Dari Webinar Kertas Sejagad

Tari Astungkara dan Parisukma Merayakan Zaman Kertas di Awal Era Digital

| dilihat 1868

Endang Caturwati

Sejak 10 sampai 20 Mei 2020 berlangsung Festival, Webinar dan Workshop Visual Kertas Sejagad, yang digagas Prof. Dr. Setiawan Sabana, Guru Besar Seni Rupa ITB dan kawan-kawan. Guru Besar Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) - Bandung, Prof. Dr. Endang Caturwati menjadi salah satu pembicara dan peserta dalam peristiwa budaya di masa karantina COVID-19, itu. Berikut pemikirannya dari sudut pandang seni pertunjukan berbasis tari.

Redaksi

***

Dapatkah kertas bertahan di era digital? Pertanyaan ini diajukan Ian Sansom, penulis serial The Mobile Library Mystery - Misteri Perpustakaan Bergerak, untuk memancing optimismenya tentang keberadaan kertas di era digital -- yang juga disebut sebagai era konseptual oleh kalangan imagineer  -- perekacita, penggerak imagineering  rekacita. Pertanyaan ini diajukan Ian Sansom, penulis serial The Mobile Library Mystery. Dalam artikelnya dengan judul yang sama,  di The Guardian (9 November 2012), Sansom menegaskan, terlepas dari perkembangan cepat revolusi digital yang membawa perilaku baru, ‘dunia kita’ masih dibangun di atas kertas.

Dalam beberapa hal, saya sepakat dengan pandangan Sansom, peradaban dunia masih dibangun di atas kertas, sepanjang teknologi digital yang menawarkan IoT (internet on think) dan AI (artificial inteligence) - kecerdasan buatan, belum sepenuhnya mampu menjadi media dengan fungsi yang beragam, seperti yang diberikan kertas.

Pada kenyataannya, masih banyak berbagai hal yang  menggunakan kertas, antara lain, uang, kitab undang-undang dan aneka peraturan yang memerlukan ratifikasi dan pengesahan formal, surat-surat penting, sertifikat, surat nikah, tiket, media cetak, seni kriya,  seni lukis dengan menggunakan cat air, seni kali gafri, buku-buku, brosur, pamplet, kitab-kitab  suci, hingga Al’quran,  tak bisa dilepaskan dari kertas. Meskipun masing-masing kalangan profesional dan penggiat di berbagai bidang kehidupan, masih menempatkan kertas sebagian terbesar sebagai medium untuk menyimpan dan menyampaikan gagasan mereka, dalam berbagai format dan platform. Termasuk sebagai medium ekspresi artistis dan estetis.

Sejak didokumentasikan proses pembuatannya di China pada era Dinasti Han (25 - 220 M), lantas menyebar ke dunia Islam selama abad ke 8, dunia kertas secara fungsional dan proporsional merupakan dunia multi dimensi. Tak hanya untuk mengenang Cai Lun, pejabat pengadilan di China era dinasti Han yang mencetuskan gagasan tentang alih wahana dari medium lain (kulit binatang, kulit kayu, dan lainnya) ke medium kertas.

Kertas menjadi medium paling efektif dan efisien di masanya untuk merekam gagasan-gagasan tentang konvergensi medium, dari batu  megalit di gua-gua ke kertas dengan fungsi utama sebagai tabula rasa. Kertas menjadi media yang paling mewadahi gagasan kreatif manusia. Sebagai tabula rasa, medium kosong yang sering dijadikan perumpamaan untuk menegaskan kesucian.

Dalam konteks Islam, misalnya, kertas menjadi perumpamaan (amsal) tentang bayi yang baru dilahirkan, sesuai dengan hadits Rasulullah Muhammad SAW, "Kullu mauludin yulaadu alal fithrah. Fa abawahu yuhawwidanihi au yunassironihi, au yumajjisanihi." (Sesungguhnya anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orangtua-nya yang menjadi mereka orang Yahudi, Nasrari, dan Majusi) - Hadits Riwayat Ahmad Ibn Hambal.

Fithrah dalam konteks hadits itu, sering diumpamakan laksana kertas. Sekaligus menunjukkan fungsi kertas sebagai simbol tabularasa yang kosong. Walaupun Islam sudah mengenal 'kertas' sebagai simbol spiritual telah berkembang sejak satu abad sebelum abad ke 7, terutama untuk menegaskan eksistensi manusia sebagai mahluk sosial.

