Bang Sem
TAK percuma Fadli Zon berkuliah di Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Indonesia. Anak muda yang kini Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, itu di tengah kesibukannya berpolitik menulis beberapa puisi menarik. Salah satu puisinya yang menarik (ditulis 16 April 2014), bertajuk: Raisopopo.
Begini, puisi itu :
aku raisopopo / seperti wayang digerakkan dalang
cerita sejuta harapan / menjual mimpi tanpa kenyataan / berselimut citra fatamorgana
dan kau terkesima
aku raisopopo / menari di gendang tuan
melenggok tanpa tujuan / berjalan dari gang hingga comberan / menabuh genderang blusukan
kadang menumpang bus karatan / diantara banjir dan kemacetan / semua jadi liputan
menyihir dunia maya / dan kau terkesima
aku raisopopo
hanya bisa berkata rapopo
Puisi naratif dengan alur logika sederhana disertai pilihan kata yang juga sederhana ini muda dicerna. Puisi model begini bisa dituliskan siapa saja untuk mengekspresikan impresi yang dia tangkap dari lingkungan alam fisik dan sosial yang menjadi inspirasi. Bila puisi ini hendak ditafsirkan sebagai peluru politik untuk menembak sasaran, boleh-boleh saja. Hasto, Wakil Sekretaris Jendral Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), misalnya, menyebut puisi Fadli Zon itu sebagai pemaksaan kaidah sastra untuk keperluan perang. Akibatnya tidak hanya kekacauan logika, namun pemutarbalikan fakta.
Hasto mengemukakan, "Aku raisopopo seharusnya menjadi ungkapan kejujuran seorang pemimpin bahwa tanpa rakyat, pemimpin memang tidak bisa apa-apa. Demikian halnya dalam wayang. Wayang merupakan potret dan ritual kehidupan."
Tafsir semacam ini sah. Sama sahnya dengan tafsir lain atas puisi ini. Misalnya, sebagai bagian dari strategi ‘estetis’ dalam menyikapi ‘perang politik’ yang kadung sering panas membara. Apalagi dalam penulisan puisi ini, Fadli Zon menulis dengan memadukan pendekatan artistic dan estetis dan menggunakan beberapa kosakata local Betawi yang popular dan dikenal luas seluruh Indonesia.
Secara konotatif dan denotative, puisi Fadli Zon mengingatkan kita pada pembebasan sastra dari kaidah-kaidah sastra kitsch yang sering dipakai dalam copy write iklan. Umpamanya pantun Puan Maharani: "Jalan pagi pergi ke Menteng, membeli buah sampai empat ikat. Pemilu kini saatnya banteng menang, berjuang untuk Indonesia hebat," Pantun ini diucapkan Puan, selepas penghitungan quick count di Kebagusan (9/4/2014).
Artinya, puisi Fadli Zon atau pantun Puan Maharani bukan merupakan pemaksaan kaidah sastra dalam kompetisi politik, melainkan pemanfaatan kaidah sastra untuk memberi bumbu pada racikan politik. Tak jauh beda dengan cerita naratif Megawati Soekarnoputri ihwal kekayaan alam Indonesia dan ragam kuliner, ketika ia bercerita di hadapan Dubes Vatikan, Dubes AS, dan sejumlah dubes lainnya di kediaman konglomerat Jacob Soetoyo, saat mengantar Jokowi ‘belajar’ tentang hubungan internasional.
Bagi saya, puisi Raisopopo atau puisi lain yang pernah ditulis Fadli Zon jelang Pemilu 9 April 2014 lalu, adalah keniscayaan dan kelaziman yang wajar. Kalaupun ingin mengintip masa lalu di jaman Bung Karno, puisi-puisi semacam ditulis Fadli Zon banyak ditulis. Begitu juga pada tahun 1966-an ketika Taufik Ismail menulis puisi naratif. Boleh jadi, tak ada kelirunya bila menjelang Pilpres 2014 nanti, kita gelar acara Parade Puisi dan Pantun Politisi 2014. Silakan para Capres berpuisi. |