Semut

| dilihat 1985

ABU NUWAS masih betah di kampungnya Kabayan. Keduanya menghabiskan malam di bale-bale yang terletak di sudut beranda rumah Kabayan. Lampu colen menerangi perbincangan keduanya.

Sejak mendengar kabar tarip listrik akan naik di awal tahun ini, Iteung – isteri Kabayan melakukan aksi hemat listrik. Hanya listrik di ruang keluarga, kamar tamu dan kamar tidur utama saja yang menyala. Selebihnya, dia padamkan.

Bola lampu di beranda, juga dia copot, lalu menggantinya dengan lampu colen.

Iteung menghampiri bale-bale sambil membawa dua gelas kopi, lalu meletakkannya di atas bale-bale antara tempat Kabayan dan Abu Nuwas duduk. Sesudah mempersilakan Abu Nuwas meminum kopi yang disiapkannya, Iteung kembali masuk rumah.

Beberapa ekor semut jalan beriringan menghampiri cangkir berisi kopi manis, itu. Kabayan memperhatikannya dengan seksama. Abu  Nuwas akhirnya ikut memperhatikan. Tiba-tiba telunjuk Kabayan menindas semut, sahingga lima semut yang sedang beriringan, mati sekaligus.

Sambil melihat telunjuknya, Kabayan nyeletuk. “Bukan hanya sekali tepuk tiga nyawa melayang. Sekali tindas, lima nyawa melayang,” ujarnya sambil terkekeh.

Abu Nuwas spontan istighfar. Dia kaget melihat Kabayan begitu gembira menindas semut sehingga mati.

“Kenapa Wan Abu istighfar?” tanya Kabayan.

Abu Nuwas menarik nafas dan tak menjawabnya. Ia mengalihkan pandangan ke halaman rumah yang ditanami pohon singkong, seolah mengacuhkan pertanyaan Kabayan.

“Wan Abu belum jawab pertanyaan saya..,” sergah Kabayan. Abu Nuwas memandang tajam ke wajah Kabayan.

“Janganlah menindas, apalagi mematikan semut seperti itu. Kamu tidak punya wewenang menindas dan mematikan sesama makhluk Tuhan, Kabayan..,” ujar Abu Nuwas.

Kabayan terperangah. Seumur hidupnya, baru kali ini, dia ditegur karena menindas dan mematikan semut.

“Kabayan, tanpa Anda tindas pun, semut akan mati dengan sendirinya di genangan air kopi bergula yang tertumpah di atas pisin,” ujar Abu Nuwas.

Kabayan malu hati. Apalagi, ketika Abu Nuwas mengatakan, “Salah satu tugas manusia adalah mengendalikan nalurinya menindas, apalagi mematikan makhluk lain.  Tanpa kecuali, semut..”

“Sebagai manusia yang diberikan nalar, naluri, perasaan, dan indria, semestinya kita menghindari tindakan semacam itu.  Kecuali untuk membela diri,” lanjut Abu Nuwas.

Kabayan memandang wajah Abu Nuwas. Dari seluruh ucapan Abu Nuwas, yang sangat menarik perhatiannya, justru pernyataan, “Semut akan mati dengan sendirinya di genangan air kopi bergula yang tertumpah di atas pisin.”

Sambil memandang jenggota Abu Nuwas yang memutih, Kabayan mencoba menegaskan ulang pernyataan yang mengusik pikirannya itu. Abu Nuwas merapikan sorbannya.

“Kabayan,.. semut secara naluriah bergerak ke tempat di mana gula atau cairan bergula berada,” ungkap Abu Nuwas.

Pikiran Kabayan segera berkelana, mengingat pepatah, “Ada gula ada semut.” Dalam pikirannya, Kabayan teringat apa yang pernah di lakukan, meletakkan brotowali – yang pahit itu -- dekat kerumunan semut. Ternyata, semut menghindarinya.

“Semut selalu bergerak ke tempat-tempat bergula, yang manis-manis, kemudian mati di sana,”ujar Abu Nuwas.

“Bagaimana dengan manusia yang cenderung bersifat seperti semut?” tanya Kabayan.

“Itulah..., jangan pernah heran menyaksikan betapa banyak orang berbondong-bondong ke pusat-pusat kuasa, karena mereka merasa di sana ada ‘gula.’ Ada sesuatu yang mereka pikir enak.  Padahal, justru di tempat-tempat itu mereka akan mati. Termasuk mati akal,” ujarnya Abu Nuwas.

“Ah.. Wan Abu terlalu mengecilkan kecerdikan semut. Bukankah semut merupakan lambang produktivitas?” tanya Kabayan.

“Memang sering orang mengamsalkan, Semut seolah-olah sebagai lambang produktivitas dan gotong royong. Kelihatannya begitu, karena mata kita melihatnya seperti itu. Padahal, tidak demikian. Semut adalah lambang kerjasama yang tidak efektif dan tidak pula efisien, tidak mankus dan sangkil,” jelas Abu Nuwas.

“Koq bisa,” tanya Kabayan spontan.

“Coba Anda perhatikan dengan cermat, Kabayan. Semut cenderung bekerjasama untuk memindahkan suatu benda, termasuk makanan, dari satu tempat ke tempat lain. Begitulah seterusnya,” jelas Abu Nuwas.

Kabayan tertegun. Abu Nuwas terus menjelaskan, bila kita sering mempelajari watak semut, kita akan dapat menyaksikan suatu amsal atas realitas hidup dan kehidupan umat manusia.

“Terlalu banyak manusia yang merasa sudah bekerjasama dengan baik, padahal yang dilakukannya hanya sekadar bekerja bersama-sama, bukan bekerjasama,”ujar Abu Nuwas. “Karena itu, itu semut nyaris tak pernah menyadari, mereka sama-sama kerja memburu gula atau sesuatu yang terasa manis. Lalu masing-masing memboyong gula atau sesuatu yang terasa manis itu bersama-sama, dan kemudian mereka mati bersama-sama.”

“Ooo.. jadi kerumunan semut bergerak ke sana dan kemari hanya untuk memburu gula?” tanya Kabayan.

Abu Nuwas mengangguk.

“Ya.. dan ketika suatu kelompok mati di gudang gula, kelompok lain membiarkannya,” ujar Abu Nuwas.

Kendati demikian, menurut Abu Nuwas, ada satu hal yang perlu dicontoh dari semut. “Meski kecil, ketika Anda injak atau Anda tindas, meski akhirnya akan mati juga, semut berusaha melakukan perlawanan. Apalagi semut Marabunta, yang selalu melakukan perlawanan, meski yang menginjaknya seekor gajah,” ujar Abu Nuwas.

“Mau Anda menjadi semut Marabunta?” tanya Abu Nuwas?

Kabayan menggeleng. “Saya mah, mau jadi gajah wae lah...,” cetusnya.

Hujan rinai turun. Angin menghembuskannya, sehingga percik halus airnya terbawa dan terasa ke wajah keduanya. Kabayan mengajak Abu Nuwas masuk ke dalam rumah.

“Sudah saatnya kita salat tahajjud dan witir, Wan Abu..,”ujar Kabayan. Abu Nuwas senang mendengar ucapan sahabatnya itu.. |

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 276
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 139
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya