Tanggungjawab Budaya Korporasi

Mengembalikan Masyarakat Kepada Budayanya

| dilihat 1695

Bang Sem

BERMULA dari pertanyaan sederhana Direktur Utama BNI, Gatot M. Suwondo, suatu sore. “Sesudah corporate social responsibility yang berubah menjadi corporate community responsibility, apa yang harus dilakukan korporasi untuk memanifestasikan tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat dan lingkungan?”

Pertanyaan itu mengalir begitu saja. Saya jawab ringan, “Corporate Cultural responsibility. Tanggung jawab perusahaan terhadap pengembangan kebudayaan. Tidak terbatas pada seni dan industri kreatif. Mantan Direktur Syariah Bank Danamon itu memandang saya serius.

Dia bercerita tentang aksi program kemitraan dan bina lingkungan BNI terhadap pengembangan industri kreatif, mulai dari industri kuliner, batik, dan pengembangan proses kreatif sinematografi. Terutama untuk memberi warna terhadap tayangan televisi dan film yang dalam banyak hal mengabaikan transformasi nilai-nilai positif dari budaya masyarakat kita sendiri. Tak hanya terkait tradisi, tapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari.

Dari pengalaman BNI melakukan aksi korporasi program kemitraan bina lingkungan (PKBL), menurut Gatot, banyak hal menarik yang seharusnya menjadi perhatian korporasi, luput begitu saja. Bahkan yang sudah diberitakan melalui mass media. “Mengapa?” tanyanya. “Karena artikulasi informasi terhadap persoalan – persoalan itu tidak lengkap tersaji, dan miskin nilai.”

Hal lain, ungkap Gatot, dalam realitas kehidupan sosial kita sehari-hari, kita banyak kehilangan figur role model. Terutama untuk lapisan masyarakat awam. Terutama, karena karakterisasi tokoh yang dikenali dan akrab dengan masyarakat, telah dijungkir-balikkan sedemikian rupa.

Yang disampaikan Gatot tak keliru. Wakil Gubernur Jawa Barat  H. Deddy Mizwar, yang datang dari lingkungan kreatif dan dunia sinematografi, membenarkan apa yang disampaikan Gatot. Ketika tak sengaja bertemu, keduanya berbicara tentang tanggung jawab responsibility terhadap pengembangan kebudayaan, termasuk lingkungan di dalamnya.

“Bila lingkungan rusak, kebudayaan juga rusak. Bila kebudayaan rusak, dengan sendirinya masyarakat akan sakit,” ungkap Deddy Mizwar.

Dalam konteks itu, musisi intelektual Dr. Franky Raden yang kerap melakukan penelitian tentang aspek budaya masyarakat dan malang melintang di forum presentasi dan seminar budaya internasional, mengamini pandangan Gatot dan Deddy.

Franky mengambil amsal tentang penelitian budaya, termasuk penelitian seni, yang tak begitu banyak dilakukan karena terbatasnya anggaran dari pemerintah. Akibatnya, dari hari ke hari karena kreatif berbasis kearifan dan kecerdasan lokal dalam bentuk karya seni dan karya kreatif lainnya satu per satu, punah. Ironisnya, ketika karya seni dan kreatif itu dibawa oleh masyarakat budayanya bermigrasi ke negara lain, kemudian berkembang, kita teriak-teriak protes.

Pendapat yang sama dikemukakan Diren Bulut dari jurusan Marketing – Fakultas Manajemen Bisnis Universitas Istanbul – Turki dan Ceren Bulut dari Fakultas Seni Rupa Universitas Eylul – Turki. Dalam penelitiannya tentang Corporate Cultural Responsibility, Diren dan Ceren menemukan kenyataan getir. Meskipun budaya dan seni memiliki peran penting dalam peradaban masyarakat, tapi dukungan terhadap kreator dan pekerja seni dan budaya untuk mempertahankan kreativitas dan inovasi mereka, relatif sangat kecil dan lemah.

Keduanya berpandangan, korporasi tak pernah bisa melepaskan kepentingan binsisnya ketika memberikan dukungan dalam konteks bina lingkungan sosial terhadap masyarakat budaya. “Kalangan korporasi bersikap, setiap investor mengharapkan dana yang mereka keluarkan, sepenuhnya kembali,” ungkap Ceren.

Dalam keadaan ini, tegasnya sebagian kreator dan pekerja seni dan budaya, berjuang sendiri untuk bertahan hidup, meskipun korporasi, nyaris selalu memperoleh manfaat dari karya mereka. Diren memandang, kendala keuangan para kreator dan pekerja seni menghasilkan karya bermutu yang mentransformasikan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sosial, cenderung berjarak dengan para pengendali korporasi.

Gatot memandang, bangsa ini memerlukan kecerdasan budaya. Kecerdasan budaya itu, menurut Deddy Mizwar, hanya mungkin dapat dilakukan, bila proses pendidikan budaya, termasuk eksistensi lembaga pendidikan kesenian dan proses kreatif para seniman dan budayawan terjamin eksistensinya secara berkelanjutan.

Dengan cara itu, ungkap Franky Raden, kesulitan kreator dan pekerja seni dalam mentransfer pengalaman, pengetahuan, imajinasi, dan visi mereka tidak dapat diselesaikan sendiri oleh mereka. Korporasi dapat memainkan peran melalui tanggung jawab budaya perusahaan.

Jadi? “Perlu langkah konkret,” ungkap Deddy Mizwar. Gatot dan Franky setuju tentang hal itu. Caranya? “Tanggung jawab sosial, kemasyarakat, dan budaya mesti menjadi isu penting bagi korporasi. Di sini, kemitraan korporasi dengan kreator, pekerja seni, komunitas seniman, dan lembaga pendidikan seni, harus berperan,” ungkap Ceren. | bang sem

Editor : Web Administrator
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 72
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 238
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 270
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 428
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 998
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 235
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 711
Momentum Cinta
Selanjutnya