Mendahulukan Alasan Daripada Cara

| dilihat 2545

SUATU malam, ketika tengah nikmat wirid duapertiga malam selepas tahajjud, Abu Nuwas tersentak. Telunjuk isterinya mencolek punggung kirinya. Abu Nuwas menoleh.

“Ada apa isteriku?”

“Maaf, kanda. Aku terbangun oleh mimpi tak patut. Kemarin, mimpi yang sama juga aku alami.”

“Coba ceritakan mimpimu”

“Begini, kanda. Aku bermimpi sedang berada di Istana dan menyaksikan pemandangan tak elok.”

“Apa itu?”

“Aku melihat khalifah dan sejumlah menterinya, sibuk menggaruk-garuk telapak terompah mereka. Beberapa menteri lain, menggaruk-garuk sorban mereka.”

Lantas sang isteri bercerita, ketika dia bertanya mengapa khalifah melakukan hal itu, jawabannya relatif sama. Khalifah dan para menteri yang menggaruk-garuk telapak terompah mengatakan, telapak kaki mereka gatal. Menteri yang menggaruk-garuk sorbannya, mengaku kepala mereka gatal.

“Aku bertanya kepada mereka, hilangkah semua yang gatal itu? Semuanya menggeleng.”

Sang isteri melanjutkan cerita. Begitu keluar dari istana, ia menyaksikan banyak sekali rakyat duduk di bawah pohon kurma dekat wadi (telaga) yang sibuk menggambar di atas pasir. Ketika ia mendekati, terlihat, setiap rakyat menggambar piring dengan panganan yang lengkap.

“Ada kutengok, gambar potongan paha ayam di atasnya,”lanjut  sang isteri.

“Kau tak bertanya, mengapa mereka melakukan hal itu?”

“Tentu aku bertanya. Jawabannya mengejutkan, kanda. Mereka menjawab, karena lapar terpaksa menggambar santapan dengan lauk pauk yang lezat-lezat, sesuai dengan fantasi mereka. Tapi mereka tetap lapar, lapar, dan lapar.”

Abu Nuwas memandang wajah isterinya yang elok rupa, itu.

“Esok, cobalah kanda pergi ke istana. Berilah nasihat kepada khalifah dan para menteri.”

“Aku enggan, adinda. Khalifah yang baru memerintah sepuluh purnama, ini tak ingin menerima nasihat. Ia dan para menterinya sudah merasa pandai dan mampu mengatasi segala hal.”

“Tapi, faktanya kan tidak begitu. Mereka merasa pandai, tapi tak pandai merasa apa yang sungguh sedang diderita rakyat. Akibatnya rakyat menderita. Benggol kita merosot harganya. Orang miskin akan bertambah bilangannya, karena banyak orang yang diberhentikan dari pekerjaannya. Tetaplah datang ke istana dan berikan nasihat, meski nasihatmu tak pernah didengar.”

“Aku enggan, adinda. Kau tahu kan? Kemarin datang tamu dari waruga jagad, tetapi Hulubalang mengatakan, tamu itu datang untuk mendapatkan wejangan dari khalifah dan para hulubalang. Padahal, sebaliknya.”

“Tetaplah memberi nasihat, kanda.. meski boleh jadi, kau akan dianggap menghina dan kelak akan dipenjarakan.”

Esok harinya Abu Nuwas datang ke Istana. Apa yang menjadi mimpi isterinya ternyata menjadi kenyataan yang dia lihat secara nyata dengan matanya. Khalifah dan para menteri sedang menggaruk telapak terompahnya, ada juga yang menggaruk-garuk serbannya.

Sebelum tiba di Istana, di beberapa wadi yang dilewatinya, dia melihat rakyat sibuk melukis santapan fantasi yang lezat dalam keadaan lapar.

Ketika bertemu khalifah, Abu Nuwas spontan angkat bicara. “Ampun tuanku, khalifah. Mengapa menggaruk telapak terompah, kalau telapak kaki tuan yang gatal.” Khalifah melirik kepada Abu Nuwas.

“Nuwas.. maqam kami berbeda dengan maqammu. Maqammu baru mengajarkan cara menggaruk langsung tempat yang gatal, menggaruk telapak kaki ketika telapak kaki gatal, menggaruk kepala ketika kepala gatal.”

Abu Nuwas tersenyum sambil mengangguk.

“Kau tengok rakyat. Ketika lapar yang mereka lakukan cukup melukis lauk pauk yang lezat di atas pasir dan bukan mendapatkannya di pasar untuk dimakan.”

“Tapi semua itu aneh, tuanku. Rakyat melakukan hal itu karena mereka tak punya lagi benggol untuk membeli santapan yang nyata. Harga benggol kita sudah tak bernilai, dan membuat negeri kita tak lagi bermarwah.”

Khalifah mendelik. Nampak, sejumlah menteri marah. Mata mereka melotot. Abu Nuwas tetap bicara kepada khalifah.

“Tuanku tahu? Perbuatan yang tuanku dan para menteri lakukan adalah perbuatan kaum yang kompeten, yang sibuk menyediakan alasan untuk menutupi ketidak-mampuan. Bukan menjelaskan cara keluar dari persoalan yang tak mampu kalian lakukan.”

Abu Nuwas melanjutkan, “Tuanku tahu? Seburuk-buruknya pemerintahan adalah yang gemar memberikan alasan ketika tak pernah menemukan cara mengatasi masalah.”

Menteri Hulubalang marah. Dia berdiri dan mengusulkan agar Abu Nuwas segera ditangkap. “Dia sudah melakukan aksi subversif, Tuan Khalifah,” ujarnya. Abu Nuwas tersenyum. Khalifah meminta Menteri Hulubalang itu duduk kembali.

Pertemuan usai. Abu Nuwas pulang. Sebelum pulang dia melihat serombongan  munida’ (pemimpin media) yang dipanggil khalifah. Mereka akan sembang-sembang, lalu memuji-muji khalifah dan para menteri, kemudian menyebarluaskan alasan melalui akhbar mereka. Mereka mengabaikan fungsi nida’ yang menyerupai fungsi para anbiya, menyatakan kebenaran kepada penguasa dan mengabarkannya kepada rakyat.

Rakyat, tetap melukis santapan di atas pasir, karena tak mampu membeli santapan yang nyata. Dan, Abu Nuwas tak pulang ke rumahnya, karena dia dipenjarakan, entah sampai bila, sampai dia menyatakan maaf kepada Hulubalang, dan mencabut omongannya kepada khalifah... |

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 242
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 421
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 316
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 271
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya