Mengingat Siti Quburi di Tengah Arus Deformasi

| dilihat 856

catatan bang sém

MENCERMATI berbagai peristiwa belakangan hari, kala berkunjung ke beberapa pemakaman, tetiba terbayang sosok Prof. Dr. Arthur S Nalan, salah seorang sahabat, sesama anggota Dewan Kebudayaan Jawa Barat (2014-2019).

Kamis (19/12/2019) berlangsung pengukuhan atas dirinya sebagai Guru Besar Sosiologi Seni - Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, di Gedung Sunan Ambu - kampus yang beberapa dekade sebelumnya sering saya kunjungi (ketika masih sebagai kampus ASTI - Akademi Seni Tari Indonesia.

Di pengujung orasi ilmiahnya, Arthur menggelar lakon teater bertajuk Siti Quburi yang disutradarai dari naskah karyanya sendiri.

Ceritanya sederhana, tapi menghunjam.  ihwal Siti Sawiah, seorang penggali kubur yang lebih populer disebut Siti Quburi oleh lingkungan sosialnya.

Suatu ketika, Siti Quburi beroleh amanah, menguburkan sekaligus merawat makam bagi Kabirun. Mulanya Siti Quburi menganggap pemakama itu seperti pemakaman jenazah lainnya, yang sering dia urus proses pemakamannya.

Belakangan hari, Situ Quburi mulai risau dan bertanya-tanya pada dirinya, lantaran keluarga Kabirun, banyak sekali memberi tips dan hadiah kepadanya. Siti Quburi tersentak, begitu tahu, Kabirun merupakan maling uang rakyat yang sering disebut koruptor.  

Malima

Siti Quburi risau dan terlibat dialog dengan suaminya, Kang Telkin. Lantas keduanya terambing ke pangkal kesadaran (base de la conscience) yang menghadapkan keduanya pada dialektika 'inward' dan 'outward' yang membenturkan nalar, naluri, nurani, dan rasa sebagai manusia. Kesadaran asasi untuk berdiri tegak sebagai seorang manusia yang berintegritas, meskin dalam keadaan miskin secara sosial ekonomi.

Siti Quburi sampai pada satu titik balik kesadaran insani, dan bersikap, menolak segala tips dan hadiah dari keluarga Kabirun. Kesadaran insani itu terpantik oleh perenungan spiritual yang dalam, yang menjelma sebagai rasa takut masuk ke dalam golongan 'pemakan hak dan nyawa orang banyak,' di mata Allah. Golongan orang-orang dzalim.

Retno Dwimarwati (Siti Quburi), memainkan sosok sentral lakon ini dengan apik, ditopang M. Tavip Lampung (Telkin). Selebihnya,  Chandra Jumara (Doto), Nanan Supriyatna (penggali kubur) dan Hendra Permana (Kadus) bermain secara fungsional. Arthur dan Retno secara struktural di ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia), kolega sesama Wakil Rektor. 

Lakon Siti Quburi relevan dengan fenomena kebudayaan Indonesia, ketika politik, sosial, ekonomi, hukum, dan beragam aspek yang menyertainya sedang hanyut dalam pusaran global oligarki kekuasaan, dan sedang berlomba melakukan penghancuran nalar publik.

Ketika maling uang negara atau uang rakyat dianggap sebagai sesuatu yang biasa, karena pelakunya menyandang julukan koruptor, yang tak menegaskan kejahatan luar biasa yang dilakukannya. Apalagi penegakan hukum atas para maling besar, itu tidak membawa efek jera, karena tak berlaku asas pemiskinan. Terutama karena mereka merampas dan menghancurkan nilai-nilai dan norma budaya, seperti malima (mabok, maling, main, madon, mateni).

Malima secara filosofis sangat dimensional secara politik, sosial, dan ekonomi secara asasi memberikan isyarat, bagaimana mabuk, maling, berjudi, melacur dan mateni menempatkan kuasa, kekuasaan, dan penguasaan merampas kemanusiaan dan keadilan. Tapi, asas nilai dan norma ini berhenti hanya pada kotak warisan heritage yang dimasukkan ke dalam peti zaman.

Kesemua itu mengalami degradasi ketika konsepsi pendidikan, khasnya pendidikan seni budaya dengan beragam aktivitas ikutannya (pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat) tercerabut dari esensi pendidikan. Antara lain, ketika, misalnya, penelitian dan pengabdian masyarakat hanya menjadi sesuatu yang artifisial dalam bungkus terminologi proyek.

Karenanya, apa yang dikemukakan Arthur dalam orasinya sebelum Siti Quburi digelar, terkait dengan tawaran tiga langkah RUA (Recoqnize, Understand, Aprecciate) terkait dengan pembacaan sosio budaya secara lebih luas, menjadi penting.

Apalagi, ketika itu, Arthur menegaskan, bahwa  langkah RUA (yang perlu dilakukan secara bertahap dan disadari keampuhannya untuk masa depan generasi dalam konteks pendidikan berbasis budaya) - terkoneksi dengan sikap demokratis sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan; konsistensi dan konsekuensi dalam menegakkan hukum sebagai cara mewujudkan keadilan; dan, kesadaran kemanusiaan yang membumi.

Kesemua ini merupakan modal sosial dan modal budaya untuk berkompetisi dalam kontestasi kebangsaan. Khasnya, ketika terbukti, globalisme kapitalistik dan sosialisme mondial, merupakan sesuatu yang rapuh, dan telah membekap manusia sejagad selama beberapa dekade menjadi manusia (hamba) perut atau abdul buthun dan bukan manusia kepala (yang berfikir, berakal, dan bersikap).

Pentas Ulang

Hamba perut mengagungkan tahta - kuasa dan harta, kegemerlapan status sosial, yang meminjam khalifah Umar bin Khattab, harga dirinya setara dengan apa yang keluar dari perutnya, kaum asfala safilin - yang dengan kekuasaan dan gemerlap harta hasil maling uang negara - uang rakyat, merendahkan dirinya sendiri, menjadi khayawan an nathiq - binatang yang berakal. Bukan sebagai ahsan at taqwiim - yang diberikan perangkat hidup - kemanusiaan yang lengkap.

Sikap Siti Quburi, meski hanya penggali kubur, menolak tips dan hadiah dari keluarga Kabirun (penamaan tokoh ini sesuai, dan relevan dengan isyarat Allah: abba wastakbar, golongan iblis, yang pongah dan rakus) memberi ruang untuk memahami, mengerti, dan menghargai hakikat  kemanusiaan dan eksistensi manusia sebagai insan kamil yang memilih muru'ah, human dignity.

Di tengah dinamika kehidupan bangsa yang masih diwarnai oleh aktivitas maling uang bantuan sosial di tengah pandemi - krisis kesehatan dan ekonomi;  aktivitas raswah - suap menyuap yang belum berakhir; menguatnya kembali konspirasi dan kolusi, yang melibatkan sejumlah petinggi setingkat menteri, pinan partai dan Dewan Perwakilan Rakyat, kita memerlukan ribuan Siti Sawiah alias Siti Quburi yang menolak menerima hadiah atau imbalan ekstra atas fungsi utama profesinya. Pun Siti Sawiah sebagai istri yang tak menerima begitu saja hadiah-hadiah yang di luar kewajaran.

Saya memandang, lakon Siti Quburi perlu dikemas dan dipentaskan ulang sebagai bagian dari konten kreatif melalui sarana massa yang berkembang secara multi media, multi channel, dan multi platform.

Kolaborasi kreatif diperlukan untuk menghadirkannya sebagai salat satu peluit yang harus sering dibunyikan, agar bangsa ini, tidak meluncur ke dalam jebakan fantasi yang kerap diproduksi melalui berbagai retorika politik. Juga mencegah berlangsungnya proses penghancuran nalar publik yang terus bergerak dalam pusaran arus anomali perubahan, dari reformasi ke deformasi. |

Editor : eCatri