Museum MACAN Katarsis Menyegarkan Bagi Jakarta

| dilihat 2838

AKHIRNYA jakarta mempunyai museum seni modern dan kontemporer, yang pembukaannya diawali dengan menggelar pameran, sejak 4 November 2017 lalu.

Waktunya berdekatan dengan pameran Biennale Jakarta, menyusul pameran Biennali Yogyakarta.

Museum seni modern dan kontemporer itu diberi nama Museum Macan, yang merupakan akronim Modern and Contemporary Art in Nusantara. Macan itu sendiri punya makna konotatif, sama dengan nama lain binatang yang perkasa, Harimau.

Museum menyatu dalam kompleks perkantoran dan hotel Menara AKR bersebelahan dengan kompleks stasiun televisi swasta RCTI di wilayah Kebon Jeruk, tak jauh dari pintu tol Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Posisinya, persis di ujung Jalan Panjang dan Jalan Pejuangan.

Ini adalah telaga batin Jakarta yang riuh, macet, dan bising. Minggu, 10 Desember 2017 lalu, diajak anak, saya datang ke sini. Menarik. Museum seni modern dan kontemporer ini, mulanya diniatkan sebagai museum pribadi, yang dibangun dan didirkan oleh pengusaha properti, logistik dan energi, yang juga kolektor seni Indonesia, Haryanto Adikoesoemo. Dia pemimpin AKR Corporindo. Sebagai kolektor seni, pengusaha ini sudah mengumpulkan tak kurang dari 800 karya seni modern dan kontemporer Amerika, Eropa, dan Asia.

Museum terletak di lantai lima sebuah menara AKR seluas 4.000 meter persegi, dengan area edukasi dan konservasi. MET Studio Design Ltd yang berbasis di London, merancang desain interior museum yang lapang, nyaman, modern, dan hemat energi ini. Dengan dinding kaca tembus pandang dan semuanya menampilkan kesan seni moderen dan komntemporer, museum ini menawarkan cakrawala baru ruang pamer karya seni rupa, baik seni lukis dan instalasi, yang apik. Alur masuk dan keluar museum ini memungkinkan semua pengunjung dapat melihat dan mengetahui perkembangan karya seni yang dipamerkan.

Sebuah mobil VW kodok warna kuning yang direkabentuk menjadi sebuah bola, bola dunia yang tenggelam di lantai, dan beberapa karya instalasi lainnya, dipamerkan di sini. Sebuah ruang kecil berdinding hitam dengan beberapa kursi panjang, menjadi ruang videotik untuk pengunjung beroleh informasi tentang museum itu.

Pengelola museum mendeskripsikan, museum Macan merupakan institusi seni di Jakarta, dan merupakan institusi pertama yang memberikan akses publik terhadap koleksi seni modern dan komntemporer Indonesia dan internasional yang signifikan dan terus berkembang.

Aaron Seeto, direktur museum ini menerangkan, untuk kali pertama debut museum diawali dengan koleksi pendiri museum. Seeto berpengalaman mengurusi museum seni seperti ini. Sebelumnya, dia manajer kuratorial seni Asia dan Pasifik di Queensland Art Gallery di Australia.

Seeto tak keliru ketika menerangkan, museum ini memberi peluang kepada pengunjung untuk berinteraksi dengan perkembangan historis dunia seni rupa, karena karya-karya pelukis dan perupa sejak era revolusi kemerdekaan, seperti Sudjojono dan Affandi ada di sini. Pun begitu juga dengan karya-karya nyeleneh dan kontroversial pelukis generasi kemudian, seperti Arahmaniani Feisal bertajuk Lingga – Yoni, dipajang di sini.

Pemngunjung juga bisa menyaksikan instalasi berupa babi berlumur warna-warna yang sama persis dengan bendera Amerika Serikat dalam keadaan rebah, diburu anak-anak babi kecil berlumur warna yang sama dengan bendera Israel dan lain-lain. Konsep ruang pameran dan penataan komposisi materi karya seni yang disajikan di museum ini, terasa interaktif, disertai dengan cafe corner dengan  pemandang sekelilingnya, serta gedung-gedung jangkung di kejauhan.

Karya-karya seniman Indonesia, seperti FX Harsono, Heri Dono, Affandi, Raden Saleh Bustaman (pelopor seni modern Indonesia), juga bisa dinikmati di sini. Bersandingan dengan nama-nama besar di seni modern dan kontemporer, seperti Jeff Koons, Robert Rauschenberg, Gerhard Richter, Andy Warhol, dan Yayoi Kusuma dan seniman Indonesia, lain yang telah mendapat sedikit keterpaparan di tingkat internasional. 

Berkunjung ke museum ini, memang berbeda kontras dengan Museum atau Galeri Senirupa yang berada di kawasan Kota Tua dan di seberang Stasiun Gambir – Jakarta. Suasananya kontras, bila tak hendak mengatakan sangat berbeda jauh. Meski lokasinya tidak berada di pusat atau landmark kota, dan pada hari-hari biasa lumayan susah terakses ke sini, setidaknya museum ini mulai menunjukkan bagian dari tren yang terus berkembang. Dan, dapat memasukkan Jakarta, sebagai bagian dari dinamika seni modern dan kontemporer, paling tidak di Asia. Museum ini juga bukan merupakan kesinambungan dari museum Budi Tek yang ditutup pada 2014, karena pemiliknya mengalihkan perhatian ke museum seni yang lebih baru di Shanghai.

Dari katalog museum, pengunjung dapat mengetahui, museum MACAN didirikan dengan cita-cita meningkatkan kesadaran dan apresiasi seni di Indonesia. Dengan cita-cita itu, museum menyediakan sarana dan dan fasilitas untuk pertukaran budaya antara Indonesia dengan dunia, juga menumbuhkan ekologi seni di negara ini.

Pengelola museum ini yakin, seni memiliki kekuatan untuk mengubah cara orang berfikir dan berkehidupan, dan meyakini, bahwa paparan publik terhadap seni dapat mendorong pemahaman lintas budaya dan memperkuat rasa keterkaitan sebagai komunitas.

Museum ini berkomitmen pada pembelajaran sebagai inti dari misinya. “Kami berdedikasi untuk menyediakan kesempatan dan program untuk sekolah, pelajar, dan orang-orang dari segala latar belakang untuk mendukung pendidikan mengenai kesenian yang berkuakitas tinggi,” tulis pengelola museum ini menjelaskan misinya.

Museum juga merencanakan program mewadahi terbentuknya komunitas pecinta seni modern dan kontemporer. “Museum ini memberikan akses kita untuk mengenali dan memahami karya seni modern dan kontemporer, yang terus berkembang dinamis,” ungkap Aghnina Maulidina, mahasiswi Sekolah Arsitektur dan Perencanaan Publik – Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sengaja pulang ke Jakarta untuk menyaksikan pameran ini.

“Banyak karya di sini bisa menjadi katarsis di tengah situasi jaga yang cenderung understressed,” ungkap Filza, mahasiswi semester akhir Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Jakarta. “Apalagi ada beberapa bagian ruang yang di desain menjorok ke dalam, dan memungkinkan kita berinteraksi dengan obyek lukisan yang dipamerkan,” tambahnya.

Ini awal yang bagus bagi sebuah ibukota negara. “Sebagai metropolitan dan ibukota negara, museum seperti ini perlu,” ungkap Claire, seorang ekspatriat asal Perancis yang sudah bermukim setahun di Jakarta. “Akan lebih bagus juga, bila di sini juga ditampilkan lukisan tentang masyarakat asli Jakarta. Saya pernah melihat pameran lukisan Betawi dari pelukis Betawi yang juga dosen di salah satu universitas,” cetusnya.

“Museum ini asyik. Membuka mata hati dan pikiran kita, bahwa Indonesia punya yang begini,” ujar Vera, mahasiswi Universitas Trisakti. “Dengan desain interior yang modern dan juga komporer seperti ini, animo generasi kami, pasti tinggi juga,” cetusnya.

Sebagian pengunjung museum ini memang lebih banyak generasi millenial, yang muda dalam usia, tetapi punya pandangan jauh ke depan. “Ketika melalui media kita banyak dikepung beragam informasi yang keras dan simpang siur, di sini kita mendapatkan kejernihan batin,” pungkas Vera. | Bang Sem

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya