Ibuku Telaga Tak Pernah Kering

| dilihat 1513

Sem Haesy

Saya memanggil ibu saya dengan panggilan Ibu. Bukan Emak, Mak, Umak atau Mamak. Tak juga Umi.

Suatu hari saya tanya, mengapa kami harus memanggilnya Ibu, berbeda dengan saudara-saudara kami yang lain, yang biasa memanggil umi.

Ibu hanya tersenyum. Beliau mengatakan, semua panggilan itu sama baiknya. Beliau membiasakan anak-anaknya memanggil dengan sebutan ibu, karena alasan sederhana. Pada proses sosialisasi anak-anaknya di lingkungan kami tinggal, sekolah, dan bahkan di buku pelajaran Bahasaku, istilah yang dipakai adalah Ibu.

Tapi, ibu membiasakan kami memanggil saudara-saudaranya dengan Mak dan Umi. Kepada saudara-saudaranya yang lebih tua, kami memanggilnya Mak, dan kepada saudara-saudaranya kami memanggil Umi. Alasannya sederhana, mereka adalah ibu kami juga.

Dampaknya? Kami nyaris tak kenal istilah sepupu, hubungan persaudaraan kami dengan kakak dan adik sepupu, laiknya kakak dan adik kandung. Tak hanya dalam sebutan, tetapi juga dalam hal responsibilitas.

Saya dan saudara-saudara sekandung boleh dikata sebagai 'anak asuhan ibu,' meski sekali sekala kami beroleh asuhan langsung dari ayah, tentang ketegasan dan konsistensi bersikap.

Ibu memperlakukan kami, anak-anaknya setara. Setiap kami, tak peduli laki-laki dan perempuan, harus bisa mengerjakan semua hal yang berkaitan dengan wilayah domestik. Mulai dari masak memasak, mencuci piring, menyetrika, menisi, mengasuh adik, dan ke pasar.

Setiap hari ibu memasak dengan berganti-ganti menu dan cara masak. Tapi, yang tak berubah adalah sayur, hidangan yang diolah dengan cara direbus. Setiap akhir pekan, kami bergantian dilatih ibu memasak. Mulai dari memotong sekaligus membersihkan ayam dan ikan.

Juga memotong dan mengiris daging sesuai keperluan masak: rendang, sop, pindang, steak, dendeng, gepuk, sop, soto, gulai, opor ayam, ayam kremes, pepes ikan, pindang ikan, dan aneka masakan lain berbahan daging sapi atau kambing, ayam, dan ikan.

"Suatu saat, kamu akan mengerti, mengapa kamu harus bisa memasak, mencuci, menyetrika, belanja ke pasar, dan mengasuh adikmu," ujar ibu suatu ketika.

Ibu juga yang menyambut kami ketika pulang sekolah tengah hari dan kemudian mengingatkan untuk segera pergi ke madrasah diniyah.

Selepas ashar sampai petang, kami bebas. Boleh main apa saja, mulai dari sepakbola, kasti, rounders, sepeda dan lainnya. Hari Ahad pagi juga, kami bebas pergi ke Taman Surapati di seberang rumah dinas Gubernur Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat - Gereja Ayam, untuk berlatih sepatu roda. Sekali sekala ke Gelanggang Olah Raga Senayan.

Malam hari, selepas salat maghrib sampai tiba waktu isya' ibu menyiapkan meja untuk kami santap malam. Selepas itu, salat Isya' berjama'ah yang diimami ayah. Lantas, ibu masuk ke kamarnya, berdzikir sambil rebahan. Ayah ke beranda atau ke ruang keluarga, melayani tamu yang selalu datang dengan berbagai persoalan.

Pada saat itulah kami wajib menderas Al Qur'an. Dari kamarnya, ibu mengingatkan kami bacaan yang salah, dan kalau masih salah juga, ibu keluar kamar, dan meminta kami mengulang baca, satu 'ain.

Sekali sepekan, ayah menyediakan waktu khusus untuk kami, sambil menjelaskan esensi ayat yang kami baca. Pada kesempatan itu juga kami berdialog dan menyampaikan berbagai hal yang tak bisa kami atasi. Termasuk menyampaikan 'pengakuan dosa,' seperti berkelahi dan bercerita, mengapa hal itu terjadi.

