Deriji

| dilihat 2428

LIMBUK merasa lebih baik. Panas demamnya mulai turun. Ia menggeliat di peraduannya, lalu duduk bersandar di jeruji tempat tidur. Perlahan ia mendengar percakapan Cangik dengan Bilung. Dia senang dengan apa yang dituturkan Bilung kepada ibunya, Cangik.

Limbuk membayangkan, Bilung memang orang yang cocok menjadi ayahnya. Selain bijak, Bilung juga seorang yang peduli terhadap dirinya, dan sungguh memperlakukannya sebagai anak. Perlahan dia beranjak ke pintu, bersandar di balik daun pintu.

Limbuk tersenyum, ketika dia mendengar, Bilung merayu Cangik.

“Cangik, maukah kamu menjadi isteriku?” Cangik tertunduk. Ia terharu. Pikirannya nerawang.

“De selamen lamban ulun, kepengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bekti praja, labet blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labet karibetan tapih,” balasnya.

Dalam bahasa hati, itu Cangik sedang berucap: selama dirinya sendiri, ada keinginannya bersuami yang berbakti kepada pemerintah. Sebagai perempuan, sudah malas dia sendiri, tapi ia merasa dirinya tak pandai melayani lelaki.  Laksana kaki yang susah berjalan karena terlilit kain.

Cangik melirik Bilung. Pancaran hati menerima permintaan Bilung tertampak di sana. Limbuk kembali ke pembaringan dengan sukacita. Ia rebah dan tertidur pulas. Lalu bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia melihat kemesraan yang indah antara ibunya dengan Bilung.

Dalam mimpinya itu, Limbuk melihat ibunya laksana Dewi yang sedang dirayu Senapati. Dalam kemesraan, sang Senapati meremas jemari sang Dewi.

Sang Dewi bermanja. “Dhuh..., pangeran, mangke sakit. Kadar ta arsa punapa, strita-sritu nyepeng driji.” Duh, pangeranku, nanti sakit.. Sebenarnya apa yang pangeran inginkan? Koq tiba-tiba meremas jemariku?

Asta kelor driji ulun, yen putung sinten nglintoni, nadyan Ki Lurah, mangsi saged karya driji,” lanjut sang Dewi. Ia mengatakan, jemarinya mungil. Jika patah (karena diremas) siapa yang akan mengganti, karena Ki Lurah pun tak bisa menciptakan jari.

Seketika Limbuk terbangun. Ia mendengar suara Bilung, “Dhuh wong ayu sampun runtik.” Duh, sang jelita, jangan marah. Limbuk tak melihat, di amben, Cangik baru saja menarik jemarinya dari genggaman jemari Bilung.  Cangik bersetuju menjadi istri Bilung.

“Yekti dora arsanipun, sandinya angasta driji. Yektine mangarah prana. Ketareng geter ing galih. Dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cethi,” lanjut Cangik.

Ia mengatakan, remasan jemari Bilung di jemarinya menunjukkan kehendak, yang jelas ‘terlihat’ dari dari apa yang sedang berada dalam pikirannya. “Berilah janji cinta kasih yang pasti.”

Bilung tersentuh hatinya. Ia melihat, senyum Cangik sebagai tanda hatinya terbuka untuk menerima cinta yang lama telah dipendamnya. Tiba-tiba Limbuk memanggil ibunya. Keduanya bergegas masuk ke dalam rumah. Wajah keduanya ceria menyaksikan Limbuk yang nampak ceria.

“Duh, gusti, matur nuwun. Sehat ya nduk, jangan sakit lagi.. Ibu dan paman Bilung mengkhawatirkanmu,” tukas Cangik.

 “Terima kasih paman Bilung, terima kasih. Paman sangat baik telah mau menemani kami di sini,” cetusnya.

“Ya, nduk.. paman akan menemanimu dan ibumu selamanya,” jawab Bilung. Limbuk spontan bangkit, dia sungkem pada Bilung.

Bilung pamit.  Dia bergegas ke baledesa.

Bilung terkejut, ketika menyaksikan halaman baledesa ramai. Mereka melakukan hak pepe, unjuk rasa. Mereka penduduk dusun Ateul. Mereka datang ke baledesa, menuntut supaya Ki Lurah segera memberhentikan kepala dusun Acang, yang dianggap merendahkan perempuan.

Penduduk dusun itu mengungkapkan, Acang telah menipu seorang gadis. Mengaku sebagai duda, lalu menikahinya diam-diam. Tapi, baru saja empat malam, Acang meninggalkan gadis itu. Alasannya, sang gadis yang masih belia itu sudah tidak perawan lagi.

“Kami memohon Ki Lurah segera menangkap Acang, menghukumnya, dan memberhentikannya sebagai kepala dusun. Acang telah mempermainkan hati, perasaan, dan harapan gadis yang dinikahinya dengan singkat itu. Bahkan telah menistanya,” ungkap wakil penduduk dusun Ateul.

Ki Lurah spontan menugaskan Dawala untuk menyelidiki kasus itu dan menyelesaikan masalahnya. “Saya segera mengunjungi dusun Ateul,” ungkap Dawala. Para pengunjuk rasa riang. Mereka segera meninggalkan Baledesa.

Kabayan diminta juga oleh Ki Lurah untuk mendampingi Dawala. Kabayan memohon nasihat kepada Abu Nawas yang segera memberinya petuah. “Al adabu syarof. Alhilmu mahmud. Alkaram mamduuh,” tukas Abu Nawas. Adab itu kemuliaan, kesantunan itu terpuji. Kehormatan pun terpuji. |

 

[ Ini adalah Kedai Gambuh bagian terakhir. Episode-episode lengkap Kedai Gambuh akan terbit sebagai buku. Celoteh akan berlanjut dengan tema dan format lain seputar Jakarta ]

Editor : sem haesy
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 218
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 430
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 429
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 399
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya