Ketika Ludah Muncrat ke Wajah Ali

| dilihat 956

Bang Sém

Ini sepenggal kisah di masa lalu, di tahun ke 5 hijriah atau sekira tahun 527 Masehi. Seorang pemuda -- yang kemudian kita kenal dengan Sayyidina Ali Karamahu Wajhah -- mesti duel berperang dengan 'jawara Quraisy,' bernama Amr bin Abd Wad al-Amri.

Di mata Amr, Ali adalah sosok pemuda biasa, pemuda amah. Amr melecehkannya. Tak berbanding dengan Amr yang bergelar dan berpengalaman sebagai seorang 'jawara tangguh.' Amr memandang sinis, mengecilkan dan menganggap remeh Ali. Dia berpikir, tak perlu waktu lama untuk menghabisi Ali.

Ali menghadapinya dengan tenang. Serangan psikis yang dilontarkan Amr dihadapi biasa-biasa saja. Tapi, dia siap dan selalu siaga menghadapi Amr.

Pertarungan terjadi dalam situasi perang, yang siapa saja boleh saling menghabisi, saling membunuh satu dengan lain.

Ali menebas kaki Amr, sehingga 'jawara Quraisy,' itu roboh. Mata pedang Ali sudah di leher Amr, hanya tinggal tekan saja, selesai riwayat Amr.

Ali memandang wajah Amr. Seketika, Amr meludah ke wajah Ali. Semua yang menyaksikan, membayangkan, Ali akan segera menebaskan mata pedangnya yang hanya beberapa sentimeter saja di leher Amr.

Ali tidak melakukannya. Ia menyarungkan pedang yang sudah terhunus ke sarungnya. Khalayak yang menyaksikan -- bahkan Amr sendiri -- terkejut. Ali mengusap sebagian wajahnya yang terkena ludah Amr.

Mengapa?

"Aku merasa terhina dan marah diludahi oleh dia. Kutarik pedangku, karena aku kuatir, menebas lehernya karena kebencian dan marah," ungkap Ali.

Peristiwa itu terjadi ketika duel satu lawan satu masih menjadi bagian dari teknik perang, sehingga siapa saja yang duel mesti menguasai kiat dan siasat untuk mengalahkan lawan. Tapi, Ali yang merupakan sosok pemuda pertama yang mengimani keberadaan Muhammad sebagai Rasulullah, tak hanya berpegang pada teknik dan tehnik perang. Dia berpegang teguh pada nilai yang tersimpan dalam niat.

Pada masa itu berperang melawan kafir Quraisy bukan soal menang dan kalah, melainkan mempertahankan diri untuk motivasi (niat) lebih besar, yakni syiar Islam yang mengajarkan keadilan, peradaban, dan kemanusiaan. Ada akhlak sebagai bagian dari kultur baru yang diubah Rasulullah Muhammad SAW. Kultur hasanah, berinti kebajikan.

Ali pantang memanfaatkan momentum kemenangannya, hanya karena amarah dan rasa terhina oleh Amr ke wajahnya. Padahal, di wajah -- pada peradaban masa itu -- kehormatan, kebanggan, dan kemuliaan -- antara lain -- diletakkan.

Ali mengabaikan hal itu. Karena akhlak dan niat berkebajikan, jauh lebih penting dari segalanya. Inilah jalan ksatria. Jalan para lelaki sejati.

Sikap dan perangai Ali mencerminkan sikap Islam, yang memberi pelajaran dan pendidikan sangat penting tentang sikap tawaddu,' pakaian para ksatria.

Para ksatria selalu memilih jalan ksatria, jalan utama yang penting bagi jiwa-jiwa yang berada di dalam diri setiap manusia yang sadar, bahwa dalam hidup yang utama bukanlah menang dan 'menang.'  Karena yang utama adalah mencapai keabadian melalui gerbang di ujung jalan yang disebut husnul khatimah.

Sikap dan jiwa Ali yang sangat mulia itu, merupakan pintu muhasabah bagi siapa saja untuk melakukan introspeksi, sehingga selalu ingat dan siaga dalam menjalani hidup. Introspeksi untuk memahami berbagai hal, termasuk tentang kausalitas. Antara lain, perlakuan apapun yang kita terima dari orang lain, lebih disebabkan karena kelakuan kita sendiri.

Jangan pernah merendahkan dan melukai siapapun, bila tak ingin merasa terhina dan terluka. Yakinlah, sikap kita kepada orang lain, seperti boomerang, yang tulahnya akan kembali kepada kita. Baik sikap kita kepada orang lain, kebaikan dan kemuliaan juga yang akan datang kepada kita.

Sebaliknya, buruk sikap kita kepada orang lain, keburukan dan nista juga yang akan datang kepada kita. Jangan mengusik kehidupan siapapun, bila kita tak menghendaki ada yang tiba-tiba mengusik kita. Dalam filosofi Jawa, hal ini disebut ngunduh.

Realitas ini terkait dengan prinsip ajining dhiri saka lathi lan budi, yakni:  nilai diri pribadi seseorang tergantung ucapan dan perilaku (akhlak)-nya. Relevan dengan ajaran: titikane aluhur, alusing solah tingkah budi bahasane lan  legawaning ati, darbe sipat berbudi bawaleksana.  (Ciri khas orang mulia adalah perbuatan dan sikap batinnya halus, tutur katanya santun, lapang dada, dan mempunyai sikap wibawa, karena luhur budi pekertinya).

Atribut dunia - tahta, harta, gelar, dan segala simbol yang menyertainya - boleh jadi penting bagi sebagian orang yang masih belum selesai dengan persoalan dirinya. Tapi, bukan sesuatu yang penting bagi mereka yang sudah selesai dengan dirinya.

Sebagian orang memburu cangkang yang oleh sebagian orang lainnya sudah tak penting lagi, karena meyakini: isi jauh bermakna dari cangkang. Setiap kita punya pilihan, dan perilaku kita kepada siapapun, akan menentukan bagai perlakuan akan kita terima. Di situ berlaku keadilan Tuhan.

Di persimpangan zaman yang sungsang kini, ketika kebingungan dan penyimpangan mental, moral, intelektual, budaya, dan spiritual yang membenamkan kita ke dalam jebakan fantasi (fantacy trap) duniawiah, jalan ksatria adalah pilihan yang baik.

Tak hanya karena jalan ksatria memfasilitasi kita untuk sampai kepada hakikat sebagai insan mulia. Juga, karena jalan ksatria yang dicontoh-teladankan oleh Rasulullah Muhammad SAW, para sahabat, ulama, cendekiawan dan pemimpin di masa lalu dan hari kemarin merupakan jalan keselamatan.

Jalan ksatria, menyediakan kita berbagai nilai kebaikan dan kebajikan yang selalu relevan dengan kehidupan kita, kapan saja. Kita dapat memperolehnya dengan mudah. Bergantung bagaimana kita berfikir, bersikap dan bertindak.

Nilai-nilai itu, antara lain bagaimana kita mensyukuri nikmat yang diberikan Allah, qana'ah - menerima realitas hidup yang telah digariskan dan ditetapkan Allah.

Rasulullah Muhammad saw mengajarkan kepada Sayyidina Ali karamahu wajhah: "Wahai Ali, jika engkau bisa qana'ah, maka engkau setara dengan para raja dan penguasa di dunia ini. Wahai Ali, sesungguhnya qana'ah adalah kekayaan yang tidak pernah habis dan kerajaan yang takkan pernah musnah. Wahai Ali, jika engkau menginginkan kemuliaan dunia dan akhirat, maka putuskanlah semua keinginanmu terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia. Sesungguhnya derajat tertinggi yang telah dicapai para nabi dan rasul adalah karena mereka telah memutuskan harapannya terhadap apa-apa yang ada ditangan manusia. |

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1180
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 516
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1602
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1390
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya