Tungkeq

| dilihat 2078

BILUNG dan Jayeng Tinon menikmati santapan Kedai Gambuh olahan Mban Pedagangan. Baju mereka yang basah karena kehujanan membuat mereka merasa dingin dan lahap menyantap sroto. Suasana itu pula yang membuat para kawula menyantap hidangan yang tersaji dengan nikmat.

Tinon melanjutkan percakapan mereka tentang budi. Khasnya budi pekerti atau moralitas dalam kehidupan sosial. Dikatakannya, dalam kehidupan sehari-hari, harga manusia tergantung pada bagaimana kualitas budinya. Pikirannya menerawang jauh ke kampung halamannya. Dia teringat ayahnya, Jayeng Rana yang biasa disebut Wong Menak. Tokoh yang amat disegani karena kearifan dan kebajikannya.

Jayeng Rana dikenal bijaksana, karena selalu mengolah hatinya yang jernih. Ke mana saja ayahnya pergi, selalu ditemani oleh Maktal, yang selalu berfikiran positif dan tak henti memberikan pertimbangan benar atau salah tindakannya. Jayeng Rana juga selalu ditemani Umar Maya, seorang cendekia yang berakal, namun harus selalu dikendalikan. Tindakannya bisa berdampak baik atau sebaliknya, berdampak buruk bagi masyarakat luas.

Tinon juga bercerita tentang saudaranya yang kembar, Taptanus dan Saptanus, yang selalu melaksanakan apa yang diperintahkan ayahnya, Jayeng Rana. Saudaranya yang lain adalah Amar Madi yang selalu bernafsu dalam menjalani kehidupan, sehingga sering ambisius dan sulit dikontrol. Meski sudah ada Alam Daur, yang selalu mentransformasi pola hidup sehat, Amar Mandi sering bandel juga melenceng ke mana-mana.

Dari pengalaman di lingkungan keluarganya, Jayeng Tinon, selalu berfikir, mereka yang tak mempunyai kekuatan budi, cenderung mudah dipengaruhi oleh Nusirwan dan Patih Baktak yang licik, jahat, dan senang bergaduh. Keduanya, sering menghasut siapa saja untuk melawan pemimpin yang sah dan pemangku pemerintahan.

“Wah, kalau yang semacam itu, di desa Indrajaya ini juga banyak sekali,” tukas Bilung. Pertentangan antar warga, antar desa, antar kalangan, bermula dari gerakan aksi hasad dan hasud.

Lereus.. di mana wae ge aya jelma nu hasad jeung hasud,” cletuk Kabayan. Maksudnya, di mana saja selalu ada manusia yang hasad dan gemar sekali bersikap hasud. Orang-orang semacam ini tak boleh karib dengan pengemban amanah dalam pemerintahan desa, cetus Pahit Lidah. Dawala pun sepakat dengan pandangan itu.

Bilung tiba-tiba teringat dengan nasihat Cangik kepada Limbuk, suatu senja. “Yen wong mangkono iku, nora pantes cedhak lan wong agung, nora wurung anuntun panggawe juti, nanging ana pantesipun, wong mangkono didhedheplok,” nasihat Cangik, seperti ditirukan Bilung. Artinya, orang semacam itu tak pantas berada di lingkungan terdekat para pemimpin yang mengemban amanat kawula. Orang-orang semacam, itu selalu cenderung mendorong perbuatan jahat. Mereka itu pantas ditumbuk.

Dawala, Kabayan, Pahit Lidah, dan Jayeng Tinon tertawa ngakak, ketika Bilung menyebut, “wong mangkono didhedheplok,” alias pantas dijotos. Siapa mereka? Yakni, orang-orang yang merasa terlalu banyak tahu, tapi tak terlalu banyak bisa merasa.

Karena itu, katanya, kaum muda harus selalu dinasihati menjaga budi dan pekerti mereka. Supaya tidak merasa tahu banyak. Belum melihat dengan mata kepala sendiri, sudah membicarakannya ke mana-mana. Bahkan hanya dengan mendengar dari orang lain, seolah-olah sudah mengetahuinya sendiri. Mereka sangka, dengan begitu akan banyak yang menyanjung, padahal yang mengetahui hal sebenarnya akan melengos kepada mereka.

Bilung mengulang apa yang dia simak dari nasihat Cangik tentang sikap seperti itu: Aja kakehan sanggup, durung weruh tuture agupruk, tutur nempil panganggepe wruh pribadi, pangrasane keh kang nggunggung, kang wis weruh amalengos. Istilah lain dari sikap ini, disebut Bilung, ‘tambuh laku’ alias songong.

“Sebut saja, sok tahu,” tukas Pahit Lidah, ketus ! “Boleh juga disebut belagak,” tambahnya.

Gagah-gagah percek,” sambut Tinon menggunakan istilah Sasak. 

Gagah laksana korek api, hanya menampilkan pesona atau penampilan, suka jual (gagah bagai korek api) : yang penting penampilan, suka jual tampang, padahal dirinya serba tak bisa.


Manusia-manusia semacam itu, konon banyak yang kini menjadi wakil kawula, politisi, aktivis, dan bahkan tokoh kaum. Akibatnya, kegaduhan kerap terjadi dan membawa mudharat bagi kawula seluruhnya... Itulah sebabnya, seringkali koalisi politik hanya diwarnai oleh sikap tungkeq batur lemun wah besuh, tak pandai berbalas budi atas kebaikan yang telah diterima.. |

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 822
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1088
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1341
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1481
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya