Catatan Lepas Bang Sèm
REBANA dan keromong sudah ditabuh. Jurus-jurus Cingkrik dan Beksi sudah dimainkan. Pantun sudah berulang diucapkan, mengirim pesan penuh makna di balik kata dan sajak yang utuh. Lebih dari 495 tahun lamanya.
Ya.. sudah 495 tahun lamanya, sejak Fatahillah dan Sultan Hasanuddin menaklukan penjajah Portugis di bibir pesisir Kalapa, mengubah Batavia menjadi Jayakarta.
Dengarlah.. pelantun Sikè Banjakah mengalunkan Salawat Dustur:
"Allahumma sholli wasallim wazid wa an 'im watafaddhol wa baarik bijalalika wakamalika 'ala zayyini 'ibadika wa asyrofil iibadika wa as'adi wal 'ajami, wa imaamit thayyibati wal harom. Waturjumani bilisanil qidami wamamba'il ilmi wal hilmi wal hikmati wal hikami.
Abil Qasim sayyidina wahabibina wasyafi'ina wa maulana Muhammad. Zidhu syarofan wa karoman wa ta'dziman warif'atan wa mahabbatan wa birron. Wa radhiyallahu tabaaroka wa ta'ala 'an dzawil fakhri al 'aliyi wal
Wa Rahiyallahu tabaaroka wa ta'ala 'an dzawil fakhri al 'aliyi wal qodril jaliyi, sadatina wa aimmatina wa mawaalina Abi Bakrin wa Umarin wa Utsmanin wa Aliyiin wa 'An baqiyatis shohabati wa qorobati Rasulullahi shalallaahu 'alaim im ajma'in.. walhamdulillah Rabbil aalamiin.."
Rangkaian do'a berisi harapan, agar Allah melimpahkan salawat dan senantiasa menambahkan keselamatan, keutamaan, keberkahan, kemuliaan, dan kesempurnaan kepada Muhammad nan Agung, insan yang paling beruntung. Pemimpin segala kebaikan dan kemuliaan, penerjemah pesan Ilahiyah paling unggul, paling fasih, sumber ilmu pengetahuan, kesabaran, hikmah dan kearifan.. pemimpin dan kekasih hati, pemberi syafa'at, junjungan termulia..
Do'a sepenuh jiwa agar Allah senantiasa menambahkan kemuliaan, keagungan, ketinggian muru'ah (derajat dan martabat), kehebatan, kebaikan, keridhaan, kepada Rasullah Muhammad, dan para sahabatnya: Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, serta seluruh sahabat dan keluarganya... Pujian kepada Allah, Tuhan atas semesta alam raya.
Mengalir bersama salawat itu, harapan, agar kaum Betawi, bak sirih balik ke batang. Pulang ke sumber kemuliaan, nilai-nilai ke-Islam-an, sebagai pangkal komitmen kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, keadaban, kebenaran, dan keadilan hakiki dalam panduan Al Qur'an, Sunnah Rasul, asuhan ulama - kaum cendekia, dan pemimpin panutan.
Pemimpin yang mencintai dan mendahulukan rakyatnya di atas pilar aqidah, syari'ah, muamalah, dan akhlak kariimah, sebagai manusia dengan kemerdekaan sejati, pengemban amanah sebagai rahmat atas semesta.
Pemimpin dengan keilmuan yang luas dan pengalaman yang kaya, memandu kaumnya untuk kembali memakmurkan masjid sebagai pusat peradaban, memaknai madrasah (lembaga pendidikan dasar sampai tinggi) sebagai pusat keilmuan dan budaya, serta memberi makna hakiki atas pasar sebagai pusat muamalah sosio ekonomi.
Pemimpin yang memandu jalan memanifestasikan asa: sejahtera bahagia di dunia dan akhirat, seraya terbebas dari petaka.
Pemimpin laksana Muhammad Husni Thamrin, yang tahun 1918 membentuk Perkoempoelan Kaoem Betawi dan satu dasawarsa kemudian, menjadi anasir penting Kongres Pemoeda (28 Oktober 1928) yang berhasil merumuskan Soempah Pemoeda ( bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, berbahasa persatuan Indonesia).
Perkoempoelan Kaoem Betawi merupakan salah satu organisasi, anasir penting dalam proses perjuangan mewujudkan gagasan zelfbestuur yang dipekikkan Omar Said Tjokroaminoto (16 Juni 1916), pangkal tolak gelora gairah dan ghirah kemerdekaan.
Kemerdekaan itu mewujud, melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno - Hatta di Pegangsaan Timur 56 - Jakarta, yang diikuti pejuang Kaoem Betawi.
Kaum Betawi -- dipimpin Letnan Kolonel Moeffreni Moe'min -- pula yang berada di garda paling depan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, antara lain, lewat Rapat Akbar Ikada (19 September 1945). Inilah aksi unjuk daya rakyat untuk menegaskan hakikat kemerdekaannya.
Selepas itu, meski diakui sebagai masyarakat inti Jakarta dengan segala sanjung puja, kaum Betawi harus terus berjuang untuk sungguh memimpin kota Jakarta, tanah tumpah darahnya.
Sejak era kemerdekaan, posisi kaum Betawi hanya menjadi orang kedua (Wakil Gubernur) dalam kepemimpinan kota Jakarta, hanya satu periode (2007 - 2012) sosok berdarah kaum Betawi - melalui Fauzi Bowo.
Padahal kaum Betawi terdidik telah menunjukkan kemampuannya sebagai akademisi -- termasuk guru besar di berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri --, kaum profesional, ulama, budayawan (termasuk seniman dan wartawan di dalamnya), pengusaha, dan politisi (termasuk pengemban amanah sebagai Menteri dan Duta Besar).
Sistem rekrutmen kepemimpinan melalui partai politik yang sudah terkontaminasi dengan pragmatisme politik dan politik transaksional yang mengundang kuasa oligark, menghambat sosok kaum Betawi memenangkan pertarungan dalam sistem pemilihan langsung.
Kaum Betawi melalui para wakilnya di DPRD DKI Jakarta dan Badan Musyawarah Betawi, berjuang terus, namun baru sampai pada terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, diikuti Pergub Nomor 229 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi dan Pergub Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Betawi.
Masih panjang masa berjuang bagi kaum Betawi untuk menghadapi tantangan existential risk, termasuk bagaimana mengembangkan kebudayaan Betawi dan memposisikan seluruh gerak dinamika pembangunan sebagai suatu gerakan kebudayaan.
Pembangunan yang bertumpu di atas pilar pendidikan, budaya dan religi, ekonomi, dan kesehatan, serta praktik politik berkeadaban.
Selaras dengan itu, tak lagi cukup bagi kaum Betawi hanya memainkan peran sebagai palang pintu bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kaum Betawi harus terus menggali nilai-nilai dasar kehidupan yang membentuknya menjadi kaum yang egaliter, kosmopolit, inklusif, demokratis, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan unggul dalam peradaban.
Dimensi adat -- yang merupakan paduan budaya dan religi -- kaum Betawi mesti terus disempurnakan tanpa henti. Wake up call (sharkhat yakazah) - isyarat untuk bangkit dan terjaga, harus terus diserukan, melalui kelembagaan adat, pendidikan, dan ekonomi yang mesti menjadi focal concern seluruh kaum Betawi.
Dalam konteks inilah, diundangkannya UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang tak lagi menempatkan Jakarta sebagai ibu kota NKRI, menjadi salah satu seruan wake up called yang mesti direspon tepat. Perlunya keberadaan lembaga (Dewan, Majelis, atau apapun istilahnya) adat Kaum Betawi dalam tiga tumpu (triangle of government) penyelenggaraan pemerintahan dan kepemimpinan unuk melayani seluruh rakyat di Jakarta secara lebih berkualitas.
Undang Undang pengganti Undang Undang No. 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, mesti secara eksplisit dan implisit mengatur keberadaan lembaga Adat Betawi.
Seluruh wakil rakyat perlu ambil peduli dan merespon berbagai gagasan dan pemikiran dari kalangan kaum Betawi -- melalui berbagai focus group discussion -- yang bahkan sudah sampai ke fase naskah akademik dan draft Undang Undang.
Pimpinan partai politik diharapkan mempunyai kepekaan dan kesadaran poitik dan antusias merespon gagasan utama tentang perlunya keberadaan lembaga Adat Betawi sebagaimana berlaku bagi masyarakat Aceh dan Papua.
Kinilah momentum tepat bagi para pimpinan partai politik menunjukkan simpati, empati, apresiasi, dan respek kepada kaum Betawi, sebagai bukti kesadaran kebangsaan dan ke-Indonesia-an mereka, sebagaimana kaum Betawi sudah membuktikannya selama lebih 495 tahun. Khasnya sebagai host dan fasilitator yang baik, ketika mereka -- sejak 17 Agustus 1945 -- menegaskan Jakarta sebagai melting pot ke-Indonesia-an.
Kaum Betawi sendiri kita yakini, terus mengelola kesadaran kebangsaan dan ke-Indonesia-annya untuk terus menjaga Republik, dengan terus-menerus dan berkelanjutan menempa diri.
Menempatkan dirinya sebagai jawara pilih pelataran (dalam makna luas) yang siap memainkan peran kompetitif - komparatif - kolaboratif, dengan pengembangan kualitas diri sesuai perkembangan zaman menuju peradaban Society 5.0.
Mengembangkan potensi sebagai pemimpin kompeten, bersandang adab (akhlak), termasuk fastoen, norma, dan etika). Tidak lancung (jahat, koruptif, semena-mena), jujur, adil, dan mendahulukan kesejahteraan - kebahagiaan rakyat.
Tidak limbung dan tidak goyah menghadapi tantangan zaman dan peradaban, konsisten menjalankan sikap hidup efektif dan efisien, cermat dan teliti dalam bertindak. |