Secara filosofis, dalam Islam, kertas adalah medium yuang mewadahi konvergensi pemahaman tentang firman Allah, dari semesta - alam raya (kitabu) menjadi narasi yang tersimpan dalam buku (kitaba) dalam kompilasi yang kita kenal dengan istilah mushaf, sejak masa Khalifah Utsman bin Affan - tiga periode pada masa setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat.

Tabula rasa atau "scraped tablet," yang sering diterjemahkan sebagai "batu tulis kosong") adalah gagasan. Dalam pandangan John Locke, manusia adalah kertas kosong dan pikiran-pikiran manusia mewadahi pengetahuan dan membentuk dirinya berdasarkan pengalaman saja, tanpa ide bawaan yang sudah ada sebelumnya yang akan berfungsi sebagai titik awal.

Kertas sebagai media fisik tabula rasa, menyiratkan bahwa identitas manusia sebagai media gagasan, sepenuhnya ditentukan oleh pengalaman dan persepsi inderawi mereka tentang dunia nyata, realitas pertama kehidupan.

Pada abad ke 4 Sebelum Masehi, melalui karyanya, De Anima Aristoteles mengawali tentang media gagasan tentang pikiran sebagai keadaan kosong tidak diketahui selama hampir 1.800 tahun, meskipun muncul kembali dalam kata-kata yang sedikit berbeda dalam tulisan-tulisan berbagai pemikir.

Pada abad ketiga belas, Thomas Aquinas membawa gagasan Aristotelian kembali ke garis depan pemikiran modern. Gagasan ini sangat kontras dengan gagasan Platonis yang sebelumnya memandang pikiran manusia sebagai entitas yang ada sebelumnya.

Dalam khazanah Nusantara, kertas menjadi media lanjut untuk menyerap beragam peristiwa dan pemikiran, termasuk narasi tekstual - karya sastra yang merefleksikan realitas pertama kehidupan. Terjadi konvergensi dari media lain (daun lontar, kulit kayu, kulit hewan, batu, pelepah bambu, dan lainnya) ke dalam kertas.

Kertas dalam Tari Astungkara

           Kaitannya kertas dengan karya tari Astungkara,  berawal dari ide gagasan untuk  melakukan proses kreatif tari,  yang menyerap pengalaman (empirisma) kehidupan nyata yang pahit, dramatik,  dan tragis,  dari seorang penari perempuan pewaris Topeng Losari Cirebon. Untuk mengekspresikan kompleksitas peristiwa yang menjadi sumber gagasan, mengharmonisasi nalar, naluri, rasa, dan indria, mengintegrasikan olah karsa, olah rasa,  olah tubuh, olah  gerak,  serta musik,  dan tata  cahaya saja, tidak cukup,  dan tidak memadai. Terutama,   untuk menyatukan impresi dan ekspresi dalam satu kesatuan karya,  yang lebih universal dan multi tafsir.  Saya memerlukan  media untuk mewadahi dinamika impressif dari realitas kehidupan nyata ke realitas kedua (artistik dan estetik) di atas panggung. Untuk itu, saya memandang kain dan kertas sebagai media yang paling mungkin untuk  mewadahi fantasi saya,  dan mengubahnya menjadi ‘imajinasi’  yang lebih kontekstual dengan kehidupan nyata berikutnya.

Wujud karya seni,  adalah realita empiris dari konsep seniman pencipta, sebagai penuturan seniman dari hasil ide gagasannya. Berkolaborasi kreatif dengan Setiawan Sabana, menjadikan kertas sebagai media paling memenuhi keperluan saya untuk menuangkan ide - gagasan,  lebih  ke wujud, bukan hanya  sekedar  ekpresi gerak tari. Akan tetapi, lebih mengeksplorasi gagasan tentang dimensi kedalaman manusia, terutama ‘kesucian’ yang dikoyak-koyak oleh perilaku yang meluruhkan kemanusiaan, dan tentang kegagalan manusia memahami esensi nilai-nilai budaya yang dikaitkan dengan ajaran agama. Di tangan kreatif Setiawan Sabana, kertas berubah bentuk, dari media tunggal menjadi media multi fungsi.

Lembaran-lembaran kertas, alih rupa kertas menjadi topeng dan bentuk lain, menempatkan kertas tidak hanya sebagai properti artistik untuk memenuhi tuntutan estetika ruang (panggung) belaka, akan tetapi mengalir secara sublimatif dalam pengadeganan,  serta membangun ‘daya inspiratif’  saya,  untuk mengembangan fantasi gerak yang lebih luas.  Berbagai disain gerak muncul lebih hidup dan dinamis,  akibat dari efek properti kertas dengan berbagai bentuk dan ukuran, topeng kertas, dan kain yang lentur, mendorong munculnya berbagai disain gerak tertunda, menyerupai bayangan, gelombang, bunga, kabut, hentakan angin, dan  bentuk lain, menjadi simbol-simbol imajinatif.

Dalam mengolah produk artistik , kertas karya  Setiawan Sabana menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan dimensi artistik, estetik, dan etik, yang saya tawarkan dalam keseluruhan konteks tari Astungkara sebagai produk kreatif seni pertunjukan. Interaksi artistik terbangun manakala eksplanasi prinsip naturalistik menjadi  lebih leluasa  bagi saya dalam membangun ekspresi secara alamiah dan mengalir. Terutama dalam menafsirkan topeng-topeng kertas yang sangat banyak, serta lembaran kertas-kertas dengan berbagai ukuran dan bentuk, juga kertas-kertas rusak dan bubuk yang menghiasi ruang pertunjukan mulai dari pintu masuk gedung Sunan Ambu hingga yang ditebarkan, digantung, dijuntai menjadi bagaian artistik di atas panggung.

Saya sadar menempatkan ‘kertas’ sebagai medium kosong dan medium reka-rupa menjadi pintu masuk imajinasi bagi siapa saja yang menonton pergelaran tari Astungkara. Baik dalam konteks memahami esensi pesan moral yang dihantarkan oleh kata (melalui narasi prolog), oleh gerak tubuh tubuh penari,  maupun dalam konteks rekacita (imagine engineering), serta mengubah imajinasi menjadi visi perubahan cara berfikir, bersikap, serta  laku manusia secara sosial dan kultural. Terutama dalam interaksi dan interrelasi hubungan manusia yang setara dan adil. Hal ini penting untuk 'meneriakkan,' keadilan dan kesetaraan manusiawi, terutama gender equity and equality.

Kertas dalam Tari Parisukma.

Kertas sebagai salah satu unsur medium ekspresi artistik dan estetik, juga saya pergunakan dalam proses dan produk kreatif karya tari saya Parisukma. Berbeda dengan tari Astungkara, Tari Parisukma lebih fokus pada eksplorasi gagasan perlawanan terhadap sejumlah paradoks yang saya temukan di sejumlah kalangan intelektual dan kalangan mereka yang mestinya menjadi wiseman, orang-orang bijak dari kalangan kaum terdidik dan cendekiawan, yang seharusnya menjadi model bagi masayarkat.

Pada tari Astungkara, kehadiran kertas terutama dalam bentuk topeng sebagai ekspresi perlawanan atas konflik yang ditimbulkan oleh kecenderungan clientelistic - penguasaan satu pihak yang menempatkan diri sebagai patron dan memperlakukan pihak lain sebagai client -- di wilayah domestik.

Kehadiran kertas dalam rekarupa yang sama, sebagai ekspresi perlawanan atas konflik dalam konteks sosial. Terutama, antara pihak yang mengalami kepribadian terbelah, disharmoni nalar, naluri, rasa ,dan dria di kalangan kaum terdidik dan terpelajar, yang mengalami kesenjangan (disparitas), keterbelahan personal dan sosial (dichotomy - ambivalensia), di kalangan intelektual.

Saya melihat hal ini bisa menjadi gangguan kepribadian kalangan intelektual yang sulit membedakan intelektualitas (yang berorientasi pada kualitas keilmuan) dengan intelektualisme (yang berorientasi cangkang - formalisme: gelar, status sosial) yang ironis. Saya katakan ironis, karena manusia berkepribadian demikian menjadi ‘pandir’ justru ketika sedang menunjukkan posisi intelektualnya. Mengoyak esensi 'kertas' sebagai simbol spiritual. Mengemas diri dengan topeng-topeng kemunafikan. Hal ini, saya pandang akan mencelakakan para calon intelektual (mahasiswa) dan masyarakat, karena menjadikan fantacy trap (jebakan fantasi) mereka sebagai seolah-olah visi (titik pandang capaian kinerja) kemanusiaan. Termasuk keterbelahan dalam perubahan cara berfikir (minda) dan bersikap yang memberikan tekanan psikologis dan psikis kepada orang lain.Terutama, karena disebabkan oleh virus 'sindroma eksistensialisma,' sindroma keberadaan diri.

Parisukma menawarkan gagasan tentang kejernihan sukma, dimensi kedalaman manusia sebagai kertas jernih untuk merekam dan mencatat secara abadi kemuliaan manusia dalam melayani sesamanya, kemuliaan manusia dalam merespon manusia lain, kemuliaan manusia yang diwujudkan dengan menghidupkan kesadaran, antusiasme, simpati, empati, apresiasi, dan respek untuk menghidupkan kemurnian sukma (cinta dan kasih sayang). Terutama, karena saya melihat dinamika perubahan sosial yang terjadi sejak tiga dasawarsa terakhir, terkontaminasi oleh sisi gelap kedangkalan nilai manusia dan kemanusiaan. Ambisius, pongah, angkuh, dendam, keberkuasaan, munafik, yang mewujud dalam rumors, hoax, fitnah, dan teror yang justru subur dan diwadahi oleh kuatnya arus digital secara multi format, multimedia, dan multiplatform.

Era digital yang dalam konteks industri 'menghadang' perkembangan dan kelestarian peradaban kertas, antara lain dengan isu deforestasi (penggundulan hutan), tanpa disadari justru telah menekan kehidupan kita dengan dehumanisasi.

Intimasi, kekariban dalam peradaban kertas yang memelihara renjana (gairah dan semangat) berkasih sayang antar manusia, dan menempatkan rindu di ruang imajinasi, akan hilang karena digitalisasi (dengan segala produk medianya: seluler, komputer, dan lainnya dengan segala fitur yang menyertainya, seperti video call, komunikasi virtual, media sosial). Bahkan dalam banyak hal, akibat singularitas yang lebih banyak menghadapkan manusia dengan perangkat digital, nilai intimasi yang terjadi justru ironis: 'mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.' Dalam skala domestik, misalnya. Era digital dalam banyak kasus, menjauhkan suami dari istri dan anak-anaknya, tetapi mendekatkan suami atau istri dengan perempuan atau laki-laki idaman lain. Di era digital, ‘rindu’ akan menjadi sesuatu yang mahal.

Peradaban kertas memungkinkan hidup suburnya kemanusiaan (humanitas), peradaban digital memungkinkan hidup suburnya transhumanisme, karena hubungan virtual menempatkan keterampilan (skill) dan kearifan budaya terpolarisasi. Tari Parisukma merupakan respon terhadap segala kemungkinan yang bakal terjadi di era digital, individualitas yang kehilangan hakikat manusia sebagai homo socius, makhluk sosial. Hakikat manusia sebagai makhluk sosial,  tersimpan di ruang virtual. Tari Parisukma juga mengekspresikan kegelisahan manusia tentang ‘rindu dan kerinduan,’ ketika sukma menjadi kering oleh hubungan antar sesamanya yang kerontang dan tersembunyi di balik topeng-topeng kepalsuan.

Dalam konteks itu, meskipun dunia digital akan terus berpijar, seperti bentang ngariceupan (bintang yang mengerjap), kita tak akan pernah bisa lepas dari keperluan hidup dengan peradaban kertas.

Sejarah kertas adalah sejarah hidup kita, tetapi kecuali disimpan untuk anak cucu di museum nyata atau ruang imajiner. Charles Matlack Price, sejak 1913 sudah memperingatkan: "Ketika sebuah poster gagal, kegagalannya sama sekali tidak dapat diperbaiki, dan takdirnya yang tak terelakkan adalah konsinyasi ke limbah kertas bekas."

Saya sepakat dengan Sansom untuk juga mengatakan, "Pada awal Zaman Digital, bukankah sudah saatnya kita mengakui dan merayakan Zaman Kertas?" |

------

TILIK PUSTAKA : Bambang Sunarto, Epistimologi Peciptaan. Yogyakarta: Idea Press, 2013. | Ilyas, Yunahar. Tipologi Manusia dalam Al Qur'an. Labda Press, 2007. | Michalko, Nichael. Cracking Creativity: The Secrets of Creativity Genius, New York:  The United States  by Ten Speed Press, 2001. | M. McMahon, Darrin. Divine Furry: A History of Genius. New York: The United States by Basic Books, 2013 | Reinelt, Janelle G & Roach, Joseph. Critical Theory and Performance. Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1992. |

 

Editor : Web Administrator | Sumber : Sansom, Ian. The Mobile Library Mystery; Can Paper Survive The Digital Age? - The Guardian
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1505
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya