Renungan Awal Tahun 2023

Membaca Sebait Puisi Rumi Memahami Diri

| dilihat 800

Catatan Bang Sèm

Semua yang terjadi selama tahun 2022, sejak kemarin sudah menjadi sejarah. Boleh jadi, kita menjadi salah satu pelaku, penyaksi, pencatat, dan penulis sejarah di balik seluruh peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Satu episode sejarah kehidupan sudah kita lalui, dan kini kita mulai mengayunkan langkah untuk menapaki setiap tahap episode berikutnya. Yang tersisa adalah pertanyaan sederhana: sudahkah kita rampungkan semua tugas dan tanggung jawab insani sebagai pembawa rahmat atas semesta, sehingga kita akan memulai tugas dan tanggung jawab insaniah yang baru?

Allah menyediakan waktu 12 bulan, 52 minggu, 365 hari, 8,760 jam, 525,600 menit, dan 31,536,000 detik dengan ribuan, bahkan jutaan ruang dan peluang untuk mencapai kondisi hidup yang membahagiakan dan dirahmati-Nya. Akankah kita beroleh seluruh waktu dan kesempatan yang tersedia, itu untuk melaksanakan kebaikan dan kebajikan? Wallahu a'lam bissawab.

Kita tidak punya kecerdasan untuk memprediksi berapa lama masa hidup kita ke depan. Akankah berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan tahun? Sama tidak cerdas dan tidak pandainya kita untuk memprediksi apa yang bakal terjadi dalam kehidupan kita.

Jalaluddin Rumi, dalam salah satu puisinya mengisyaratkan, hidup kita sebagai manusia, sepenuhnya dalam 'genggaman' Allah, Al Khaliq yang menciptakan semesta termasuk manusia di dalamnya. Jadi, hanya Allah yang amat sangat menentukan, berapa bilangan waktu yang tersedia bagi kita, manusia, untuk menunaikan tugas dan tanggung jawab sebagai khalifah (representative) eksistensi-Nya.

Allah lah, mata air kehidupan seluruh insan. Allah pula 'sahabat' paling karib yang tak pernah lelah dan bosan meringankan (sekaligus mengangkat) beban di punggung, melapangkan dada, menyediakan kemudahan dan inspirasi di balik kesulitan manusia dalam menunaikan tugas dan kewajiban asasinya. Kewajiban asasi yang berbalas hak asasi insaniah, yakni bahagia di dunia dan akhirat, seraya terbebas petaka. Meskipun manusia, sering lari menjauh dari-Nya, bahkan mengingkari eksistensi-Nya, padahal Allah telah mengutus para nabi, menjadi pemandu sekaligus teladan dalam menjalankan kehidupan. Tak terkecuali para utusan yang bertugas menjalankan dan menebar risalah-Nya.

Dalam salah satu puisinya, Rumi menuliskan:

Walaupun dalam kemarahan engkau pergi seratus ribu tahun dari-Ku, pada akhirnya engkau akan datang kepada-Ku, karena Akulah tujuanmu. / Bukankah Aku berkata kepadamu, "Janganlah puas dengan gemerlap fatamorgana duniawi, karena Akulah perancang kemah suci kepuasanmu?" / Bukankah Aku berkata kepadamu, "Aku adalah lautan dan engkau adalah seekor ikan; janganlah pergi ke daratan, karena Akulah lautan permatamu? //

Rumi adalah begawan sufi Persia kelahiran Balkh, Afghanistan (30 September 1207) yang wafat di Konya, Turki (17 Desember 1273), dan dimakamkan keesokan harinya. Makam putera dari pasangan Baha'addin Valad dengan Mu'mina Khatun, ini kini menjadi Museum Mevlana, salah satu destinasi wisata yang ramai dikunjungi peziarah dari seluruh dunia. Rumi adalah penyiar sufi sekaligus teolog Maturidi dan ulama, yang karya-karyanya digemari jutaan orang dari seluruh dunia.

Lewat puisi-puisinya, Rumi berbagi pemahaman asasi tentang kesadaran dan antusiasme insaniah dalam berinteraksi dengan insan sesama, semesta, dan Allah. Di dalam proses interaksi, itu Allah menyediakan ruang yang luas untuk manusia menghidupkan, merawat dan mengembangkan perilaku keberadaban yang mewujud dalam simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta. Sehingga, pencapaian hidup 'bahagia di dunia dan akhirat, seraya terbebas petaka,' bisa mewujud nyata dan menjadi indikator kedamaian dan harmoni.

Untuk mencapai pemahaman dan merasakan semua itu, Allah melengkapi manusia dengan nalar, naluri, nurani, dan rasa, sebagai daya untuk membentengi diri dari intervensi iblis dan setan yang bersumpah kepada Allah akan menyesatkan manusia dan menjadi bahagian dari kedurhakaan mereka. Menyeret manusia ke dalam lembah fantasi dan ilusi fatamorgana duniawi, antara lain: kuasa tahta, harta dan pesona syahwat yang menjelma dalam rupa dan imaji manusia.

Iblis dan setan terus menerus memproduksi ilusi dan fantasi gemerlap fatamorgana duniawi dan mendorong manusia dengan kecerdasan nalarnya, meninggalkan kecerdasan spiritual dan budaya (keadaban) yang membuat mereka menjauh dan bertentangan dari jalan Allah yang dipandu para nabi, rasul, dan orang-orang bijak.

Dalam kebebasannya, manusia meninggalkan dan menanggalkan esensi eksistensinya sebagai khalifah (representative) Allah. Mereka berkutat dengan sikap pikir dan pandangan mereka sendiri, merancang dan melakoni sistem kehidupannya sendiri. Memanipulasi kebebasan yang Allah berikan dan tak menyadari, bahwa mereka adalah makhluk yang pada saatnya akan tiba di batas akhir kehidupan.

Beragam sistem kehidupan dirancang dan dilakoni manusia, mulai dari sistem sosial, ekonomi, politik, ideologi, dan pertahanan diri.

Sebagian manusia merancang dan melakoni sistem kehidupan yang sesuai dengan panduan Ilahi. Mereka bertegak dengan dasar filosofi, ideologi, pondasi keyakinan sebagaimana dicontohkan dan diajarkan para nabi dan rasul. Praktik mnanifestasinya sesuai dengan sistem peradaban mulia yang diisyaratkan Allah. Mereka menyadari, dalam kehidupan di dunia, manusia melangkah menuju batas akhir kebaikan dan kebajikan untuk pulang kembali, menghadap Al Khaliq yang menciptakannya.

Sebagian lainnya, merancang dan mewujudkan sistem kehidupan yang bertolakbelakang dengan apa yang diajarkan dan diisyaratkan Allah. Bahkan dalam banyak hal, menafikan eksistensi Allah. Sekaligus mengabaikan aneka peristiwa kehancuran umat manusia yang terjadi di masa lampau. Misalnya kehancuran umat manusia yang pernah dialami umat pada masa Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW.

Mereka mengulang-ulang perilaku kehidupan liberalisma, menebar riba, menebar petaka homoseksualitas, bahkan menambah dengan penolakan atas takdir gender insaniah dalam keyakinan queer. Pula, perilaku hidup penguasaan ekonomi berlebihan yang mengabaikan tanggung jawab sebagai rahmat atas semesta, yang mewujud dalam sistem politik dan ekonomi yang menghancurkan dan memusnahkan. Sistem kehidupan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keadilan. Padahal, Allah berulang kali memberi isyarat tentang eksistensi dan kuasa-Nya. Berbagai peristiwa, termasuk nanomonster Covid-19, juga menjadi isyarat, bagaimana kerusakan yang ditimbulkan manusia mendatangkan bala yang mencekam.

Rumi mengamsalkan dalam salah satu puisinya, seruan Ilahi, "Did I not say to you, “Go not there, for I am your friend; in this mirage of annihilation I am the fountain of life?” -  Bukankah aku berkata kepadamu, "Jangan pergi ke sana, karena Aku adalah sahabatmu; di dalam fatamorgana kemusnahan ini, Akulah sumber kehidupan?" Fatamorgana kehidupan duniawi adalah kemusnahan, karena yang kekal adalah kehidupan yang paralel berdimensi duniawi dan ukhrawi. Allah lah sumber kehidupan sejati..

Sudahkah kita sungguh menunaikan tugas asasi kemanusiaan kita? Menjadi rahmat atas semesta? |

Editor : delanova | Sumber : foto berbagai sumber
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 918
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1411
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1556
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 497
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1580
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1371
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya