HUJAN KEMALAMAN
rembulan tertutup awan gelap. kelam kian pekat. gelap menyergap. hujan turun deras malam ini. sekumpulan orang dengan wajah lusuh berlari. berteduh di pojokan halte bis kota. tali ravia dan lakban ada di lengan mereka. ada yang menggenggam paku dan memeluk martil.
"ini hujan kemalaman. poster-poster, baliho-baliho, spanduk-spanduk para bebegig sawah dan bebegig seroh belum semua terpasang di jalur jalan ini," kata mandor mereka lewat telepon. entah kepada siapa.
yang lain tersenyum mendengar luah kata sang mandor. yang lain tertawa. ada juga yang tertawa keras. ini masa poster, baliho dan spanduk menyambut pesta demokrasi. merusak wajah kota
"saya berteduh di halte bersama ondel-ondel dan hantu blaow. tak ada yang tertawa di sini. semua diam dan membisu. bagaimana mungkin kau bisa mendengar orang tertawa."
yang lain menahan senyum. sambil lirik-lirikan mata sesamanya.
"oke.. oke sebelum fajar tiba. semua poster, baliho dan spanduk para bebegig sawah dan bebegig seroh sudah akan terpasang. kami akan tembus hujan. tapi tolong hujan yang lain kau bikin turun merata. tambahkan bonus sedikit kilat. transfer ke rekeningku malam ini juga."
yang lain tersenyum. agak lebar. aspirasi mereka tersalurkan. mandor itu memasukkan bimbitnya ke dalam saku celana. sebatang rokok terjepit bibirnya yang pekat. nyala korek api tetiba terhambur ke arah wajahnya. ia mengelak. membuang korek api ke luar halte. lantas terbawa arus genangan air.
"kita tuntaskan pemasangan seluruh poster, baliho, dan spanduk di ruas jalan ini. besok pagi, bebegig sawah dan bebeging seroh akan melintas di sini menuju tempat kampanye."
tetiba semua heboh dan riuh. salah seorang mereka yang nongkrong di bibir halte terjungkal. jatuh ke jalan. beberapa di antara mereka melompat ke jalan. sigap menolong.
tapi dia tak bisa ditolong. tubuhnya diangkat ke halte. direbahkan. semua panik. mandor memeriksa gerak nadinya. segera ia menelepon ambulans.
"sejak sore dia belum sempat makan," kata seorang di antara mereka.
ambulans tiba. mereka gotong lelaki itu ke dalam. dua di antara mereka menemani. ambulans segera melarikannya ke rumah sakit.
hujan reda. hening bak menampung gerimis sisa hujan. bimbit mandor bergetar."apa? apa? inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un." di kejauhan kumandang adzan subuh terdengar.
[Jakarta, 13.11.24]
*bimbit : telepon genggam
DARI PANGGUNG DEBAT PILKADA
mimpi, ilusi dan fantasi bersekutu dengan dusta
terpilin dalam retorika
muncrat dari celah bibir kandidat
ditanya kiri, kanan jawabnya
ditanya jalan desa
desa tertinggi di dunia jawabnya
ditanya kemiskinan desa dan kota
hasrat membangun taman fantasi jawabnya
rakyat ngakak
jemarinya memainkan tombol remote control
layar televisi padam
beribu bahkan berjuta jemari
melakukan hal yang sama
lantas bagaimana kalian bertanya
persepsi rakyat ihwal kandidat
kepada siapa rakyat hendak memberi mandat
dari panggung debat pilkada
persis panggung debat segala pemilihan
untuk dan atas nama demokrasi
kata menerbangkan dusta
akal meninggalkan budi
budi sibuk memainkan bimbit menerka angka-angka
menyelinap di balik judol dan penjol
berjuta rakyat sekalian wakilnya benjol-benjol
berharap ria mendapat lara
tak dibahas dalam debat pilkada
pet !
(Mahendra, 7/11/24)
PERKABUNGAN
pada kematian budi. nurani dan naluri meratap lara. menangis rasa berurai sansai dan nestapa. akal menunduk. memandangi gundukan bumi bertabur pilu. ia berkata lirih
"masih adakah yang harus kita tangisi? burung-purung phoenix senantiasa tertetas kembali. meski matahari redup tertutup gumpalan do'a. yang tak melesat ke haribaan Tuhan."
akal merunduk dan bicara terbata :
"berbilang warsa aku bersama budi. ia tak pernah mengeluh meski terluka. di jelang kematiannya nan pedih. kala kuku-kuku rimau yang berubah kucing mencakar. ia menyisakan senyum yang dibawa runcing kaki hujan. menghunjam bumi."
nurani memandang naluri. naluri menjeling hendak mengusik rasa. rasa masih menunduk sedih. akal menabur kelopak-kelopak kamboja terakhir. ia bersimpuh di rumput sungkawa. pawana berembus. akal kembali bicara :
"perkabungan ini hendaklah perkabungan terakhirku. budi pergi telah melesat ke luar bentang imaji.. aku akan hidup sendiri entah sampai bila. sebentar lagi petaka akan tiba. kala amarah bersekutu dengan asmara. menumpas segala kebaikan dan kebajikan.
mari kita pulang ke rumah batin kita sebelum roboh dihempas beliung zaman. pertarungan para penderhaka berebut kuasa. menjual ibu karena utang dan kepandiran. bertumpuk-tumpuk."
langit tetiba mendung. ribut bergerak cepat. kilat menyambar. hujan kepedihan turun lebat. orang-orang berlari mencari perlindungan. kita mesti tiarap. berlindung di balik lunglai alang-alang?
(Menes, 20/10/24)
ISYARAT DI DINDING RUANG KERJA
kepada cucuku HFZ
kupandangi gambar-gambar hasil olah imaji dan tanganmu di dinding ruang kerjaku. gambar-gambar penuh watak dan jiwa srikandi.
kau menggambar rumah dan kota. isyarat batinmu kelak.
ya.. kita harus menjaga kota ini tak menjadi kota gombal. di tangan petinggi gombal. di tangan lelaki berselimut masa belia. terobsesi janda kaya pengumbar asmara pemburu lelaki miskin tak berdaya.
ya.. kita harus menjaga kota ini dari lelaki megalomania terperosok dalam kubangan fantasi. terobsesi pusat hiburan jauh di pulau. obsesi yang menutup hasrat oligarki. menguasai pulau-pulau tempat para judi mempertaruhkan nasib bangsa. berkelindan para pelacur politik menjajakan diri dalam transaksi remang.
kita harus menjaga kota ini sungguh menjadi kota manusia merdeka yang paham hakikat kemerdekaan. kota manusia cendekia yang berpadu meraih rezeki halal yang disediakan Tuhan. kota tempat para jawara asli mempertahankan muru'ah. bukan tukang pukul bak centeng cukong di masa lampau.
terima kasih. lewat gambar-gambarmu di ruang kerjaku. kau kirim pesan dari masa depan: kota ini kota kolaborasi tempat kemuliaan dan keberanian melawan penjajah ditanam dan disemai para datukmu.
(jakarta, 10/11/24)