- Catatan Nostalgik

Melayu dan Musik Melayu

| dilihat 2245

N. Syamsuddin Ch. Haesy

HAMPIR setiap malam, di salah satu sudut Hotel Ambhara – Kebayoran Baru, beberapa tahun lalu, kumandang tembang Melayu (asli). Di resto yang menyediakan aneka masakan berbumbu rempah, itu selain tembang dan musik melayu yang disajikan para pemusik berbusana Melayu, pengunjung juga bisa berdendang dan berjoget. Sekali dua kumandang juga tembang gambus mengiring zapin.

Sayang, karena dianggap tak membawa rejeki dan manajemen resto berganti tangan, panggung musik melayu itu ditiadakan.

Melayu adalah rumpun bangsa yang terbentang sejak dari Champa sampai Filipina Selatan. Di Indonesia budaya Melayu, sejak dari Aceh hingga ke kepulauan Maluku yang berjuluk Jaziraatul Mulq, itu. Orang-orang Melayu dikenal egaliter dengan adab bersendi nilai agama: Islam. Para pendiri bangsa ini memilih bahasa Melayu sebagai dasar bahasa ibu.

Di masa lalu, budaya Melayu memengaruhi seluruh produk seni dan budaya Nusantara, baik musik maupun sastra, sejak Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sampai ‘Presiden Penyair Indonesia’ Sutardji Calzoum Bachri. Karya-karya besar para pujangga seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Hamka, Nur Sutan Iskandar, juga Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, dan banyak penyair lagi berpijak pada budaya Melayu yang kuat.

Di kalangan musisi dan biduan, kita mengenal Said Effendy, P. Ramlee, SM Salim, Hasna Thahar, Syaiful Bachri, Emma Gangga, Suhairy, Sharifah Aini, Husein Bawafie, Mashabi, Munif Bahasuan, Saloma, Juhana Sattar, Elly Kasim, Nuskan Syarief,  dan lainnya yang memengaruhi perkembangan musik Indonesia – Malaysia. Dan bahkan (ketika berbaur dengan musik Arab dan India) menjadi pangkal invensi bagi musik dangdut, yang kemudian secara inventif dikembangkan oleh Rhoma Irama dengan memasukkan daya melodi a la Deep Purple.

Berpaham pada sumpah Hang Tuah, ‘Tak Melayu Hilang di Bumi,’ mestinya perkembangan budaya (termasuk musik) Melayu akan terus eksis. Sayang, belakangan, ketika industri musik bergerak sedemikian cepat bersamaan dengan perkembangan teknologi industri, nyaris tak nampak regenerasi.

Beberapa malam lalu, kepada para penggiat musik Melayu yang ‘mangkal’ di Hotel Ambhara: Zuhdi, Darmansyah, Yoyo, Tommy Ali, dan lainnya saya ingatkan perlunya membangkitkan kembali musik Melayu di Ibukota. Bukan lagi dengan spirit: Membangkitkan batang terendam, melainkan menancapkan tiang pancang, sebagai salah satu pilar utama perkembangan budaya Nusantara. Hal itu juga yang saya kemukakan pada penggiat musik chacha Melayu (chamel) di Medan, yang dimotori oleh Kunyil – Churchil dan kawan-kawan.

Saya sepakat dengan Margani Mustar, mantan Deputi Gubernur DKI Jakarta, bahwa di jaman ketika proses transformasi demokrasi berlangsung, dan egaliterianisma masyarakat madani sedang bergerak, budaya Melayu mestinya berdiri tegak dengan segala segak yang dimilikinya.  Dalam konteks semangat menghidupkan kembali kearifan lokal, mestinya pemerintah dapat berapresiasi terhadap pengembangan budaya Melayu. Soalnya tinggal, bagaimana kita memiliki komitmen yang sama untuk menguatkan kembali tiang pancang peradaban bangsa ini.

Di Kuala Lumpur pemerintaj memberi perhatian khas. Di Istana Budayam, beragam format sajian musik melayu ditampilkan. Mulai dari musik standar (musik kamar), orkestra, sampai Opera. Sejumlah musisi Indonesia, seperti Idris Sardi sempat diundang untuk meramaikan sajian musik Melayu. Opera tentang Allahyarham P. Ramlee juga digelar berpekan-pekan dan laku.

Ketika masih mengendalikan programa siaran Televisi Pendidikan Indonesia, selain musik dangdut, saya dorong juga sajian musik Melayu. Antara lain melalui sajian orkestrasi Adhie MS dan kemudian Poerwatjaraka. Saat menjadi penyiar Radio Muara, bersama Anwar Fuady, sekali sepekan saya sajikan musik Melayu.

Dalam pengantar saya pada pergelaran Semarak Dangdut 50 tahun Indonesia Emas, bersama Camelia Malik saya introduksi ‘ruh Melayu’ dalam beberapa nomor lagu. Begitu juga ketika Iis Dahlia merekam Seroja yang kemudian diangkat menjadi sinetron serial yang menggugah nasionalisme di tangan sutradara MT Risyaf.

Belakangan saya angkat tabik kepada Geizs Chalifa yang memelopori kembali kebangkitan musik melayu. Antara lain dengan menghimpun anak-anak muda, termasuk yang tergabung dalam kelompok musik Al Katraz.  Saya salut kepada orang-orang muda yang terus menghidup-hidupkan musik Melayu. |

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya