Bang Sem
BANYAK alasan suatu negara memindahkan ibukotanya. Selain karena kota lama telah tak layak lagi karena terlalu padat dan terkesan kumuh serta ancaman bencana alam, juga untuk membangun kebanggaan nasional. Malaysia memilih alasan ini untuk mengubah ibukotanya, Kuala Lumpur (KL).
Sampai awal dekade 90-an, Malaysia menghadapi problem yang sama. Dimensi pembangunan Malaysia modern di bawah panduan Perdana Menteri Malaysia dengan Wawasan 2020 (pada tahun 1990) begitu dinamis bergerak. KL sebagai ibukota negara telah nyaris tak berkutik oleh beragam persoalan yang mengepungnya. Berbeda dengan era sebelumnya.
Dengan persetujuan Yang Dipertuan Agong Malaysia, Sultan Azlan Muhibbuddin Shah, dari Negeri Perak, dan Parlimen Malaysia, pemerintah pimpinan Perdana Menteri Dr. Mahathir Mohammad mengambil keputusan strategis: memindahkan pusat pemerintahan ke Puterajaya - Selangor. Spirit transformasi, perubahan struktural dan kultural melandasi keputusan itu. Lantas, dibentuklah suatu tim khas untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis prospek perkembangan KL di bawah koordinasi Menteri Wilayah Persekutuan dan Dewan Bandaraya Kuala Lumpur (DBKL).
Secara geologis, KL tak cukup aman dari ancaman banjir yang bisa datang kapan saja. Selama tinggal di kota ini, saya mengalami beberapa kali banjir. Kerisauan mencuat ketika banjir menggenang Masjid Jamek Kuala Lumpur. Kota lama ini dialiri lima sungai (Klang, Gombak, Kuyoh, Bunus, dan Kerayong). Pemerintah memprediksi perkembangan KL akan menghadapi persoalan laten: traffic jam dan banjir besar. Upaya mengurangi persoalan itu secara terpadu, pun dilakukan. Pemerintah membangun deep tunnel yang disebut Smart Tunnel, terdiri dari beberapa layer untuk saluran air dan kendaraan.
Terowongan ini hanya mengurangi 45% banjir dan mengurai traffic jam pada waktu-waktu sibuk. Karenanya dibangun lurus dari Sungai Klang ke sungai Kerayong yang posisinya lebih rendah. Dengan begitu, ancaman banjir dari luapan Sungai Gombak, Bunus, Kerayong, dan Kuyoh masih sangat potensial. Paling tidak pembangunan SMART tunnel, mengurangi beban KL yang sampai tahun 2020, diprediksi masih akan tergenang banjir.
Untuk mengatasi problem over populasi di awal 90-an membuat pemerintahan Dr. Mahathir Mohammad berfikir lebih menyeluruh dan integral. Yaitu, memberi fungsi – fungsi baru konurbasi kota untuk mengurai bertumpuknya beragam fungsi di kota ini. Langkah strategis yang ditempuh pertama kali adalah membangun infrastruktur negara di semenanjung mulai dari Johor Bahru, KL, dan ibukota-ibukota Kesultanan Negeri, dan wilayah-wilayah otonom seperti Pulau Penang dan Melaka. Pembangunan lebuh raya (jalan tol) yang menghubungkan KL dengan sejumlah ibukota Negeri, serempak menggerakkan pembangunan di negara-negara bagian sebagai sentra-sentra andalan.
Perkembangan konurbasi dan kawasan penyangga ibukota yang berada di wilayah kenegerian Selangor Darol Ehsan, pun dibangun menjadi kota-kota baru yang menarik. Pemerintah membangun wilayah-wilayah yang mulanya menjadi hinterland dan buffer zone Kuala Lumpur, seperti Petaling Jaya, Subang Jaya, Kelana Jaya, Bangsar, Damansara, Bangi, Sentul, Bukit Jalil, Shah Alam, Sepang dan lainnya. Di Sepang, pemerintah membangun KLIA (Kuala Lumpur International Airport) sebagai gerbang utama Malaysia, dan sirkuit formula 1 sebagai salah satu magnet wisata Malaysia.
Relokasi penduduk KL pun di lakukan ke sana, bahkan tak membuat mereka berniat kembali. Pembangunan KL sebagai kota modern sangat drastis. Zona kota yang dulu merupakan pacuan kuda dan permukiman, dijadikan landmark kota modern KLCC (Kuala Lumpur City Center) dengan menara kembar Petronas (Tween Tower) sebagai ikon utama. Kini pemerintah baru merampungkan Sentral Station sebagai simpul utama moda transportasi darat berupa stasiun kereta api, terminal bis, dan pusat belanja.
Prasarana kota modern dibangun berorientasi post modernisme. Kuala Lumpur lebih diarahkan menjadi pusat niaga dan bisnis berkelas dunia. Fungsi politik disisakan dengan memelihara lima simbol utama: Istana Sultan (Yang Dipertuan Agong), Parlemen, Markas Besar Partai Politik, Masjid Negara, dan Dataran Merdeka. Fungsi pendidikan dan peradaban dipindahkan ke Bangi dan Trengganu. Posisi Kuala Lumpur sebagai ibukota negara dipertahankan. Karenanya, kantor kedutaan besar negara sahabat masih terpusat di kota ini. Permukiman untuk orang asing disediakan di Sentul.
Tahun 1996, Dr Mahathir, memilih bekas perkebunan sawit Perang Besar di Selangor Darol Ehsan sebagai kota baru pusat pemerintahan. Sejak tahun itu juga kawasan bekas perkebunan ini diubah dan dibangun dengan konsep sebagai kota modern berjiwa religi. Dilengkapi dengan pembangunan kawasan saiber (cyber zone). Pembangunan dimulai dengan membangun Kantor Perdana Menteri, zona kementerian, pemukiman kaki tangan kerajaan (pegawai negeri), Masjid Putra, danau buatan, dan sentra-sentra unggulan. Perang Besar dipilih sebagai pusat pemerintahan karena tekad Malaysia memerangi penyakit kultural melayu: malas, terjebak pada kejayaan masa lalu, senang bertikai, miskin, dan terjajah.
Tahun 1999, pemerintah memindahkan pusat pemerintahan pun ke sini. Nama Perang Besar pun diubah menjadi Putrajaya, untuk mengenang Bapak Bangsa Malaysia Tunku Abdurrahman Putera dan komitmen akselerasi pencapaian Wawasan 2020: Malaysia Berjaya sebagai negara termaju dan terdepan di Asia.
Kota ini, kini kian elok dengan ruas jalan yang lebar dan keberadaan Masjid Tuanku Mizan Zainal Abidin yang dikenal sebagai masjid besi. Juga gedung-gedung kementerian yang indah, elok, dan gagah di sepanjang bulevar yang menghubungkan Kantor Perdana Menteri dan PICC (Putrajaya International Convention Center) yang sama terletak di atas bukit. Bila dilihat dari udara core Putrajaya laksana pending, penghias pinggang perempuan Melayu. |