DASI

| dilihat 3298

SALAH satu puisi yang paling saya suka, karya Allahyarham H.S. Djurtatap. Penyair asal Minangkabau yang lama menjadi wartawan, ketika saya masih belajar menjadi reporter, itu menulis puisi tentang dasi. Salah dua lariknya berbunyi: “Leher tanpa dasi, tak ada harga. Dasi tanpa leher, pasti kutahu harganya“. Sejak mengenalnya, kemudian sama-sama bekerja dalam satu ruangan, hingga pertemuan akhir di menit-menit menjelang kepergiannya, di jelang Maghrib yang gerimis, saya tak pernah menyaksikan ia mengenakan dasi. 

Penyair jenaka dengan pilihan kata berkedalaman makna ini, mencermati fenomena sosial berbusana sepanjang perjalanan bangsa ini. Ada suatu masa, dasi menjadi simbol identitas para tokoh. Selain para pengusaha, para politisi dari barisan nasionalis dan sekuler, mencitrakan dirinya dengan dasi. Sekaligus pertanda, mereka jebolan universitas di Eropa. Sementara dari kalangan muslim, mencitrakan dirinya dengan kopiah, jas dengan kemeja tanpa dasi, sarung atau pantalon dengan pelui yang rapi. Beberapa di antaranya, menguatkan citra dirinya dengan misai dan jenggot, atau salah satunya.

Ketika jaman berubah dasi tak lagi menjadi citra identitas dari mana mereka datang. Kaum abangan dan kaum santri sama-sama mengenakan dasi, lengkap dengan jas-nya. Mulai dari dasi model lidah komodo, sampai model dasi lebar. Beberapa tokoh, mengenakan dasi kupu-kupu, yang biasa dipergunakan para conductor musik orkestra. Makin berkembang jaman, dasi kupu-kupu dikenakan oleh para pelayan resto. Dan dasi lidah dikenakan di leher para penjaja produk yang dijual secara direct marketing.

Fenomena ini terus berkembang. Sejak 1999, dasi dan jas menjadi pakaian sehari-hari para anggota parlemen, meski kemudian banyak yang hanya mengenakan blazer. Acapkali kongkow dengan beberapa teman di lounge hotel, beberapa teman sering tersenyum simpul menyaksikan para politisi berdasi keluyuran dan nongkrong di lounge hotel berbintang. Asumsi kami pun membuncah.

Satu teman bilang, dasi dan jas (termasuk jacket dan blazer) sebagai penangkal tubuh dari dinginnya ruang sidang dan ruang kerja berpendingin udara. Agar tak mudah ngantuk, lalu tertidur nyenyak saat persidangan berlangsung. Teman lain berasumsi lain. Mengacu fenomena jaman lampau: dasi dan jas sebagai ekspresi pembeda terjadinya perubahan status sosial. Apalagi dengan lencana di kerah kiri jas. Teman yang lain, enggan berkomentar semacam itu. Dia lebih suka mengamati simpul dasi di leher penggunanya.

Koq?

“Simpul dasi mencerminkan watak, karakter, dan perangai pemakainya,“ kata dia.

Mereka yang terbiasa mengenakan dasi dari kecil dan dididik hidup berdisiplin, melilitkan dasi berbentuk segitiga sama sisi, dan rapi. Lipatan dasi semacam itu, dibentuk dengan teliti. Bila tak teliti, lidah dasi akan kehilangan estetikanya. Selain mencitrakan percaya diri dan kecerdasan, pemakai dasi semacam ini, konsisten dan konskuen menjalan komitmen, serta bertanggungjawab.

Sebaliknya, yang melilitkan dasi sesuka hati, sehingga berbentuk trapesium, selain karena tak terbiasa mengenakan dasi, bisa juga tergolong insan yang easy going, kurang percaya diri, dan kurang mantap!. Masak sih?

Entahlah. Yang jelas, saya suka dengan larik puisi di atas: “Leher tanpa dasi, tak ada harga. Dasi tanpa leher, pasti kutahu harganya.“ Ada yang berbilang ribu, ada juga yang berbilang juta rupiah. Bagaimana dengan dasi Anda? |

 

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1185
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 521
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1611
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1393
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya