Akal Budi

| dilihat 1956

Opa Misai, Ete Dapolo, dan Tok Sengon menghabiskan waktunya di Pantai Marina.

Matahari merambat. Ketiganya duduk di atas batu, persis di bawah pohon mangrove besar.

"Kita mesti prihatin menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi belakangan hari," ujar Ete Dapolo.

"Apa yang mesti diprihatinkan?" tanya Opa Misai.

"Banyak hal. Mulai dari perginya akal budi, sehingga tak ada lagi rasa hormat yang muda dengan yang tua, apalagi guru bangsa yang pengabdian dan perkhidmatannya kepada bangsa ini melebihi usia si muda," ungkap Ete Dapolo.

"Lalu?" tanya Opa Misai lagi.

"Karena akal budi pergi, rasa hormat rakyat kepada petinggi juga nyaris hilang," sambung Ete Dapolo.

Tok Sengon menyimak, sambil memainkan pasir pantai dengan ranting pohon yang patah.

"Jangan berhenti hanya pada keprihatinan. Harus ada upaya melakukan aksi nyata."

"Sepakat. Kita mulai dari mana?" tanya Opa Misai.

"Dari lingkungan sosial terbatas, menggunakan whatsapp grup sebagai ajang perubahan minda atau mindset, menerapkan kembali etika dalam berbagai lapangan kehidupan, seperti politik, sosial, dan ekonomi," ungkap Tok Sengon.

"Tidak terlalu jauh kah jalan yang harus ditempuh?" sambut Opa Misai.

"Tidak.. Kita juga mesti barengi dengan memproduksi konten berbagai platform media sosial untuk kepentingan transfer pemikiran dan kesadaran baru, tentang etika," ungkap Tok Sengon.

"Saya sependapat dengan itu, tetapi kita kan termasuk golongan yang gagap teknologi informasi," sela Ete Dapolo.

"He.. he.. he.. Kita belajar pada anak dan cucu," respon Opa Misai sambil tertawa.

Ketiganya beranjak dari situ, karena sengatan sinar mentari kian terasa.

"Ini zaman sungsang. Lebih dari 180 juta orang punya akun media sosial, terutama facebook, twitter, dan instagram. Lebih dari 80 persen pengguna media sosial saat ini dari kalangan kaum terdidik. Tapi, sebagian dari mereka menggunakan platform media sosial untuk merusak tatanan sosial," ungkap Opa Misai.

"Ya.. hal itu bisa terjadi karena banyak kalangan terdidik pengguna media sosial relatif menganggur. Kemudian mereka menggunakan jejaring media sosial mereka untuk kepentingan personal, nyari duit dengan cara yang hina," balas Tok Sengon.

"Maksudmu mereka menggunakan akun media sosial untuk melakukan disharmoni sosial?" tanya Ete Dapolo.

"Begitulah. Mulai dari memproduksi dan menyebarkan hoax, sampai mencari sensasi yang tak perlu. Celakanya, konsumen pengguna jasa mereka menebar hoax, mendukung pencitraan seseorang atau membunuh karakter pesaing, jumlahnya juga tidak sedikit," balas Tok Sengon.

Ete Dapolo, Opa Misai, dan Tok Sengon tiba di kedai minuman, jauh dari bibir pantai. Ketiganya duduk di kursi kedai, itu. Opa Misai dan Tok Sengon memesan kopi, sedang Ete Dapolo memesan juz kedondong.

Ketiganya sepakat memanfaatkan media sosial untuk kepentingan positif. Menebar kebajikan di jejaring medsosnya masing-masing.

Dari kejauhan ketiganya melihat Tuo Baretta melangkah dengan gagah. Dari jauh, Tuo Baretta sudah melambaikan tangan. Ketiganya menyambut lambaian tangan Tuo Baretta.

Di kejauhan, di pantai, ketiganya menyaksikan perahu cadik bergoyang mendekati pantai. Tok Sengon tersenyum.

Tuo Baretta mendekat. Lalu duduk di kursi, persis di tengah ketiganya. Ete Dapolo menceritakan ulang apa yang sudah mereka bincangkan.

"Wah pemikiran menarik itu. Kita tak boleh membiarkan diri kita menjadi korban media sosial. Kita musti mulai dari diri kita, sejak saat ini tak lagi memposting video atau meme yang menambah kekisruhan. Kita musti teliti membaca konten informasi yang masuk ke telepon seluler kita," katanya.

Opa Misai, Ete Dapolo, dan Tok Sengon, sepakat untuk itu. |

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 714
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 871
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 822
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya