Njid Haèdar
Terlalu banyak dan beragam definisi tentang budaya dan kebudayaan. Untuk artikel ini, saya meminjam definisi Kluckohn, dan Schein, antropolog Amerika Serikat.
Menurutnya, “Budaya adalah cara berpikir, merasakan, dan bereaksi suatu komunitas manusia, terutama yang diperoleh dan ditularkan melalui simbol-simbol, dan merepresentasikan identitas spesifiknya: mencakup simbol-simbol konkret yang dihasilkan oleh komunitas itu. Inti dari budaya terdiri dari ide-ide tradisional dan nilai-nilai yang melekat padanya "
Menurut E.Schein, budaya merupkan cara sekelompok orang menyelesaikan masalah dan dilema yang mereka hadapi.
Saya pinjam pandangan kedua antropolog, itu untuk memahami realitas keberbagaian (pluralitas) dan keragaman (multi) budaya di berbagai peringkat masyarakat kita (Indonesia) yang mesti secara kenegaraan menerapkan sistem demokrasi yang bertumpu pada rakyat. Namun dalam praktik kehidupan sehari-hari sangat terkesan dan terasa feodal, serta terikat oleh pola relasi dan korelasi sosial patronase dan klientelisma. Baik relasi tuan - hamba (patron client) maupun traditional authority relationship.
Saya melihat jarak budaya yang membentang antar komunitas di negeri ini, dalam banyak hal. Yang paling mutakhir adalah isu yang mengemuka di balik berbagai kasus sosial yang sangat kuat berdimensi politik. Terutama, kasus gaduh dan sentak sengor belakangan hari, ihwal pulangnya Habib Muhammad Rizieq Shihab (Haris), dan berbagai peristiwa yang menyertainya.
Peristiwa simpel dan sederhana yang menjadi rumit, karena jarak budaya yang terbentang. Khasnya antara pemerintah (patron client relationship) dengan Haris dengan pengikut dan simpatisannya, yang berhari-hari menjadi topik 'temu bual' (gunemcatur, talkshow) televisi, media mainstream lainnya, yang makin memperpanjang jarak budaya, itu.
Peristiwa peristiwa itu mengemuka, karena terkesan, perbedaan dan jarak budaya, bukanlah sesuatu yang mudah dipahami. Akibatnya, terlalu banyak orang atau komunitas yang ambil 'untung' untuk kepentingannya masing-masing. Dan yang menarik perhatian saya adalah kian lebar dan dalamnya jurang para pihak (komunitas) yang terkesan sengaja dibiarkan putus komunikasi.
Masing-masing kalangan (komunitas) terjebak dalam pandangannya masing-masing secara subyektif, lebih memantik perbedaan yang memisahkan dan mencerai-beraikan daripada menyatukan.
Tiba-tiba, terasa watak egaliter dan kosmopolit tiba-tiba tertimbun oleh aneka watak dan perangai yang cenderung eksklusif dan ambivalen. Spirit persatuan yang menjamin keragaman secara proporsional sebagaimana diisyaratkan dalam beragam teori tentang demokrasi, memudar.
Setarikan nafas kesatuan dalam konteks integralitas kenegaraan lebih kerap tumbuh memercik dan berkembang sebagai bumbu retorika yang berjarak dalam praktik. Terlalu banyak warga negara dan warga bangsa terbenam dalam lingkungan budayanya, dan melihat budaya lain melalui budayanya sendiri;
Beragam isyarat keilmuan ihwal jarak dan perbedaan budaya menampakkan dengan nyata, persepsi kita tentang budaya seringkali secara spontan, lebih banyak menghadirkan perbedaan. Kita terkepung oleh berbagai bstereotip budaya, yanng dapat merusak persepsi tentang realitas.
Ironisnya, setiap kali kita menyatakan mengenali budaya, justru tak menjawab pasti tantangan pendekatan antar budaya
Kenali budaya Anda dan kenali diri Anda sendiri. Kenali keragaman budaya dan individu. Hari-hari kita disibukkan dengan Identifikasi perbedaan dan lamban berinisiatif mencari titik temu, untuk mendapatkan dan menghubungkan persamaan - persamaan, sehingga abai mempromosikan komunikasi dan pertukaran nilai budaya.
Sejumlah hal yang diisyaratkan antropolog G. Hofstede -- yang antara tahun 1967 dan 1973 melakukan survei internasional sangat besar tentang nilai-nilai budaya di lingkungan personel IBM di seluruh dunia. Khasnya, terkait langsung dengan jarak hierarki, kontrol ketidakpastian, individualisme, dan ssportifitas. Pun, tentang posisi negara dalam konteks memperpendek jarak budaya.
Boleh jadi, karena terlalu sering meletakkan budaya hanya sebagai serpihan saja dari keseluruhan konteks, kita nyaris tak pernah sampai pada keseriusan untuk melihat seluruh dinamika penyelenggaraan negara -- pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan rakyat -- sebagai gerakan kebudayaan, akhirnya masing-masing elemen terserak dijauhkan satu dengan lain oleh jarak budaya.
Inilah risiko ketika politik dan ekonomi diposisikan sebagai panglima dan lokomotif. Kita, nyaris tak pernah mau melakukan evaluasi luas dan multidimensi atas perjalanan perkembangan bangsa. Akibatnya, secara sosiologis dan politis, menjadi bangsa ambivalen.
Dalam konteks ini, benar pandangan beberapa kolega yang mengisyaratkan, dalam situasi kekinian kita, supaya tak menjadi bangsa yang lemah di masa depan, harus dibangun kesadaran untuk menghidupkan seluruh penyelenggaraan negara sebagai gerakan kebudayaan.
Kita perlu merumuskan kembali focal concern bangsa ini. Minimal, mengubah secara berfikir untuk memperpendek jarak budaya, sehingga mampu mewujudkan cara hidup bersanding secara inward. Meneguhkan dan mewujudkan prinsip persatuan untuk memaknai demokrasi sebagai cara mewujudkan harmoni kebangsaan. Tanpa mengabaikan kemampuan bertanding secara outward untuk sungguh menjadi bangsa yang tangguh di masa depan.
Selama lebih tujuh dekade, kita, sudah menjadi seperti yang ternukil dalam salah satu syair lagu Leo Kristi: "Buih-buih memercik di kiri - kanan / Perahu jauh di kaki langit / Terbentang layarku / Kadang naik, kadang lurus / Dipermainkan oleh ombak."
Jangan lagi bentangkan jarak budaya di antara kita, dekatkan dan rapatkan, karena kita punya kewajiban yang sama, menegakkan keadilan dan meranggaskan kesejahteraan kolektif. Dengan cara itu, kita menjawab salah satu tantangan abad 21: "membalik kemiskinan." Karena kemiskinan (kultural dan struktural) masih menjadi persoalan utama yang nyaris tak pernah pergi.
Mari renungkan ulang sajak Rendra, Orang Orang Miskin (4.02.1978) : Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, / bagai udara panas yang selalu ada, / bagai gerimis yang selalu membayang. / Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau / tertuju ke dada kita, / atau ke dada mereka sendiri. // O, kenangkanlah:/orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim // |