusi untuk kepentingan nepotisma, penafsiran subyektif atas peraturan yang tersirat dalam undang-undang, raswah, korupsi, bahkan kejahatan asusila oleh petinggi negara dan pemerintahan. 'Kanda-Yunda' ikut pula menjadi bagian dalam situasi ini.

Setarikan nafas, dilakukan manipulasi atas relasi kehidupan sosial dalam komunitas (tanpa terkecuali partai politik) dengan seruan-seruan tentang soliditas, solidaritas, stabilitas politik, dan lain-lain. termasuk memelihara penggaung (buzzer) yang berbalur puja puji pembenaran atas semua tindakan perilaku penguasa dan oligark. Lagi, 'Kanda Yunda' ikut di dalamnya.

Mereka juga dipelihara sekaligus penyerang dan pembungkam suara-suara kritis dari kalangan masyarakat warga. Tindakan ini dipandang efektif untuk membegal demokrasi dan menyibukkan rakyat dengan friksi tentang apa saja. Saat bersamaan para petinggi dan politisi (termasuk 'Kanda Yunda') melanjutkan retorika politis pengemas dusta.  Klientelisma terus dipelihara entah sampai bila, dan 'Kanda Yunda' generasi berikutnya menjadi bagian dari pemeliharanya. |

Editor : delanova
 
Ekonomi & Bisnis
27 Okt 24, 17:53 WIB | Dilihat : 665
Pencapaian Industri Halal Malaysia
12 Okt 24, 12:51 WIB | Dilihat : 1015
Dialog dengan Karyawan di Penghujung Operasi Perusahaan
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 1934
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 2126
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
Selanjutnya
Sporta