Kami mengungkapkan hal itu kepada ayah, sebelum orang datang ke rumah dan menyampaikan komplain tentang kami. Untuk hal-hal tertentu yang tak mungkin kami sampaikan ke ayah, terutama karena peristiwa buruk yang terjadi akibat inisiatif sendiri, kami bercerita pada ibu. Beliau yang akan mendialogkan dengan ayah.

Ibu memberi solusi semacam itu, karena ayah seorang yang tegas dan keras dalam mendidik anak. Beliau tak ingin, kami anak-anaknya mendapatkan hukuman yang terlalu berat.

Ayah dan ibu juga memberitahu kepada kami posisi politik mereka. Sekaligus mengingatkan kami untuk selalu siaga menghadapi berbagai kemungkinan. Ayah menyampaikan hal itu, biasanya, acapkali keluarga mendapat teror dari orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia), termasuk underbouw-nya, Pemuda Rakyat yang dengan gaya pengecut sering membaling rumah kami dengan batu pada malam hari. Untuk itu, sekali sepekan, Sabtu malam, kemenakan ayah melatih kami main pukul alias silat.

Ibu lebih banyak waktunya berinteraksi dengan kami. Kepada saya beliau sering cerita, ketika saya berada dalam kandungannya -- sampai delapan bulan -- ibu sibuk berkampanye politik.

Saya sempat terpisah dengan orang tua di masa sulit. Kami baru terhimpun lagi dengan keluarga, ketika saya SMP. Ketika itu, ibu sering mengajak saya ke rumah Mak Yom, kakak kandung ayah, dan meninggalkan saya di sana pada saat liburan.

Dari Mak Yom saya belajar banyak tentang syair-syair Arab sampai jangjawokan Banten. Mak Yom juga sering meminta saya menuliskan syair-syair karyanya yang didiktekan pada saya.

Ketika saya mulai menulis sendiri puisi, ibu orang yang selalu pertama mendengar karya-karya saya. Lalu, sambil tetap melakukan kesibukannya, beliau mengeritik. "Manthiq-nya kurang bagus," tukas ibu acap mengeritik logika bahasa karya-karya awal saya.

Dari ibu saya belajar tentang manthiq dalam konteks lebih luas. "Kalau bahasa Indonesia, manthiq-nya juga harus Indonesia. Kalau bahasa Arab, manthiq-nya juga harus Arab. Begitu juga dengan bahasa Inggris dan lainnya," ungkap Ibu.

Dari ibu juga saya belajar tentang 'makna di balik kata.' Dan, ibu menjelaskan, suasana batin ketika beliau dan ayah memilih nama untuk anak-anaknya, yang satu dengan lainnya berbeda. Beberapa nama kakak dan adik saya tidak umum dan khas, misalnya: Chorryana, Chozinda, Dawany.

Ibu juga yang mendidik kami hidup secara demokratis, bermusyawarah dan bermufakat, sekaligus menghormati sikap dan pendirian kami masing-masing.

Ibu selalu mengatakan, "Ibu tidak sependapat, ibu hargai pendapatmu, pertahankan itu menjadi sikap secara istiqamah." Ibu mencontohkannya, setiap kali ada misi zending agama lain datang ke rumah. Beliau layani dengan baik, lalu berdiskusi, kemudian menegaskan keyakinannya tentang Islam.

Biasanya ibu selalu mengakhiri dengan kalimat,"Sebaiknya kamu ajarkan yang kamu omongkan tadi kepada masyarakat yang belum beragama."

Beberapa hari kemudian ketika sahabat ayah yang pendeta datang ke rumah, Ibu mengingatkan koleganya itu untuk tidak melakukan aksi misi zending ke kalangan umat Islam.

Ke rumah banyak datang sahabat-sahabat orangtua kami yang agamanya berbeda-beda: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dan keluarga kami hidup rukun damai. Kini, ketika orang tua sudah tidak ada, hubungan kami dengan anak-anak sahabat orang tua, masih terus berlanjut hingga kini.

Catatan kecil ini saya tulis untuk mengenang ibu, suluh kehidupan kala gelap. Telaga yang kami kunjungi ketika dahaga. Ibu adalah salsabila yang tak pernah kering, meski beliau sudah wafat. Allahummaghfirlaha warhamha wa'afiihi wa'fuanha wa akrim nuzuulaha wa wassi' madhalaha waj'alil jannata maswaha. Allahumma la tahrimna ajraha wa la taftinna ba'daha, waghfirlana wa laha. |

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1503
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya