Endang Caturwati Separuh Abad Berkarya

Kamonesan Uti Meramu Karesmen Ki Lengser Ringkang Gumawang

| dilihat 720

Catatan Bang Sém

Endang Caturwati, guru besar ilmu seni pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), seniwati multitalenta: penari, koreografer, penggubah lagu, penulis puisi, penyanyi, dan sejenisnya, tahun ini mencapai lima dekade (separuh abad) berkarya.

Tak terbilang berapa banyak karya dengan ragam format kreativitas dan inovasi sudah dikerjakannya. Paling tidak, sejak dua karya lagu Sunda berlaras Madenda dan Sorog digubahnya sesuai penugasan gurunya, Nano S, bertajuk Katineung dan Kanya'ah Indung Bapak (1973). Kala itu, ia masih siswi Kokar (Konservasi Karawitan) Sunda, Bandung.

Dua lagu tersebut merupakan creativity kick off kiprahnya sebagai penggubah lagu, sebelum kemudian merambah ke berbagai jenis genre musikal (jazz, bossas, keroncong, sunda, dan pop). Antara lain: Mojang Midang, Dayang Sumbi, Nenden Haté, Alam Éndah, Céngcéléngan, Asih Munggaran, Cimata Ngumbara, Wijaya Kusuma, Kasih tak Bertepi, Mentari, Angan-angan, Di Ambang Biru, Batik Nusantara, Raja Ampat, Do'a dan Cinta.

Pun, karya-karya kolaborasinya, antara lain :  Dewi Sartika (Saini KM); Sekuntum Senyum, Meraih Abadi, Setetes Embun, Menembus Rindu, Ibu Bangsa (bersama Gus Nas); Sang Juwita (Rani); Sebuah Renungan (Alfin Alvian); Tiupan Angin (Wanda); serta, Hanyalah Dia, Swara Insan, Rahmat Cinta, Kias Bidadari, Senandung Palestina, Cahaya Sukma (Sém Haésy).

Ketika mengenalnya pertama kali sebagai mahasiswi ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Bandung, namanya mengemuka karena terpilih sebagai mahasiwi teladan. Kala itu, agenda kegiatannya sudah padat. Ia sebagai penari dan pelatih tari anak-anak dan belia Karang Taruna di lingkungan Malé'ér - Bandung. Kemudian juga menjadi guru di salah satu SMP, selain menjadi perias pengantin.

Endang kian tandang unjuk kreativitas dan karya di panggung tari dan seni. Puteri ke empat pasangan R. Bardjo Hermandijoyo dan R. Ngtn Sri Sudarmi, kelahiran Cibangkong - Kelurahaan Male'er, Bandung (25/ 11/1956) ini, banyak mengisi panggung-panggung pergelaran tari, termasuk di Gedung Pakuan untuk acara-acara khas pemerintah provinsi Jawa Barat. Ia memperkaya empirismanya dengan cabang seni tradisi lain, seperti pencak silat tradisi.

Beragam aktivitasnya, termasuk merias pengantin dan merancang busana, memungkinkannya berinteraksi dengan banyak kalangan dan beradaptasi dengan perkembangan seni budaya dalam makna yang luas. Kegandrungan dirinya atas seni tari, memotivasi dan menggerakkan dirinya untuk melanjutkan studi S1 di ISI (Institut Seni Indonesia), dan menulis skripsi bertajuk Tata Rias Sandiwara Wayang di Kota Bandung (1986).

Mengolah dayanya sebagai artpreneur, Endang mendirikan Rumah Kreatif Hapsari Citra Indonesia (1987) yang mengelola (manajemen) profesionalnya sebagai penari dan koreografer. Ia juga menggelar pergelaran tari dan degung, bahkan sempat bermain sinetron di TVRI Jawa Barat.

Tak berhenti di situ, ia melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan memusatkan perhatian pada Sejarah Seni. Studi S2 dipungkasnya dengan penelitian yang hasilnya ditulis dalam tesisnya bertajuk, "R. Tjetje Somantri Tokoh Pembaharu Tari Sunda" (1992). Masih di UGM juga ia memungkas studi doktoral (S3) dalam program studi Pengkajian Seni Pertunjukan & Seni Rupa. Ia melakukan penelitian dan mempertahankan disertasinya bertajuk "Sinden Penari di Atas dan di Balik Panggung : Kehidupan Sosial Budaya" (2005).

Selain mengabdikan dirinya sebagai pensyarah (dosen), mengelola berbagai program penelitian dan pengabdian masyarakat, menjalankan amanah di jajaran manajemen STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung - perkembangan lanjut ASTI sebelum berubah menjadi ISBI Bandung.

Mulai dari Kepala Bidang Pengabdian Masyarakat sebagai Kepala Humas - Protokol & Penerbitan, Kepala UPT Penerbitan, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Direktur Pasca Sarjana, sampai Ketua ISTI. Ia juga sempat mengemban amanah sebagai Koordinator Konsentrasi Seni UNPAD. Kemudian  Endang sempat hijrah ke Jakarta sebagai birokrat untuk mengemban amanah sebagai Direktur Seni & Film (selanjutnya Direktur Kesenian) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Kemampuannya mengelola waktu, memungkinkan Endang terus berkarya. Menggelar karyanya, antara lain: Balebat, Ronggeng Midang, Kelangan (Jatining Diri), Cahya Sumirat (Hari Tari se Dunia 2019 di Surakarta),  Pertunjukan Tari dan Degung dan membintangi sinetron di TVRI Jawa Barat dan Radio Zora, Astungkara, dan lain-lain.

Selama masa jeda akibat pandemi nanomonster Covid 19, kreativitasnya tak berhenti. Lahir beberapa karya tarinya, seperti Munajat untuk Bumi, Parisukma, dan Purbasari Purbararang yang memadu-harmoni karya tari dan videotek.

Sepanjang lima dekade berkarya, Endang sudah melanglang ke berbagai pentas seni pertunjukan di dalam di luar negeri. Kreativitasnya nyaris tak pernah surut, sebagaimana gagasannya tak pernah kering. Tugas-tugas pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang melekat pada profesinya sebagai akademisi dan jabatan akademiknya sebagai guru besar, terus melahirkan karya-karya.

Ketika melakukan penelitian di Karawang, lahir karyanya bertajuk Rengkak Bentang,  yang mengambil motif dasar gerak genre Tari Jaipong Gaya Karawang, yang ditarikan pada bagian awal pertunjukan (bubuka)  Jaipong.  Sebagai tari selamat datang kepada penonton.

"Selain ditarikan pada pertunjukan jaipongan manggung dengan stuktur pergelaran untuk hiburan klangenan yang terdiri atas 'jaipong manggung,' 'jaipong mencug,' serta saweran, Jaipong Rengkak Bentang, dapat ditarikan sebagai  tarian lepas, untuk berbagai  pergelaran," ungkap Endang.

Dikemukakannya, penciptaan tarian Jaipong gaya Karawang ini, terpicu oleh kenyataan semakin langkanya  sajian 'tari bentuk' pada grup-grup Jaipongan di  Kabupaten Karawang, yang sering disebut sebagai  penari "Pokal," atau  penari primadona dan penari rampak (kelompok) yang menarikan tarian secara utuh.

Menurut Endang, tarian yang disajikan pada masa kini, umumnya sekedar gerak mincid (motig gerak jalan), menuju ke para bajidor atau penggemar - penonton Jaipong, untuk memburu uang saweran.

"Apresiasi Tarian Bentuk atau tarian khusus, hampir tidak dipertunjukkan lagi. Grup-grup Jaipong lebih dominan menyediakan ruang apresiasi untuk para bajidor - pengibing, menari dengan ekspresi secara personal, yang disebut Penjugan." ungkap Endang.

Untuk mengingat ulang perjalanan kreativitasnya sebagai praktisi seni selama lima dekade, di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Jum'at (19/7/24) Endang mengemas karya kreatifnya dalam format karesmen - operet Sunda - yang meramu harmonis berbagai elemen seni pertunjukan (tari, musik - tanpa kecuali musik arumba, angklung, dan band - diatonik dan pentatonik, pencak silat, termasuk teater tradisi dengan adegan dialog khas). Tajuknya, "Ki Lengser Ringkang Gumawang," melibatkan tak kurang 250 orang, termasuk kru.

"Konsepnya edutainment, integrasi hiburan dan pendidikan. Menyunting aspek artistik, estetik, dan etik dalam satu kesatuan utuh. Melibatkan sejumlah sanggar, siswa-siswa sekolah dasar, menengah, bersama mahasiswa dosen ISBI," ungkapnya (Baca: Ki Lengser Ringkang Gumawang Siap Tampil di Taman Budaya Jabar).

Tentang kreativitasnya yang tak pernah padam dan semangat kreatifnya yang tak pernah pudar, dengan rendah hati Endang mengemukakan, bahwa baginya berkarya dan berkiprah dalam dunia seni budaya, sebagaimana halnya ia menjalankan profesinya sebagai pendidik, merupakan ekpresi rasa syukur kepada Tuhan.

"InsyaAllah ini merupakan salah satu bentuk ibadah saya. Mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan. Saya bersyukur, keluarga saya, terutama anak, menantu, dan cucu memberikan dukungan dan terlibat dalam pergelaran ini. Demikian juga mantan murid, anak asuh, dan para kolega," ungkapnya.

Endang, yang tanpa henti berkarya melintasi beberapa fase dengan segala atmosfir dan kondisi, menerapkan pengalaman dan pengetahuannya berharap karya ciptanya mempunyai manfaat bagi orang banyak. Mengkilas balik perjalanan itu, ia mengenang bagaimana dididik seni dan keprigelan oleh ayah ibunya sejak kecil, sehingga tumbuh menjadi individu yang mencintai kesenian dan selalu adaptif dengan perkembangan kehidupan sosial.

Keterlibatan anak-anak dan belia SD, SMP, dan SMA, termasuk cucu-cucunya dalam pergelaran karesmen ini, ia mengulang ingat masa kecilnya ketika pertama kali tertarik pada tari Sunda. Endang belajar menari dan bersentuhan dengan seni sejak masih berusia 6 tahun.

Berbekal kemampuan tari yang dipelajarinya dari beberapa guru, pada saat SD pun, Endang sudah mulai kreatif membuat komposisi tarian untuk mengisi acara di lingkungan tempat tinggalnya, mulai tingkat RW hingga kecamatan. Saat itu, ayahnya (R. Bardjo) - meski orang teknik, tapi sekaligus berkesenian. Karenanya, di lingkungan tempat tinggalnya didaulat sebagai koordinator kesenian di Rukun Warga (RW) tempat keluarganya tinggal, serta sering diminta membuatkan pementasan kesenian untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia.

Endang masih ingat, tarian yang pernah dibuatnya saat masih kecil antara lain, Tari Tempurung dan Tari Payung, yang dimainkan oleh anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. Saat SMP, Endang sudah melatih anak-anak kecil menari.

Sejak menjadi penari dan koreografer profesional, dengan Sanggar Hapsari Citra Indonesia, Endang kerap melatih para penari untuk menarikan koreografi hasil kreasinya dan dan membawa para penari tersebut dalam misi kesenian ke luar negeri atau pertunjukan di dalam negeri dengan membawakan tarian hasil karya. Pada suatu masa, bahkan dia melakukan pertunjukan ke berbagai wilayah Jawa Barat.

Pendekatan praktis dilakukannya untuk mengenalkan seni tari tradisional Sunda. Tak jarang, ia juga menggunakan pendekatan praktis dengan menjadikan tarian sisipan saat memberikan materi dalam seminar atau perkuliahan. Untuk lebih menyebarluaskan pengetahuan mengenai seni tari tradisional serta nilai-nilai kehidupan dalam budaya Sunda, Endang produktif menulis artikel untuk diterbitkan di media massa, dan menulis berbagai buku.

Karya-karyanya dipersembahkannya sebagai bagian dari ikhtiar pemajuan kebudayaan agar seni budaya bangsa ini, tidak lekang oleh waktu dan keadaan. Hal yang menarik juga dapat dilihat dari desain dan karya busana para penari sebagai suatu kesatuan. Simbol-simbol yang tercermin dalam busana penari, maupun gerak dan musik menjadi bentuk komunikasi yang menyampaikan secara nonverbal gagasannya kepada masyarakat luas.

 Karya-karya Endang memiliki makna lebih dalam dari sekadar hiburan. Menjadi eksprtesi identitas diri bangsa dan estetika masyarakat yang mewujud. Apalagi tarian tradisional kreasi baru yang tercipta dari hasil permenungannya, selalu diniatkan untuk kemaslahatan kolektif.

Tentang karya terbarunya dalam format karesmen Ki Lengser Ringkang Gumawang, saya menyebutnya sebagai 'kamonesan uti.' Cucu-cucunya yang juga kreatif di bidang seni, memanggilnya Uti. |

Editor : delanova
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 1598
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1876
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 2110
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 2272
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Lingkungan
19 Sep 24, 12:52 WIB | Dilihat : 533
Antara Lumbung Pangan dan Kai Wait
24 Jul 24, 07:03 WIB | Dilihat : 760
Gertasi Selenggarakan Munas di Perdesaan Garut
02 Jul 24, 13:28 WIB | Dilihat : 750
Menyambangi Kota Bogor dari Jalur Commuter Line
23 Mei 24, 17:36 WIB | Dilihat : 1359
Wawali Bukittinggi Sambut Baik Gagasan SIGAP Indonesia
Selanjutnya